31 C
Makassar
Sunday, April 27, 2025
HomeMetropolisTuntut Keadilan, Istri Para Nelayan “Kapiran” di Depan Kantor Gubernuran

Tuntut Keadilan, Istri Para Nelayan “Kapiran” di Depan Kantor Gubernuran

- Advertisement -

Baharia turut berbagi kesedihan. Keluarganya terancam tidak bisa makan karena jumlah tangkapan yang menurun drastis. Kabarnya, tidak jarang juga mereka mendapat intimidasi dan teror dari oknum-oknum tertentu.

“Kami setengah mati pak. Anak saya dua. Semuanya sekolah. Satu masuk SMA dan yang bungsu masuk SMP. Belum lagi tanggungan keluarga. Sementara pemasukan tidak ada,” keluh Baharia.

Baharia sendiri tidak jarang ikut melaut membantu suaminya. Sudah sepuluh tahun rutinitas itu ia geluti. Wajar, dia memiliki empat orang tanggungan (dua anak, satu nenek, dan satu paman), yang harus dibiayai. Ditambah lagi dengan dirinya dan sang suami. Belum lagi berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi, seperti listrik, air, serta berbagai keperluan lainnya.

Sementara penghasilannya minim, bahkan nihil. Dalam sehari, Baharia hanya bisa menerima uang 50 ribu rupiah dari hasil jual ikan. Kondisi itu sudah mereka rasakan cukup lama. Beberapa bulan belakangan, suaminya malah sering tidak membawa hasil tangkapan.

Menurut keterangan salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya, semua itu bermula saat PT Boskalis International Indonesia mulai mengeruk pasir di sekitar kawasan tangkap nelayan.

Sebelum Boskalis datang, nelayan bisa mendapat pemasukan hingga satu juta rupiah setiap harinya. Kalaupun kurang beruntung, mereka masih bisa mengumpulkan 200 ribu dalam sehari.

“Dulu sehari bisa dapat 200 ribu sampai satu juta. Sekarang paling banyak sekitar 50 ribu saja,” ujarnya, saat dikonfirmasi Sulselekspres.com, Senin (17/8/2020) malam.

Kondisi itulah yang mendorong Baharia dan nelayan lainnya kerap melakukan aksi protes. Sudah beberapa kali mereka meminta kebijakan Gubernur. Tetapi lagi dan lagi, asa mereka masih bertepuk sebelah tangan.

Mereka juga akhirnya mencoba peruntungan dengan melewati malam di depan gerbang kantor Gubernur. Tujuannya cuma satu : Permintaan mereka diwujudkan. Hasilnya, tetap saja nol.

“Perasaan sudah pasti sedih. Kamase-kamasean (Kasihan sekali) tidur di pinggir jalan. Alas seadanya, cuma spanduk bekas. Ada juga yang pakai kardus. Anak, suami, keluarga, semuanya kita tinggalkan di pulau,” tutur Baharia dengan raut sedikit mewek.

Mereka akhirnya mengalah. Kabarnya, mereka bukan menyerah. Tetapi karena butuh waktu memulihkan tenaga yang terkuras lelah. Mereka rela pulang tanpa hasil, tapi mungkin masih akan kembali lagi.

spot_img
spot_img

Headline

spot_img