Seperti Ini Hambatan Difabel Dalam Penuntasan Kasus Hukum

MAKASSAR, SULSELEKSPRES.COM – Kepolisian Polisi Daerah (Polda) Sulawesi Selatan mengaku sudah bekerja secara profesional dalam menghadapi kasus-kasus yang menimpa penyandang disabilitas (Difabel) di wilayah hukumnya. Meski demikian, mereka mengakui masih lemah dalam penanganan.

Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polda Sulsel, Komisaris Polisi (Kompol) Andriani Lilikay mengatakan kendala dan hambatan dalam menangani kasus-kasus yang mendudukkan orang yang berkebutuhan khusus itu masih banyak.

“Utamanya pihak penyidik yang memang tidak mengetahui adanya Undang-undang Tentang Penyandang Disabiilitas nomor 8 tahun 2016, mereka langsung menggunakan KHUP, tidak mengindahkan hak-hak difabel dalam Undang-undang, ” jelas Kompol Andriani dalam kegiatan Dialog publik bertajuk Refleksi Akhir Tahun Difabel Berhadapan dengan Hukum, di Aula Panti Sosial Bina Daksa (PSBD) Wirajaya, Makassar, Jln AP Pettarani, Makassar, Rabu (20/12/2017).

Hal itu diakuinya pada penanganan kasus pemerkosaan terhadap gadis berinisial BG (17 tahun), difabel bisu atau difabel komunikasi yang belum tuntas hingga sekarang. Padahal kasus ini terjadi pada awal 2017.

Korban adalah siswi Sekolah Luar Biasa (SLB) Ma’innong, Kecamatan Donri- Donri, Soppeng. Mirisnya, pelaku adalah kepada sekolah SLB ini.

Andriani menceritakan kasus ini awalnya ditangani oleh Kepolisan Sektor (Polsek) Ma’innoing meski penyidik mereka tidak punya unit PPA, tapi mengaku mampu menangani, tapi ternyata tesendat-sendat kemudian dilimpahkan ke Polres Soppeng.

“Kasus itu awalnya ditangani Polsek, walau penyidiknya tidak punya PPA, tapi mereka mengaku bisa menangani, tapi kandas. Dilimpahkan lagi ke Polres Soppeng. Sekarang kasus ini berproses di Polda, ” kata dia.

Dia menyebutkan pihaknya juga selalu berkomunikasi dengan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sulsel dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (Apik) Sulsel untuk penuntasan kasus ini, hingga kepolisian menggunakan juga UU Penyandang Disabilitas dalam menjerat pelaku.

“Untuk kasus Soppeng, sekarang dalam proses di Polda, untuk mengetahui seperti apa kendalanya. Sudah beberapa kali dilakukan tes DNA (kepada pelaku dan korban), yang hasilnya negatif. Mungkin Minggu depan dilanjutkan kasusnya, karena bukan hanya Soppeng ditangani (di Polda), ” kata dia.

Kesulitan lain dalam pengungkapan kasus difabel, kata dia, dukungan keluarga korban kerap tidak memadai bahkan menghalang-halangi. Seperti kasus di pemerkosaan gadis difabel komunikasi di Soppeng ini. Orang tua korban, kata dia, justru seolah-olah menghalang-halangi kasus ini.

“Dari keterangan saksi-saksi tidak ada satu pun yang mendukung. Ada saksi yang dihadirkan, salah satunya ibunya sendiri namun menghalangi-halangi kalau ada saksi-saksi yang menguatkan. Jadi itu kita terkendala, ” bebernya.

Andriani juga membeberkan bila saat ini pihaknya sudah punya petunjuk dari Mabes Polri, dalam penuntasan kasus khusus difabel. Selain itu harus berkoordinasi pihak terkait, seperti Kejaksaan dan kehakiman.

“Jadi jika ada kegiatan berikutnya, setidaknya ada perwakilan kejaksaan dan kehakiman, bagaimana menyatukan persepsi. karena kita di kepolisian ada ranahnya, ” ujar perempuan berhijab ini.

Dia menegaskan bila institusinya memang mengalami banyak kendala, terutama di jajaran penyidik. Namun, kata Andriani bukan menjadi halangan bagi penyidik di PPA.

“Kami menyadari mereka semua punya hambatan dan sumber daya manusia (SDA). Bagaimana penyidik disekolahkan, mendapat ilmu dan pengalaman untuk menangani kasus disibilitas.” tegas ibu berpangkat satu bunga ini.

Sementara Ketua HWDI Sulawesi Selatan Maria UN, memaparkan setidaknya ada sembilan kasus kekerasan terhadap difabel di Sulawesi Selatan sepanjang 2017, terutama kekerasan seksual yang berusia anak.

