MAKASSAR, SULSELEKSPRES.COM – Siang ini sangat cerah. Suasana di sekitar jalan Sulawesi, kota Makassar, tampak meriah. Beberapa titik di ruas jalan itu nyaris seperti beratap lampion Cina.
Di sepanjang jalan Sulawesi memang tampak cukup meriah. Tetapi, cuma Istana Naga Sakti Klenteng Xian Ma yang paling menyita perhatian.
Deretan lilin-lilin berukuran besar berdiri tegak bagaikan pagar ayu yang siap menyambut tamu. Asap dupa mengepul tipis dari wadah pembakaran berukuran besar. Aroma tajam yang khas menyelinap ke indera penciuman para pengunjung.
Di tengah-tengah pintu masuk, Patung besar duduk tegak. Posisinya seperti membelah arah masuk menjadi dua jalur. Patung dengan perut besar yang khas itu dikenal sebagai Pu-Tai atau Patung Ketawa.
Akan tetapi, dari sederet pemandangan memukau nan elok dipandang mata, ada hal yang tidak biasa. Seorang perempuan paruh baya duduk di bibir pintu masuk, tepatnya berada di tepian jalan.
Sandangnya birunya lusuh. Sirahnya ditutupi hijab hitam. Kakinya beralas sandal jepit, yang ia tanggalkan karena harus duduk di tangga pintu masuk Klenteng.
Masker putih terlihat cukup kontras membalut bibir dan hidungnya. Air mukanya muram, meskipun sesekali ia tutupi dengan senyum dan nada ramah. Dia adalah Daeng Intang. Usianya sekitar 50 tahun.
Hari ini, dia sudah berada di tempatnya duduk sejak pukul 07:00 pagi. Ia didampingi enam cucunya, dan beberapa orang lainnya yang juga melakukan rutinitas sama seperti Daeng Intang.
Ia mengaku, bisa bertahan sampai pukul 17:00 WITA. Biasanya, di tahun-tahun sebelumnya, ia sudah menyegel bibir pintu masuk dengan badannya, bahkan sehari sebelum Hari Raya Imlek tiba.
“Sudah lima tahun terakhir saya selalu ke sini setiap Imlek. Biasanya sebelum hari raya, tapi kali ini, baru hari ini saya datang. Tunggu angpao kalau dikasih. Kemarim ada, tapi saya tidak datang,” kata dia saat ditemui, Jumat (12/2/2021).
Dalam sehari, perempuan yang akrab disapa Daeng Intang itu biasanya bisa dapat sejumlah angpao. Tidak banyak, tapi cukup untuk makan sehari bersama enam cucunya. Jika beruntung, ia bisa menyisihkan sebagian kecil uang untuk ditabung.
”Tahun kemarin (2020), adaji 30 ribu, 40 ribu, biasa juga 50 ribu lebih. Sama makan mi anak-anak, beli bakso apa. Ongkos pete-pete juga,” Daeng Intang mengenang pengalamannya tahun lalu.
Untuk hari ini, saat bayangan mulai sejajar dengan ubun-ubun, Daeng Intang hanya mampu mengumpulkan 16.000 pundi-pundi rupiah dari belas kasih pengunjung Klenteng Xian Ma.
”Ini adami, tapi baru 16 ribu. Yang penting bisa pakai bayar pete-pete pulang sama anak-anak ini,” ia membeberkan pendapatannya siang tadi.
Daeng Intang sendiri sedikit dilema ketika ditanya soal pekerjaannya. Ia malu, tapi tidak banyak pilihan lain, bahkan nyaris tidak ada. Satu-satunya hal yang menguatkan ia melakukan rutinitasnya, tidak lain karena alasan perut.
Tinggal di kota paling tersohor di Indonesia timur tanpa pendapatan tetap dan mencukupi, tentu menjadi hal yang sangat berat. Tetapi, ia harus terus bertahan hidup, setidaknya memastikan keenam cucunya bisa makan, sekalipun kerap telat.
”Saya ngontrak di jalan Bontoduri 10 sama enam cucu saya. Masih kecil semua. Mereka sekolah. Tapi biasanya ya harus minta-minta juga untuk makan. Bapaknya sudah meninggal, kakeknya juga.”
”Biasa kalau pulang sekolah, cucu saya mampir di masjid. Ikut shalat. Kalau ada yang mengerti ya dikasih, tapi kalau tidak ya tidak dapat uang makan,” Daeng Intang bercerita.
Bahkan tidak jarang Nursia digelandang aparat. Ia sudah kenyang dengan peringatan, tetapi ia harus tetap bersiteguh. Bukan karena membangkang, melainkan tidak ada solusi yang ia temui setelah aparat menggelandang.
”Biasanya sampai jam 5 sire. Tadi ada polisi yang tegur. Tapi biar saja,” celetuknya.
Beban berat yang ia pikul semakin terasa saat pandemi Covid-19 datang. Bantuan juga tidak kunjung tiba. Secara otomatis, hal ini berdampak pada pendapatannya. Jika di masa normal ia bisa menyisihkan uang untuk makan esok harinya, kali ini sudah untung kalau bisa makan.
”Tahun-tahun sebelumnya lumayan ada. Sekarang tidak, sudah kurang. Orang-orang Cina juga mungkin sedang kurang (keuangannya).”
Saat malam tiba, Daeng Intang biasanya merundung nasib. Air matanya juga tidak jarang menetes. Tapi, ia mengaku harus tetap kuat di hadapan cucu-cucunya.
Daeng Intang sesekali memperhatikan orang yang datang. Cucunya juga sepertinya sudah tahu harus berbuat apa. Sesekali kisah masih keluar dari bibirnya. Pada akhirnya, kalimat pamit mengakhiri kisah.