SULSELEKSPRES.COM – George Floyd, seorang pria kulit hitam berusia 46 tahun, tewas usai lehernya ditekan oleh lutut Derek Chauvin, salah satu dari empat polisi Minneapolis yang menahannya. Sebagaimana dilansir AFP, George ditangkap karena diduga melakukan transaksi memakai uang palsu senilai US$ 20 (Rp 292 ribu) pada Senin (25/5/2020).
Penangkapan George yang terekam dalam sebuah video yang menjadi viral tersebut memperlihatkan Chauvin menekan leher George, yang saat itu dalam keadaan sedang diborgol dan menelungkup di pinggir jalan, selama kurang lebih tujuh menit.
Sejak Kamis (28/5/2020), unjuk rasa dan protes melanda sejumlah kota besar AS. Mereka yang kebanyakan berkulit hitam membuat gerakan #BlackLivesMatter, dan turun ke jalan untuk menuntut tindakan kebrutalan polisi dan pertanggungjawaban atas beberapa kematian warga kulit hitam di tangan mereka.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) António Guterres melalui juru bicara Stephane Dujarric mendesak para pemimpin di Amerika Serikat, termasuk Presiden Donald Trump, untuk mendengarkan pesan yang ingin disampaikan para pendemo. Khususnya soal rasisme yang masih terjadi di negara tersebut.
“Keluhan harus didengar,” kata Dujarric kepada wartawan pada Senin (1/6/2020), dikutip dari Reuters. “Tetapi (pesan) mereka harus diungkapkan dengan cara damai dan pihak berwenang harus menunjukkan tidak ada pengekangan dalam menanggapi demonstran.”katanya dilansir dari CNBCIndonesia, Selasa (2/6).
Guterres menanggapi gelombang demonstrasi AS atas kematian seorang pria kulit hitam, George Floyd saat ditahan oleh empat polisi di Minneapolis pada minggu lalu. Beberapa dari protes yang sebagian besar damai berubah menjadi kerusuhan sipil di banyak kota di AS.
BACA:Â Gelombang Protes Besar di Amerika Serikat Akibat Tewasnya George Floyd
“Di AS, seperti di negara lain manapun di dunia, keanekaragaman adalah kekayaan dan bukan ancaman. Tetapi keberhasilan berbagai masyarakat di negara mana pun membutuhkan investasi besar-besaran dalam kohesi sosial,” lanjut Dujarric.
Trump dikabarkan meminta Departemen Kehakiman dan FBI untuk menyelidiki kematian Floyd. Tetapi tidak membuat pernyataan publik yang dapat meredakan protes tersebut.
BACA: Panggilan ‘Mama’ Sebelum George Floyd Tewas Ditangan Polisi
Namun di sisi lain, Trump malah mengeluarkan beberapa cuitan melalui media sosial yang menggambarkan demonstran sebagai “preman”. Ia bahkan mendesak walikota dan gubernur untuk tegas dan mengancam menggunakan militer melawan para pengunjuk rasa.
“Kami selalu mengatakan bahwa pasukan kepolisian di seluruh dunia perlu memiliki pelatihan hak asasi manusia (HAM) yang memadai, dan mereka juga harus menjadi investasi dalam dukungan sosial dan psikologis bagi polisi sehingga mereka dapat melakukan pekerjaan mereka dengan baik,” ujarnya.