SULSELEKSPRES.COM – Front Pembela Islam (FPI) membantah pihaknya menyebarkan ujaran kebencian dan radikalisme, sehingga akun-akun mereka di media sosial, seperti Facebook, Instagram dan Twitter seharusnya tidak diblokir.
Akun kelompok yang aktif menggelar aksi unjuk rasa itu dengan tema-tema keagamaan sudah tidak bisa lagi ditemukan di Facebook pada Selasa (19/12).
Yang jelas FPI-lewat anggota Dewan Dakwah Pimpinan Pusat nya, Novel Ba’mumin- mengatakan organisasinya justru menyebarkan pesan-pesan kemanusiaan.
“Ini adalah suatu ketidakadilan dan ketidakberesan informasi yang diterima oleh media, media artinya oleh media sosial baik FB maupun yang lain tentang keberadaan FPI. Padahal FPI adalah organisasi yang banyak berkecimpung di aksi kemanusiaan,” kata Novel kepada Nuraki Aziz dilansir BBC Indonesia, Jumat (22/12/2017).
Pesan dari Facebook mengisyaratkan akun FPI ditutup karena melanggar aturan layanan situs, antara lain dengan pernyataan penutupan isi yang mendukung kekerasan dan diskriminasi.
FPI dipandang mendukung diskriminasi terhadap kelompok anti Syariah dan Khilafah, disamping LGBT. Kelompok ini juga mengajak warga untuk mengepung kantor Facebook di Jakarta.
Media sosial dipandang sejumlah pihak memang dapat menyebarkan pesan-pesan demokratis, selain yang antidemokrasi. Twitter dan Facebook sering menjadi platform yang ampuh dalam menghimpun orang-orang yang sepaham, seperti pendukung kekerasan atau diskriminasi.
Salah satunya adalah karena algoritma yang ada di Facebook misalnya kata pengamat medsos, Nukman Luthfie.
“Algoritma intinya adalah menyenangkan user-nya. Jadi kalau kita pakai Facebook kita itu kan sebenarnya, di time line kita isinya kan itu-itu saja. Meskipun kita punya teman 5.000 misalnya, time line kita isinya orang itu-itu saja. Itu adalah content-content dan teman-teman yang sering kita respon. Baik kita like maupun kita reply ataupun content yang kita share.”
Kecenderungan menggunakan Facebook untuk menyampaikan pesan menekan kelompok lain bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga ada di Myanmar yang berusaha mendiskriminasi kelompok Rohingya, misalnya.
Pesan-pesan sejenis ini sebenarnya bisa ditangkal lewat mekanisme pelaporan pengguna dan penyaringan yang dilakukan pemerintah.
“Secara aktif, pemerintah Indonesia itu berusaha untuk memaksa Facebook untuk melakukan filtering dengan sendirinya. Atau kalau filtering itu gagal, jika pemerintah merasa perlu untuk menutup sebuah akun atau membatasi content, dia bisa berhubungan langsung dengan Facebook,” Nukman menjelaskan lebih jauh.