MAKASSAR, SULSELEKSPRES.COM – Luka tembak dialami oleh Mahasiswa Unibos Makassar, Arialdy Akmal yang dilakukan salah seorang oknum Polisi Satuan Dit Sabhara polda Sulsel, menjadi polemik. Pasalnya, kedua belah pihak mengungkapkan kronologi yang berbeda.
Terkait kasus tersebut, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar yang di Pimpin oleh Haswandy Andi selaku Direktur dan Suharno selaku Wakil Direktur Bid. Risetangkat bicara.
LBH Makassar, pada Minggu (8/10/2017) dalam pers rilisnya, mengungkapkan beberapa fakta yang dialami oleh mahasiswa Unibos tersebut. Menurut LBH Makassar pernyataan dari pihak Polda Sulsel tersebut simpang siur karena berubah-ubah.
Berikut penjelasan LBH Makassar:
1. Tentang Perbedaan Kronologis Peristiwa versi Korban dan Polda Sulsel.
Berdasarkan kronologis peristiwa yang disampaikan langsung oleh Korban (AK dan NP), keduanya Mahasiswa Unibos Makassar dalam persitiwa pemukulan dan penembakan terhadap diri mereka oleh oknum anggota Kepolisian di Jalan Urip Sumihardjo Makassar pada Jumat dini hari (6/10/2017) bahwa saat kejadian mereka pulang dari rumah keluarganya setelah mengerjakan skripsi dengan berboncengan mengendarai sepeda motor dari arah kota menuju asrama Mahasiswa Maros di kompleks Unhas, namun saat mereka melintas di Jalan Urip Sumiharjo tiba-tiba dicegat oleh Polisi dan langsung memukul mereka dengan menggunakan bambu yang mengakibatkan korban bersama temannya menjadi panik dan ketakutan sehingga langsung menancap gas motor yang dikendarainya, di saat itulah Polisi mengeluarkan tembakan dan mengenai punggung korban AK.
Kronologis yang disampaikan oleh AK dan NP tersebut, tentunya lebih meyakinkan publik karena yang bersangkutan adalah saksi korban yang notabene mendengar, melihat dan mengalami sendir. Selain itu, keterangan mereka berikan kepada Wartawan sesaat setelah peristiwa tersebut baru saja terjadi dan tidak pernah berubah hingga saat ini.
BACA : Diduga Karena Tidak Gunakan Helm, Mahasiswa Ditembak Oknum Polisi
Sementara Kronologis yang oleh pihak Polda adalah keterangan yang simpang siur dan berubah-ubah. Awalnya menuding Korban ditembak karena melarikan diri saat hendak diperiksa, namun kemudian berubah yakni karena dilatarbelakangi karena telah terjadi penyerangan yang dilakukan oleh ratusan Geng motor terhadap petugas Kepolisian yang hendak membubarkan ratusan kendaraan roda 2 yang melakukan Aksi Balap liar di jalan Urip Sumoharjo tepatnya depan Kampus pasca sarjana UMI.
Kesimpangsiuran dan berubah-ubahnya Kronologis versi Polda cukup dapat dimaklumi mengingat yang memberikan keterangan adalah Ka. Humas dan Wakapolda, yang notabene tidak melihat, mendengar dan menyaksikan peristiwa tersebut. Jadi yang dapat membantah Kronologis versi AK dan NP adalah oknum anggota Polisi yang melakukan pemukulan dan penembakan karena mereka juga melihat, mendengar dan mengalami langsung kejadian.
BACA : Kabid Humas Polda: Mahasiswa Yang Ditembak Adalah Geng Motor
Ka. Humas Polda dan Wakapolda seharusnya dalam keterangan Persnya memposisikan diri selaku institusi Kepolisian yang notabene adalah Institusi penegak hukum (bukan oknum anggota) yang harusnya bersifat netral. Sehingga idealnya tidak perlu mengeluarkan klarifikasi terkait kronologis peristiwa mengingat pihak penyidik Polda belum memanggil dan memeriksa saksi-saksi khususnya kedua korban.
Jikapun untuk memberikan respon atas peristiwa penembakan tersebut kepada publik, seharusnya sekadar penjelasan terkait upaya atau langkah-langkah hukum yang akan dilakukan untuk mengungkap peritiwa tersebut dan menentukan pihak-pihak yang harusnya bertanggungjawab untuk segera ditetapkan sebagai Tersangka.
2. Tentang Pelanggaran Prosedur Penggunaan Senjata Api
Terlepas, benar atau tidaknya Kronologis versi Polda, menurut pandangan hukum kami bahwa tindakan penembakan oleh oknum anggota Polri terhadap AK tetap tidak dapat dibenarkan. Mengingat Prosedur Tetap Kapolri No: 01 tahun 2010 tentang Penanggulangan Anarki telah ditentukan bahwa sebelum mengambil tindakan penembakan terhadap seseorang maka seharusnya terlebih dahulu mengambil langkah-langkah secara bertahap sebagai berikut :
a. Melakukan himbauan kepada massa agar membubarkan diri dan melarang massa untuk melakukan perbuatan yang dapat dikategorikan melawan hukum, dengan menggunakan alat komunikasi yang memungkinkan hibauan tersebut didengar oleh seluruh massa dan jika massa masih tetap bertahan tidak mau membubarkan diri, maka pihak aparat kepolisian kembali mengimbau dan memperingati massa bahwa apabila massa tidak mengindahkan maka aparat kepolisian akan mengambil tindakan tegas
b. Adapun jika massa melakukan perlawanan dengan cara melempar batu yang tentunya tidak/ belum dapat dikategorikan sebagai tindakan yang dikategorikan mengancam kesalamatan jiwa aparat atau masyarakat umum, maka seharusnya aparat kepolisian melakukan tindakan sekadar melumpuhkan dengan terlebih dahulu mengutamakan menggunakan:
(1) kendali tangan kosong;
(2) kendali tangan kosong keras;
(3) kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata, atau alat lain sesuai standar Polri; dan
(4) kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain untuk menghentikan tindakan atau prilaku pelaku yang dapat menyebabkan luka atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat atau kerusakan dan/atau kerugian harta benda didahului dengan tembakan peringatan kearah yang tidak membahayakan.
