MAKASSAR, SULSELEKSPRES.COM – Fenomena money politic (Politik uang) dalam setiap pemilihan umum (Pemilu) memang selalu sulit dihindari. Sekalipun hal ini merupakan masalah klasik, tetapi cukup sulit untuk diberantas.
Hal ini juga sedikit banyaknya membuat masyarakat berubah menjadi pemilih pragmatis. Kondisi seperti ini dinilai sangat berbahaya bagi keberlangsungan pemerintahan pasca pelaksanaan pesta demokrasi usai.
Pragmatisme pemilih ini memang selalu menjadi kendala dalam pesta demokrasi. Yang terbaru, hal ini menjadi salah satu faktor tidak tercapainya target angka partisipasi pemilih di Pilwali Makassar 2020 lalu.
Diketahui, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) kota Makassar menargetkan angka partisipasi pemilih sebesar 77,5 persen. Akan tetapi, hasilnua hanya berkisar di angka 59,66 persen saja.
Menurut keterangan Komisioner KPUD kota Makassar Divisi Sosialisasi, Partisipasi Masyarakat (Parmas), dan Pendidikan Pemilih, Endang Sari, salah satu fakto tidak tercapainya partisipasi pemilih karena sikap pragmatis mereka.
“Ada banyak faktor yang menyebabkan target partisipasi tidak tercapai. Salah satunya, ada sekelompok warga di beberapa kelurahan yang sengaja tidak memilih alias Golput (Golongan Putih), karena tidak kunjung mendapat serangan fajar,” jelas Endang kepada Sulselekspres.com, Jumat (8/1/2021).
Menanggapi fenomena tersebut, Pengamat Politik Universitas Hasanuddin, Andi Ali Armunanto, menilai sikap pragmatisme pemilih menjadi penentu kualitas pemerintahan.
Sebab, pemimpin yang dipilih atas dasar pragmatisme, tentu bakal membuka lebar pintu korupsi bagi pejabat pemerintahan. Sebab, mereka hanya memikirkan bagaimana caranya meminimalisir kerugian.
“Perilaku pragmatis seperti itu yang merusak pelaksanaan demokrasi. Kan demokrasi itu berlandas pada idelalisme, bukan pragmatisme. kalau pragmatis, pasti lahir pemimpin yang prakmatis juga,” buka Ali kepada Sulselekspres.com, Jumat (8/1/2021) siang.
“Kalau dibiarkan, pasti bisa membuka peluang korupsi. Karena memang awalnya seperti itu. Karena ada upaya untuk mengganti biaya politik dalam prospek menuju ke sana,” lanjut Ali.
Lebih jauh Ali mengatakan, khusus untuk kota Makassar, jumlah pemilih pragmatis sebenarnya sudah menurun. Untuk Pilwali 2020 lalu, ia memprediksi hanya berkisar di angka 10 persen saja.
“Paling tinggi 20 persen. Memang belum ada survei yang membuktikan itu, tapi saya memprediksi, di Pilwali Makassar kemarin sekitar 10 persen saja,” bebernya.
Meski begitu, Ali menilai hal itu tidak bisa dibiarkan. Sekalipun masih kecil, tetapi peluang meningkatnya sangat besar di momen pemilu mendatang.
Dengan begitu, peran KPU, Bawaslu, dan Partai Politik, sangat menentukan. Khusus untuk KPU, upaya sosialisasi sebaiknya dimaksimalkan pada momentum tenang, bukan hanya jelang pemilihan saja.
“Peluang memang selalu ada, tapi kalau proses edukasi dan sosialisasi diperluas, pasti bisa ditekan. ni tugas KPU dan Parpol sebagai stakeholder.”
“Sebaiknya di masa tenang seperti ini justru efektif untuk melakukan sosialisasi. Momen tidak ada Pemilu justru jadi waktu yang tepat. Jangan saat dekat Pemilu saja, karena banyak orang yang mendorong pemilih melakukan politik transaksional,” tutupnya.