Dia memaparkan dari jumlah kasus yang terjadi Januari hingga Agustus, terjadi di lima kabupaten/kota, seperti di Kabupaten Bone dengan dua kasus, Makassar ada tiga kasus, di Takalar ada satu kasus, di Gowa terjadi dua kasus dan satu kasus di Bulukumba.

Dari dari ragam disabilitas, kata dia, gangguan intelektual hambatan komunikasi paling rentan mengalami kekerasan.

Salah satunya adalah kasus pemerkosaan gadis Tuli di Pasar Terong, Kecamatan Bontoala, Makassar, pada 8 Januari 2017, lalu.

“Kasus ini sudah divonis di Pengadilan Makassar, ” kata Maria UN dalam diskusi yang diinisiasi oleh PerDIK, PSBD Wirajaya, Pusat Kajian Disabilitas dan Layanan Difabel Universitas Teknologi Sulawesi (UTS) serta sejumlah dukungan lainnya.

Sama halnya dengan pemerkosaan gadis difabel intelektual (sindroma-down) di Takalar. Pelakunya adalah seorang PNS dan juga sudah divonis.

Maria juga memaparkan seperti apa kendala dalam mendampingi para difabel yang diperhadapkan dengan hukum. Seperti hambatan komunikasi atau difabel komunikasi (bisu) ketika kasus berproses di kepolisian.

“Menjadi masalah bila korban tidak pernah bersekolah (di SLB) karena tidak mampu berbahasa isyarat. Meski didampingi oleh komunitas rungu, namun persoalannya tidak semua komunitas rungu memahami bahasa isyarat. Karena tidak bersekolah formal, ” ujarnya.

Seperti yang terjadi pada kasus di Bone. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di Polres Bone harus dikembalikan dua kali karena korban tidak mampu mengungkapkan waktu kejadian.

Karena itulah, kata Maria, pihaknya memberikan pemahaman kepada penyidik kepolisian agar memperbolehkan si korban/pelaku/saksi didampingi oleh orang-orang terdekat. “Karena mereka (difabel) hanya mengerti bahasa ibu, ”

Persoalan, lanjutnya, ketika keluarga korban tidak percaya diri kasusnya bisa dilaporkan di kepolisian. “Ada juga keluarga mencabut BAP, dengan alasan malu, atau ada intervensi keluarga (pelaku),” ujarnya.

Bagi Maria, pihak kepolisian memilik perpekstif cukup baik terhadap kasus-kasus disabilitas, hanya saja harus tetap dikawal oleh lembaga perwakilan difabel dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

Ketua LBH Makassar Haswandi Andy Mas juga mengungkapkan sejumlah hambatan dalam mengawal penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum.

Bila Ketua HDWI memaparkan hambatan yang dialami oleh korban, Haswadi menceritakan sejumlah kendala yang dihadapi difabel yang didudukan sebagai saksi atas kejadian oleh penyidik kepolisian.

Dia mengilustrasikan pada kasus penembakan yang terjadi saat balapan liar di Jalan Veteran Makassar, pada 2009 lalu. Saat itu, saksi kuncinya adalah difabel tuli. Namun saat didatangkan guru SLB sebagai penerjemah atau interpreternya, ternyata tidak nyambung.

“Saksi ini hanya dua tahun mengeyam sekolah SLB. Saat itu usianya sudah lebih 30 tahun, artinya dia meninggalkan sekolah sudah 20 tahun lebih, ” ujar Haswandi didalam diskusi.

Jadi, kata dia, solusinya bila difabel tuli putus sekolah dan tidak bisa berkomunikasi dengan orang lain, satu-satunya penerjemah adalah orang tuanya atau orang terdekatnya.

Ia juga menyinggung penerjemah menjaga kenetralan dalam men-translate bahasa isyarat. Sebab, dia pernah menemukan kasus dimana penerjemah korban justru orang tua dari pelaku.

“Penerjemah juga harus netral dalam menerjemahkan bahasa isyarat, karena bisa saja tidak demikian yang diungkapkan korban yang difabel, ” ujarnya.

Ditambahkan Ketua Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK), Abdul Rahman, pihaknya sebenarnya sudah menyampaikan berbagai persoalan ini kepada Kapolda Sulsel Inspektur Jenderal Umar Septono.

Rahman mengaku mendapat tanggapan positif dari Kapolda Sulsel yang menjabat tiga pekan lalu itu. Ia pun berharap dari banyaknya kasus-kasus yang mandek di Satuan Reserse dan Kriminal (Sat Reskrim) yang tidak hanya difabel, tapi juga perempuan dan anak, Polda Sulsel bisa menjadikan unit PPA menjadi Satuan PPA di setiap jajarannya.

“Berharap Polda bisa berjalan pada 2018 ini, karena banyak persoalan mandek di Reskrim utamanya difabel, sehingga kami minta unit PPA menjadi satuan tersendiri nantinya, ” ujarnya.