MAKASSAR, SULSELEKSPRES.COM – Badan pekerja Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi kembali mendesak penyidik Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sulsel segera melimpahkan berkas dan tersangka dugaan korupsi pembangunan RSP Pratama Kabupaten Enrekang ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulselbar.
Hal tersebut diungkapkan Wakil Direktur ACC Sulawesi, Kadir Wokanubun saat dikonfirmasi Sulselekspres.com, Sabtu (16/12/2017).
Kadir mengatakan bahwa pola penanganan kasus yang tidak serius tentunya berakibat pada mandeknya kasus tersebut.
“Untuk membuktikan keseriusan maka sebaiknya para tersangka agar segera ditahan dan dilimpahkan ke pengadilan,” ungkap Kadir.
Lanjut Kadir mengatakan bahwa kasus tersebut sudah tahap P21 pada bulan Oktober lalu dalam hal ini berarti berkas kasus tersebut sudah lengkap.
“Makanya di butuhkan keseriusan untuk segera menahan dan melimpahkan kasus tersebut ke pengadilan. Jangan terlalu berlama-lama dengan kasus tersebut,” bebernya.
Sebelumnya, penyidik Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Suslel baru menahan dua orang tersangka dugaan korupsi Pembangunan RS Pratama Kabupaten Enrekang tahun anggaran 2015 pada tanggal 13 Desember 2017 yang lalu
“Kedua tersangka yakni yakni Kilat Karaks yakni Direktur PT Haka Utama dan rekannya Sandi Dwi Nugraha,” ungkap Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Dicky Sondani, Jumat (15/11/2017).
Sementara itu, satu tersangka yakni Amrwan Ahmad Ganaku selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Enrekang belum memenuhi panggilan
“Ketika tidak memenuhi panggilan, kita akan terbitkan surat kedua disertai surat perintah membawa,” ujarnya.
Selanjutnya terhadap 2 tersangka yg telah hadir akan kami lakukan Penahanan selama 20 hari terhitung 15 Desember 2017 – 03 Januari 2017 di Rutan Polda Sulsel.
Penyidikan dugaan korupsi pembangunan Rumah Sakit Pratama (RSP) Kabupaten Enrekang telah dinyatakan rampung alias P21 sejak 6 Oktober 2017.
Pasca penyidik Direktorat Reskrimsus Polda Sulsel menetapkan tiga orang tersangka. Dari tiga tersangka tersebut, seorang diantaranya dikenal sebagai kader Partai Gerindra yakni bernama Kilat Karaka.
Kilat Karaka merupakan Direktur PT Haka Utama sebuah perusahaan rekanan atau pelaksana pekerjaan yang dinyatakan bermasalah ini. Sedangkan dua orang tersangka lainnya yakni Kepala Dinas Kesehatan Enrekang, Marwan Ahmad Ganoko yang bertindak selaku Kuasa Pengguna Anggara (KPA) sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) serta Sandy Dwi Nugraha selaku Kuasa Direksi perusahaan rekanan, PT. Haka Utama.
Ketiganya dinilai sebagai pihak yang bertanggung jawab atas timbulnya kerugian negara pada pengerjaan proyek yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) APBD Enrekang 2015 yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Enrekang. Dimana pengerjaan proyek itu diketahui menggunakan anggaran sekitar Rp 4,7 miliar.
Dalam peranannya, Kilat Karaka selaku Direktur PT Haka Utama memberikan Kuasa Direksi kepada Sandy Dwi Nugraha untuk mengerjakan seluruh item pekerjaan proyek pembangunan RSP Enrekang melalui akte notaris Fatmi Nuryanti dengan nomor 08 tanggal 9 November 2015.
Dari pengalihan pengerjaan ke Sandy tersebut, Kilat mendapatkan fee sebagai tanda terima kasih sebesar Rp 80 juta. Ia mengalihkan pengerjaan utuh ke Sandy namun tetap menggunakan perusahaannya agar tidak ketahuan jika pengerjaan telah dialihkan alias di sub kontrakkan.
Selain itu, penyidik juga menemukan jika dalam pelaksanaan pekerjaan proyek, Sandy mengganti personil inti serta peralatan yang ditawarkan oleh PT. Haka Utama sebagaimana tertera dalam kontrak pekerjaan sebelumnya. Ia melakukan hal itu tanpa sepengetahuan dan persetujuan PPK, PPTK maupun Konsultan Pengawas (KP).
Adapun beberapa alat yang tidak digunakan sesuai analisa penggunaan alat diantaranya Whell Loader, Dump Truck, dan Stamper. Namun alat tersebut tetap dibayarkan.
Tak sampai disitu, pekerjaan proyek juga mengalami keterlambatan sehingga mendapat penambahan waktu pekerjaan selama 56 hari kalender dan mendapat denda keterlambatan sebesar Rp 255 juta.
Namun belakangan diketahui pekerjaan pembangunan RSP Enrekang ternyata telah dibayarkan 100%.
Atas kejadian itu, negara dirugikan sekitar Rp 1 miliar, sebagaimana dari hasil audit yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulsel.
Para tersangka dijerat Pasal 2 Ayat (1) Subs Pasal 3 Undang-Undang No 31/ 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke 1 KUHPidana.