JAKARTA – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) Laode Muhammad Syarif menilai janggal anggapan yang menilai bahwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) bikin gaduh.
Menurut dia, kegaduhan tidak dapat menjadi suatu ukuran dalam penegakan hukum. Ia mengatakan, bila sudah ada bukti maka penegak hukum harus bertindak entah dengan OTT atau tanpa OTT.
“Masa iya kita membiarkan tindak pidana korupsi terjadi, padahal ada informasinya, ada orangnya,” ujar Syarif di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/9) malam, dilansir dari kompas.com.
“Karena takut gaduh, kita enggak usah tangkap? Bagaimana coba bayanginnya. Kita takut gaduh? Enggak bisa,” kata dia.
Ia juga menegaskan, tidak ada yang namanya OTT recehan. Laode M Syarif mengatakan, bisa jadi uang yang didapat saat OTT kecil jumlahnya.
Namun, seringkali KPK menyita uang yang jumlahnya jauh lebih besar setelah dilakukan pengembangan dari OTT.
“Misalnya yang berhubungan dengan OTT di Bengkulu, Rp 40 juta, kemudian ada yang Rp 10 juta. Tetapi dokumen proyek itu tertulis 10 persen anggaran. Jadi itu besar sekali untuk pihak dalam dan luar. Jadi tidak ada (OTT recehan),” ucap Syarif.
Sebelumnya, Jaksa Agung HM Prasetyo menilai, praktik pemberantasan korupsi melalui OTT kerap menimbulkan kegaduhan. Menurut dia, OTT tak mampu meningkatkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia.
“Penindakan kasus korupsi dengan melakukan operasi tangkap tangan yang dilaksanakan di negara kita yang terasa gaduh dan ingar-bingar namun IPK indonesia dalam beberapa tahun ini tidak mengalami kenaikan yang signifikan,” tutur Prasetyo dalam rapat kerja bersama Komisi III, Senin (11/9).
Hal ini juga ditanggapi oleh ACC Sulawesi dan ICW. Direktur Riset dan Data ACC Sulawesi, Wiwin Suwandi menuding, pernyataan Prasetyo tidak mencerminkan penegak hukum, melainkan lebih mirip aktor politik.