Apatisme Pemilih Picu Terjadinya Politik Uang

Ilustrasi / INT

MAKASSAR, SULSELEKSPRES.COM – Akademisi Universitas Bosowa (Unibos) Makassar, Arif Wicaksono menilai, karena kurangnya partisipasi pemilih dalam mengawasi pelaku politik uang.

Dia mengatakan, seharusnya kita bisa memberikan penjelasan kepada masyarakat dimulai dari anggota keluarga yang terdekat, sampai kepada seluruh elemen masyarakat lainnya bahwa politik uang tersebut sangat berbahaya bagi kemajuan demokrasi.

“Politik uang sangat merusak demokrasi, karena prinsip keterwakilan ternyata bisa diwakilkan lagi kepada uang,” tegas akademisi Unibos itu, saat dihubungi melalui WhatsAppnya, Selasa (12/6/2018).

Menurut dia, salah satu cara untuk mewaspadai politik uang tersebut dengan memberikan kepercayaan kepada lembaga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara.

Lanjut dia, persoalan siapa yang harus mempertanggungjawabkan perilaku buruk kontestan jika terpilih karena politik uang tersebut. “Tentu kembalinya kepada masyarakat pemilih lagi,” tambahnya lagi.

Terpisah, Pengamat Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Andi Luhur Prianto menilai, sebenarnya ada perubahan regulasi di soal politik uang, ancaman sanksinya cukup keras, sampai diskualifikasi calon juga.

Bahkan secara umum, tipologi pemilih perkotaan sebenarnya lebih rasional. Meskipun aspek pragmatis politik uang juga tetap ada. “Tetapi biasanya segmen pemilih ini tidak mudah mengubah preferensi memilihnya hanya karena transaksi atau pertukaran uang atau barang,” jelasnya.

Selain itu, modus politik uang untuk Pilgub Sulsel akan sedikit berbeda dengan Pilwali Makassar, praktek politik uang di daerah perkotaan lain modusnya. Sebab akses informasi yang lebih terbuka, membuat politik uang di Pilwali menjadi lebih canggih dan terstruktur serta pengawasan publik juga relatif lebih ketat, dibandingkan dengan di Pilgub Sulsel.

“Sementara di daerah masih sangat massif perilaku politik uang di dukung oleh lemahnya pengawasan publik serta sikap apatisme pemilih dan rendahnya kepercayaan pada para penyelenggara. Kuncinya di Penyelenggara. Tanpa inisiatif dan ketegasan menjalankan regulasi oleh penyelenggara, maka Pilkada kita tetap akan beraroma transaksional,” pungkasnya.

Penulis: Abdul Latif