24 C
Makassar
Friday, January 3, 2025
HomeEkbisBila Sembako dan Sekolah Kena Pajak, Begini Jadinya !

Bila Sembako dan Sekolah Kena Pajak, Begini Jadinya !

- Advertisement -

SULSELEKSPRES.COM – Rencana pemerintah untuk memasang tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dari sembako hingga pendidikan, mungkin akan semakin mencekik masyarakat kelas menengah ke bawah.

Rencana kebijakan ini menimbulkan pertanyaan besar tentang kepada siapa sebenarnya pemerintah berpihak. Konsolidasi fiskal memang dibutuhkan untuk membawa defisit anggaran kembali turun ke bawah 3% PDB seperti amanat undang-undang. Namun momentum dan target sasarannya kurang tepat.

Jika dibandingkan dengan harta kekayaan para crazy rich di luar negeri yang dilaporkan mencapai Rp 4.329 triliun maka penerimaan pajak dari peningkatan PPN jelas dampaknya sangatlah minim.

Bahana Sekuritas dalam riset terbarunya menyebut dengan peningkatan PPN dari 10% menjadi 12% akan berdampak pada kenaikan penerimaan negara sebesar Rp 60 triliun – Rp 80 triliun. Jauh dibandingkan dengan jika memajaki harta kekayaan crazy rich Indonesia yang jika 10% saja masuk akan ada tambahan Rp 400 triliun jauh di atas track record tax amnesty beberapa tahun silam yang hanya Rp 100 triliunan saja.

Peningkatan PPN terutama untuk sembako dan pendidikan selain tak tepat momentum juga tak tepat sasaran karena targetnya juga menyasar masyarakat miskin yang selama ini sudah sangat sengsara di tengah pandemi Covid-19. Daya beli yang tergerus hanya akan meningkatkan angka kemiskinan dan kesenjangan di dalam negeri.

BACA JUGA: Ustaz Yusuf Mansur Sebut Bayar Pajak Rp100-200 Juta per Hari

Sudah pasti kenaikan kebutuhan hidup bagi masyarakat Tanah Air. Peningkatan PPN juga memiliki konsekuensi pada peningkatan Garis Kemiskinan Masyarakat (GKM). Padahal GKM mencerminkan pengeluaran minimum untuk bisa memenuhi kebutuhan pokok baik untuk makanan maupun non-makanan.

Dengan asumsi semua sembako kena PPN 1%, pendidikan 5% dan sisanya 2% maka berdasarkan perhitungan Tim Riset CNBC Indonesia akan ada peningkatan GKM sebesar 1,61% atau setara dengan Rp 7.383/kapita/bulan.

Jika menggunakan acuan GKM September 2020 di Rp 458.947/kapita/bulan, maka GKM setelah PPN ditingkatkan bakal menjadi Rp 466.331/kapita/bulan.

Asumsikan satu keluarga terdiri dari 4-5 orang maka pengeluaran yang harus dipenuhi untuk mencukupi kebutuhan minimum satu keluarga bakal naik Rp 35.662/rumah tangga per bulan dari Rp 2.216.714/rumah tangga/bulan menjadi Rp 2.252.376/rumah tangga/bulan.

BACA JUGA: Pemprov Sulsel Hapus Denda Pajak Kendaraan dari 4 – 30 Juni 2021

Dengan GKM di angka Rp 2.216.714/rumah tangga/bulan saja penduduk miskin di Tanah Air mencapai 10,19% atau setara dengan 27,55 juta jiwa. Bagaimana jika kebutuhan minimumnya naik? Tentu saja daya beli akan tergerus dan jumlah masyarakat miskin di dalam negeri akan terancam naik.

Di tengah krisis ekonomi karena Covid-19 belum stabil, menurut Direktur Eksekutif Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, dampaknya sangat besar, akan terjadi inflasi jangka pendek.

Kemudian, adanya kenaikan harga barang, konsumsi masyarakat juga akan berkurang. Hal tersebut akan berimbang pada menurunnya permintaan barang, yang akan berdampak terhadap pelaku usaha, karena mereka akan menyesuaikan dengan biaya produksi dan dipastikan ada cost yang dikurangi.

Sehingga tidak menutup kemungkinan, bisa kembali terjadinya PHK massal.

“Pasti terjadi efisiensi. Pengurangan ini terjadi di pengalaman Covid-19 (tahun lalu), mulai dari efisiensi biaya market, pengurangan tenaga kerja itu paling banyak terjadi.”

“Ada PHK, bisa sangat mungkin. Apalagi sebelumnya tidak ada (PPN untuk sembako), menjadi ada. Itu kan beda, apalagi ini kebutuhan pokok. Volume akan sangat menentukan dan pengaruhnya ke ekonomi besar banget,” jelas Tauhid.

Imbasnya, lanjut Tauhid, akan menurunkan konsumsi masyarakat turun, dan Produk Domestik Bruto (PDB) RI bisa kembali ke zona negatif.

“Menurut saya, produk-produk sembako harus bebas PPN. Kalau dikenakan, bukan hanya menyasar kelompok menengah atas, menengah bawah kena semua. Asumsinya, karena peningkatan daya beli tidak terlalu signifikan, kemiskinan pasti akan meningkat,” kata Tauhid melanjutkan.

Sumber: CNBCIndonesia

spot_img
spot_img

Headline

spot_img