Mutiara Ramadhan (20):
Oleh Hadi Daeng Mapuna
(Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar)
Salah satu aktivitas penting di akhir Ramadhan sebagai bentuk peningkatan spritualitas adalah I’tikaf. Ibadah Sunnah ini disyariatkan dalam Islam dan menjadi salah satu amalan utama di sepuluh malam terakhir Ramadhan.
I’tikaf dilakukan dengan berdiam diri di masjid sambil beribadah. Tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Rasulullah saw. senantiasa melaksanakan i’tikaf, terutama dalam upaya mencari Lailatul Qadar. Sebab, orang yang terjaga dan melaksanakan shalat pada malam Lailatul Qadar, maka rahmat dan ampunan Allah sangat besar baginya.
Dari Abu Hurairah ra. ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa melaksanakan shalat malam pada malam Lailatul Qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadis yang lain, Aisyah radhiyallahu ‘anha, menceritakan:
“Rasulullah saw. beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga Allah mewafatkan beliau. Kemudian istri-istri beliau pun beri’tikaf setelahnya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Muhasabah dalam I’tikaf
I’tikaf bukan sekadar berdiam di masjid, tetapi juga menjadi momentum untuk muhasabah (evaluasi diri) dan meningkatkan kualitas spiritual. Muhasabah adalah introspeksi diri, mengukur amal yang telah dilakukan, dan bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Allah swt. berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18)
Ayat ini menunjukkan betapa pentingnya introspeksi diri sebelum ajal menjemput.
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata: “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan timbanglah amal kalian sebelum amal kalian ditimbang.” (HR. Tirmidzi)
I’tikaf menjadi waktu untuk fokus dalam ibadah tanpa gangguan dunia. Saat I’tikaf, shalat malam (Qiyamul Lail) semakin intens dilakukan dengan penuh kekhusyukan. Demikian juga membaca, merenungi, dan mentadabburi Al-Qur’an, dilakukan dengan penuh kesungguhan.
Dzikir dan doa juga dilafadzkan sebanyak-banyaknya, meningkatkan taubat dan istighfar, terutama doa yang diajarkan Rasulullah: “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni.” (HR. Tirmidzi)
Dikisahkan, Umar bin Khattab pernah masuk ke masjid untuk i’tikaf, lalu ia menangis tersedu-sedu. Ketika ditanya, ia menjawab: “Aku sedang mengingat dosa-dosaku, dan aku takut jika amalku tidak diterima.” Ini menunjukkan bahwa i’tikaf adalah waktu terbaik untuk merenungi dosa dan memperbaiki diri.
Imam Ahmad sering beri’tikaf dalam masjid dan menolak keluar kecuali untuk keperluan mendesak. Suatu ketika, seorang muridnya bertanya mengapa ia begitu disiplin dalam i’tikaf, Imam Ahmad menjawab: “Di sinilah aku merasakan kedekatan yang luar biasa dengan Allah, dan aku tidak ingin diganggu oleh dunia.”
Imam Az-Zuhri, seorang ulama besar, ketika memasuki sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, beliau akan mengasingkan diri dari kegiatan belajar mengajar dan fokus untuk beribadah.
Hal ini menunjukkan bagaimana para ulama pun sangat bersemangat dalam mencari keutamaan yang ada di dalam sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.
I’tikaf di sepuluh malam terakhir Ramadhan diibaratkan “pelabuhan terakhir” karena merupakan kesempatan emas di penghujung bulan suci untuk meraih ampunan dan rahmat Allah swt. Ini adalah saat-saat paling berharga untuk mendekatkan diri kepada-Nya, memohon ampunan atas dosa-dosa, dan mengharapkan limpahan rahmat-Nya.
Mari manfaatkan sepuluh malam terakhir Ramadhan sebagai momentum terbaik untuk memperbanyak i’tikaf, introspeksi diri, dan mendekatkan diri kepada Allah. Jangan biarkan kesempatan ini berlalu tanpa mengisinya dengan amal kebaikan dan taubat yang tulus. Wallahu a’lam.[*]