SULSELEKSPRES.COM – Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD terkait lambannya anggaran penanganan Covid-19 beberapa waktu lalu ditanggapi oleh pihak Badan Pemeriksa Keungan (BPK).
Sebelumnya, Mahfud mengungkapkan banyak menteri tak berani mencairkan anggaran sesegera mungkin karena takut dengan audit BPK. Bahkan, ada kementerian yang pencairan anggarannya dihentikan oleh BPK karena hendak memeriksa prosedur terlebih dahulu.
“Tapi ada juga yang takut. Takut ke BPK. Saya datangi ke Ketua BPK. Pak ini banyak menteri yang takut mengeluarkan uang sampai-sampai presiden marah-marah Kenapa pak?,” kata Mahfud.
Anggota sekaligus Pimpinan Pemeriksaan Keuangan Negara VI Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Azis meminta Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD untuk membeberkan nama-nama kementerian yang anggaran penanganan pandemi virus corona terganjal oleh BPK.
BACA: Pencairan Anggaran Lamban, Mahfud Sebut Banyak Menteri Takut BPK
Sebab, ia menegaskan, BPK tidak merasa menghentikan pelaksanaan pencairan anggaran penanganan corona seperti yang dinyatakan oleh Mahfud.
“Kasih tahu saya kementerian mana, biar nanti saya cek di sidang badan. Nanti, saya tanya apa betul tidak,” ujarnya dikutip dari CNNIndonesia, Selasa (7/7).
Bahkan, Harry mengisyaratkan keheranannya jika benar BPK mengarahkan untuk menyetop pelaksanaan anggaran. Sebab, ia menyebut fungsi lembaganya adalah pemeriksa. Hal ini berbeda dengan tugas Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang fungsinya melangsungkan pengawasan, termasuk memberikan rekomendasi saat pelaksanaan program pemerintah.
Hal serupa biasanya juga bisa didapat kementerian dari kehadiran unit Inspektorat Jenderal (Irjen). Sementara, BPK melangsungkan tugas pemeriksaan setelah program berjalan dan anggaran digunakan, bukan saat proses.
“Dari kami tidak bisa ada penghentian atau memberi rekomendasi saat berjalan. Itu tugas Irjen atau BPKP, kami kan pemeriksa,” imbuh Harry.
Ia mengklaim pemberhentian tidak ada di bawah pemeriksaannya terhadap keuangan pemerintah di sektor kesehatan dan pendidikan. Misalnya, di Kementerian Kesehatan atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Justru yang terjadi, lanjutnya, pelaksanaan penggunaan anggaran terkendala karena dana yang belum ada.
“Kalau yang di bawah saya, Kemenkes itu saat ditanya justru dananya belum masuk dari Kemenkeu, dari internal pemerintah. Saya tidak tahu apa tidak ada dananya atau dipakai yang lain dulu, tapi akan saya periksa lagi, berapa dananya, dipakai untuk apa, tersedia atau tidak,” jelasnya.
Di sisi lain, Harry berpandangan seharusnya kementerian/lembaga tetap percaya diri melakukan tugas dan fungsinya tanpa takut diberhentikan atau bahkan diaudit BPK di akhir pelaksanaan anggaran. Asal, pelaksanaan program dan pencairan anggaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Toh, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sudah menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan yang resmi menjadi UU.
Artinya, ada dasar hukum yang jelas pelaksanaan program dan anggaran kementerian di tengah pandemi corona atau masa darurat.
“Tidak ada peraturan perundang-undangannya mereka (kementerian) mesti meminta persetujuan BPK atau menunggu dulu. Kan mereka sudah ada aturan yang memperbolehkan untuk digunakan karena refocusing dan lainnya, presiden juga sudah keluarkan aturan, silakan,” jelasnya.
Harry khawatir masalah takut diaudit hingga diberhentikan pelaksanaannya oleh BPK hanya alasan saja karena pencairan anggaran kementerian/lembaga terlanjur tersendat. Padahal, alasannya bukan karena BPK.
Apalagi, para menteri dan kepala lembaga sudah dimarahi oleh Presiden Jokowi pada pertengahan Juni lalu. “Jadi, BPK seolah menjadi perlindungan mereka, mereka kan habis dimarahi presiden,” ucapnya.