MAKASSAR, SULSELEKSPES.COM – Ditengah rahasia umumnya, kasus pelecehan secara seksual yang terjadi di kampus masih ‘undercover’ dan tertutup. Para korban cenderung memilih diam dengan alasan “aib”.
Padahal, dengan keberaniannya untuk bersuara, pelecehan di kampus dapat berkurang bahkan, hilang.
Hal ini yang diakui Tissa Wulandari, seorang Psikolog di Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) saat dihubungi Sulselekspres.com. Selasa (6/11/2018).
BACA:Â Paus Kecam pelecehan seksual anak Yang Dilakukan Pastur
“Beberapa korban menyebutkan bahwa mereka buka suara agar tidak ada lagi mahasiswi yang menjadi korban dari pelaku,” katanya.
Menurut Tissa, para korban cenderung memilih diam, sebab takut akan ‘dikucilkan’ oleh lingkungan kampusnya. Terutama teman kelasnya, persis seperti yang dialami Virgi dan tiga temannya waktu itu.
BACA:Â Pelecehan Seksual Dosen di Kampus Makassar Marak, Korban Diremas Hingga Diraba
“(Korban) juga takut akan respon lingkungan–teman-teman kuliah. Mendapatkan label baru sebagai “korban pelecehan” tentu tidak nyaman,” terangnya.
Untuk itu, demi menekan tindakan demikian tak terulang kedepannya, maka tidak hanya keberanian para korban saja yang diperlukan. Apresiasi dari Lingkungan sekitarnya atas keberanian korban juga sangat diperlukan.
Terutama, dukungan dari teman sekelas korban. Menurut Tissa dukungan tersebut juga krusial untuk membuat korban percaya diri dalam membuka suara atau menindak lanjuti kasusnya.
“Jangan dipersulit dengan membuat mereka merasa dikucilkan dan lemah,” imbuhnya.
Bagaimana Sebaiknya Teman Korban Merespon?
Umumnya, para korban yang didampingi Tissa di UPT P2TP2A Sulsel, belum termasuk dalam kategori trauma. Oleh itu, dukungan kesehatan jiwa dan psikososial menjadi treatment-nya.
“Sejauh ini ketidaknyamanan yang dirasakan beberapa korban yang datang ke P2TP2A ialah konseling, yang didalamnya membahas apa yg dialami, dirasakan, dan dipikirkan,” jelasnya.
BACA:Â UPT P2TP2A Sulsel: Korban Pelecehan di Kampus Ada Ditiap Angkatan
Ketidaknyamanan beberapa korban, menurut Tissa timbul akibat perasaan kecewa, marah, sedih dan juga takut akan respon lingkungan sekitarnya.
“Untuk itu, dukungan dari keluarga dan rekan-rekan terdekat juga dibutuhkan untuk membuat korban tidak merasa terkucilkan,” kata Tissa.
Namun, menjadi teman curhat bagi korban pelecehan tidak seperti biasanya. Respon sebagai orang terdekatnya juga harus diperhatikan menurut Tissa.
Respon yang baik, menurut Tissa bisa seperti dengan menunjukkan empati, misalkan apabila korban bercerita terkait kasus.
“Temannya bisa menjadi pendengar yang baik tanpa harus menjudge korban, misal menyalahkan atau menyayangkan perilaku korban,” jelas Tissa.
Namun, terpenting bagi Tissa, yakni peran teman sekelas korban, yang semestinya mendukung temannya untuk percaya diri guba menyelesaikan kasusnya baik secara hukum atau internal kampusnya.
“Lingkungan harus mengapresiasi keberanian para korban agar ke depannya kasus pelecehan/kekerasan seksual khususnya pada perempuan dapat berkurang,” ucapnya.
Penulis: Agus Mawan
Bagi korban, keluarga dan teman korban yang mengetahui dan berkenan menceritakan kisah pelecehan secara seksual yang diterima dari Dosen, silahkan klik link berikut http://bit.ly/sendpenulis atau mengirim ceritanya ke agus.mwnwasir@gmail.com.