BACA : Pasca Ditembak Oknum Polisi, Begini Keadaan Mahasiswa Unibos
Selain itu, terkait Prosedur penggunaan senjata api oleh anggota kepolisian, diatur pula dalam beberapa ketentuan lain, yakni:
Peraturan Kapolri 8 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Kedua Peraturan tersebut antara lain mengatur bahwa:
• Prinsip-prinsip penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian meliputi:
a. legalitas, yang berarti bahwa semua tindakan kepolisian harus sesuai dengan hukum yang berlaku;
b. nesesitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang dihadapi;
c. proporsionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/penderitaan yang berlebihan;
d. kewajiban umum, yang berarti bahwa anggota Polri diberi kewenangan untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaian sendiri, untuk menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keselamatan umum;
e. preventif, yang berarti bahwa tindakan kepolisian mengutamakan pencegahan;
f. masuk akal (reasonable), yang berarti bahwa tindakan kepolisian diambil dengan mempertimbangkan secara logis situasi dan kondisi dari ancaman atau perlawanan pelaku kejahatan terhadap petugas atau bahayanya terhadap masyarakat.
• Penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia.
• tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat;
• anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut;
• anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.
• Senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk:
a. dalam hal menghadapi keadaan luar biasa;
b. membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat;
c. membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat;
d. mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang;
e. menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan
f. menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.
Sehubungan dengan ketentuan tersebut di atas dihubungkan dengan kronologis peristiwa yang diterangkan Korban (AK dan NP) maka tidak ditemukan fakta bahwa AK dan NP telah atau akan melakukan sebuah tindak pidana atau kejahatan.; Akan atau sementara melakukan tindakan yang mengancam nyawa atau jiwa dari anggota Kepolisian atau Masyarakat, sama sekali tidak.
BACA : Wakapolda Sulsel: Saat Itu, Anggota Dit Sabhara Lakukan Tembakan Ke Atas
Oknum anggota Kepolisian yang melakukan pemukulan dan penembakan terhadap AK dan NP haruslah diberikan sanksi sesuai ketentuan hukum yang berlaku yakni sanksi Pidana dan sanski Administrasi (Pelanggaran Kode Etik dan Peraturan Disiplin). Hal ini sesuai Penjelasan Umum UU No. 39 Tahun 2009 tentang HAM, yang berbunyi :
Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia ini adalah merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan tentang hak asasi manusia. Oleh karena itu, pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung atas hak asasi manusia dikenakan sanksi pidana, perdata, dan atau administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Oleh karenanya, maka sangat keliru dan tidak professional jika dalam kasus ini hanya diperiksa oleh pihak Propam Polda karena kewenangannya hanya terkait dugaan Pelanggaran peraturan disiplin anggota Kepolisian, sementara tindakan memukul dan menembak adalah termasuk dalam kategori tindak pidana penganiayaan yang merupakan kewenangan Dit. Reskrim.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka LBH Makassar sebagai Lembaga yang selama ini konsern mendorong penegakan hukum dan HAM, dengan ini menegaskan Sikap sebagai berikut :
1. Mengecam keras tindakan oknum anggota Kepolisian yang telah melakukan pemukulan dan penembakan terhadap 2 (dua) orang Mahasiswa Univ. Bosowa Makassar tersebut;
2. Protes terhadap Klarifikasi Polda yang simpang siur dan berubah-ubah yang cenderung mengarah pada pembelaan dan melindungi anggotanya yang diduga bertanggungjawab atas peristiwa tersebut;
3. Mendesak kepada Kapolda Sulsel untuk segera melakukan langkah-langkah hukum yang konkrit secara objektif, professional dan transparan guna menyelesaikan peristiwa tersebut sesuai ketentuan hukum yang berlaku, yakni :
• Memerintahkan Dit. Reskrimum Polda untuk segera melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap peristiwa tersebut dan selanjutnya menetapkan oknum anggota Kepolisian yang terlibat sebagai Tersangka serta menjamin agar kasus tersebut berlanjut di persidangan di Pengadilan;
• Memerintahkan Bidang Propam Polda untuk segera melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap oknum yang terlibat dalam peristiwa tersebut dan selanjutnya menggelar sidang dugaan pelanggaran kode etik dan peraturan disiplin anggota kepolisian untuk memberikan sanski yang tegas kepada oknum yang bertanggungjawab.
4. Mendesak pihak Komnas HAM selaku Tim independen untuk segera turun melakukan penyelidikan guna menemukan bukti-bukti awal dugaan pelanggaran HAM yang terjadi dalam kasus tersebut;
5. Mengajak seluruh elemen Masyarakat Sipil di Sulsel untuk mengawal dan mengawasi proses hukum kasus ini agar berjalan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, Obyektif, Professional dan Transparan.
Demikian, atas perhatian dan kerjasama semua pihak, dihaturkan ucapan terima kasih.