MAKASSAR – Dalam rangka memeriahkan HUT RI yang ke-72 Kodam XIV Hasanuddin mengadakan lima macam lomba unik di lapangn Sepak Bola Kodam XIV Hasanuddin, Jum’at (18/8).
Adapun lomba yang diadakan, diantaranya: Lomba Futsal gembira dengan menggunakan Daster, Makan Kerupuk, Lomba balap kelereng, Memasukkan pensil dalam air dan Lomba Volly menggunakan Balon yang diisi air.
Namun acara tersebut diguyur hujan yang sangat deras yang mengguyur Kota Makassar.
Hujan tersebut nampaknya tak menyurutkan semangat dari Kodam VIX Hasanuddin untuk memeriahkan Lomba tersebut.
Semangat Nasionalisme dari Kodam XIV Hasanuddin tidak menyurutkan mereka untuk tetap memeriahkan HUT RI yang Ke-72 ini. Dari pantauan Sulselekspres.com semangat Nasionalisme yang ditunjukkan oleh para Pengabdi Negara Indonesia sangat dijunjung tinggi dari Kodam XIV Hasanuddin ini.
Sebagaimana yang diketahui bahwa semboyan dari TNI yaitu NKRI harga mati dan sangat cocok disematkan bagi TNI Kodam XIV Hasanuddin.
Nah, NKRI Harga Mati awalnya dari mana;
Dilangsir dari detik.com Ini pencetus pertama dari Frasa NKRI Harga Mati:
Frasa ‘NKRI Harga Mati’ seringkali kita baca, dengarkan, maupun ucapkan. Namun pernahkah Anda bertanya-tanya siapakah sosok yang pertama kali mengucapkankan dan terus mengkampanyekannya sehingga menjadi slogan umum seperti sekarang?
Kita barangkali tidak mengira bahwa pencetusnya adalah seorang ulama. Pendiri Pondok Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti di Klaten, almarhum KH Moeslim Rifa’i Imampuro, atau akrab disapa alias Mbah Liem. Dalam berbagai kesempatan di kegiatan pondok, pertemuan kiai maupun acara-acara umum, dia meneriakkan ‘NKRI Harga Mati’.
Menurut penuturan putranya, Saifudin Zuhri, slogan itu mulai didengungkan oleh ayahnya sejak sekitar tahun 1990-an.
“Pastinya saat itu beliau sudah sepuh (tua). Paling tidak itu saat berdirinya pesantren ini, sekitar 1994-1995,” ungkap Gus Zuhri, sapaannya, saat ditemui di kediamannya, Sumberejo, Desa Troso, Kecamatan Karanganom, Klaten, Rabu (16/8).
Seiring berjalannya waktu, kata Zuhri, Mbah Liem melengkapi slogannya menjadi ‘NKRI PAMD Harga Mati’. PAMD adalah singkatan dari Pancasila Aman Makmur Damai.
“Mbah Liem pernah menulis, ‘Dari manapun kebangsaannya, yang ingin mengganti dasar negara Pancasila, saya dhoif muslim (Mbah Liem) wajib mengingatkan, mengingatkan.’ Disebut dua kali artinya penekanan, tidak ada yang boleh mengganti Pancasila,” pria yang menjabat Ketua Yayasan Al-Muttaqien Pancasila Sakti itu.
Mbah Liem adalah seorang ulama kharismatik dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Dia adalah keturunan Kiai Imampuro, ulama ternama dari Keraton Surakarta. Dekat dengan kalangan petinggi negara hingga petani-petani miskin di pedesaan.
Selalu pernampilan bersahaja, bahkan jarang diketahui dia mengenakan atribut seperti yang biasa dipakai oleh ulama. Mbah Liem dikenal sangat akrab dan selalu mendampingi dan menjadi salah satu satu pembela utama Gus Dur, sejak muda hingga wafatnya.
Rasa nasionalisme yang tinggi merupakan caranya menjaga warisan para pendiri bangsa, termasuk ulama, yang memerdekakan Indonesia. Pancasila menurutnya sudah final. Dasar negara selain Pancasila ia pastikan tidak dapat digunakan di Indonesia. Dengan Pancasila, Islam yang rahmatan lil alamin justru benar-benar bisa diterapkan.
Di Pondok Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti, para santri MTs dan MA wajib mengikuti upacara bendera. Dalam berbagai acara, pesantren juga tak pernah lupa menyanyikan lagu Indonesia Raya.
“Kadang sebelum ngaji santri diminta menghafal Pancasila dan UUD 45. Sebelum salat pun kita selalu membaca doa untuk keselamatan NKRI dan kesejahteraan bangsa. Doanya anak-anak pasti hafal semua itu. Kalau ada kiai enggak setuju dengan itu ya artinya kiai liar,” ungkap dia.
Pesantren Mbah Liem yang kental dengan nuansa nasionalisme.
Mbah Liem meninggal pada 2012 saat berusia 91 tahun. Makamnya berada di sebuah joglo kompleks pondok pesantren. Bangunan Jawa itu dinamai Joglo Perdamaian Umat Manusia Sedunia.