MAKASSAR, SULSELEKSPRES.COM – Kisah seorang ibu tunggal berjuang mencari keadilan melawan Aparatur Sipil Negara (ASN) pemerkosa tiga anak perempuannya.
Dilansir dari suaracom, si ASN tak lain adalah mantan suaminya alias ayah kandung tiga anak perempuan tersebut.
Kisah tragis ini terjadi pada Lydia (nama samaran). Lydia melaporkan pemerkosaan yang dialami ketiga anaknya, semuanya masih di bawah 10 tahun.
Terduga pelaku adalah mantan suaminya, ayah kandung mereka sendiri, ASN yang punya posisi di kantor pemerintahan daerah.
BACA JUGA: Viral Penghentian Kasus ‘3 Anak Saya Diperkosa’, Begini Kata Kapolres Lutim
Laporan itu tertanda Oktober 2019, bulan yang sama saat Lydia mendapati salah satu anaknya mengeluhkan area kewanitaanya yang sakit.
Polisi menyelidiki pengaduannya, tapi prosesnya diduga kuat penuh manipulasi dan konflik kepentingan. Hanya dua bulan sejak ia membuat pengaduan, polisi menghentikan penyelidikan.
Bukan saja tidak mendapatkan keadilan, Lydia bahkan dituding punya motif dendam melaporkan mantan suaminya. Ia juga diserang sebagai orang yang mengalami gangguan kejiwaan.
Serangan ini diduga dipakai untuk mendelegitimasi laporannya dan segala bukti yang ia kumpulkan sendirian demi mendukung upayanya mencari keadilan.
Respons LBH Makassar
Dilansir dari Detikcom pada Kamsi (7/10/2021). Ketua Divisi Perempuan Anak dan Disabilitas LBH Makassar Resky Pratiwi menyatakan argumennya. Menurut dia, sejak awal sudah ada cacat dalam penanganan kasus ini.
Menurut Resky, sejak awal yang jadi masalah adalah anak-anak dalam kasus ini tidak didampingi orang tua atau pendamping lainnya saat di-BAP. Sebelum penghentian penyidikan, pelapor juga tidak didampingi pengacara.
BACA JUGA: Viral Penghentian Kasus’3 Anak Saya Diperkosa, Mabes Polri: Ini tidak final
Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), anak wajib didampingi orang tua dan pendamping bantuan hukum.
Kedua, lanjut Resky, pihaknya sudah pernah memberikan foto dan video terkait dugaan pencabulan terhadap anak-anak tersebut. Anak-anak ini, menurutnya, sebelumnya mengeluh sakit di area dubur dan vagina.
Ada juga hasil laporan psikolog anak yang menerangkan bahwa anak-anak bercerita soal kejadian kekerasan seksual yang dialami, yang melibatkan lebih dari satu orang. Bukti laporan psikolog itu juga sudah disetorkan ke polisi.
“Kemudian, kalaupun dikatakan ibunya mengalami waham, itu pemeriksaannya sangat tidak layak, karena hanya 15 menit, kemudian juga hanya melibatkan dua orang psikiater, sementara ketentuan acuan kami untuk pemeriksaan berkaitan dengan proses hukum itu ada acuannya di peraturan menteri dan harus ada terdiri dari tim yang khusus, jadi ada psikiater, psikolog, dan tahapan-tahapan,” ujar Resky
“Jadi tidak serta merta orang mengalami waham hanya dalam waktu 15 menit. Itu juga disampaikan, prosedur yang cacat itu juga disampaikan ke Polda, tapi semua argumentasi kami itu tidak ditindaklanjuti,” sambungnya.
Terkait hasil asesmen yang dilakukan P2TP2A Kabupaten Luwu Timur, Resky menyatakan pihaknya menganggap itu tidak bisa dijadikan dasar penghentian penyelidikan. Menurutnya, sejak awal ada maladministrasi dan kecenderungan keberpihakan petugas P2TP2A Luwu Timur terhadap terlapor, yang merupakan ASN, sehingga asesmen yang diberikan tidak objektif.
Menurut Resky, seharusnya P2TP2A Luwu Timur tidak mempertemukan pelapor dengan terlapor. Pelapor seharusnya dilindungi dulu.
Resky menjelaskan pihaknya terus berupaya mengadvokasi kasus ini. Terakhir pihaknya sudah bersurat ke Mabes Polri agar bisa mengevaluasi dan membuka kembali kasus ini, meski menurutnya sampai saat ini belum ada kemajuan.
“Kami akan tetap desak Polri untuk membuka kasus ini kembali,” tegasnya.