Persoalan Kota Berawal Dari Rumah

Anwar Jimpe Rachman pendiri Tanahindie Makassar/ IST

Wawancara Khusus

Makassar merupakan sebuah Kota yang terus mengalami perkembangan, terutama pada Infrastruktur. Namun, perkembangan tersebut tentunya dibatasi oleh letak geografis. Hal ini tentunya akan berdampak pada tata kota. Belum lagi persoalan- persoalan kota yang menambah sebuah ruang kota yang makin riuh.

Melihat banyaknya persoalan kota Anwar Jimpe Rachman,pendiri Tanahindie, lembaga nirlaba yang berdiri sejak 1999. Kembali mengupayakan sebuah program bertajuk Halaman Rumah.

Bagaimana, program tersebut dijalankan? berikut petikan wawncara khusus wartawan sulselekspres.com, Agus Mawan dengan Anwar Jimpe, di Kampung Buku, Kompleks CV Dewi, Jalan Abdullah Daeng Sirua, Panakukang. Jumat (10/3/2018).

Kenapa memilih tajuk Halaman Rumah?

Sebenarnya, ini obrolan tahun 2013, dari situ mulai kita obrolkan, karena kita bingung waktu itu melihat dan membahas soal kota, ini kita mulai dari mana, karena teman-teman di tanah indie itu memang membahas soal kota, tapi setelah belajar-belajar, selama 2 tahun. Kok begitu terus persoalan kota, bahkan kebijakan pemerintah pun berulang-ulang ji dan tidak mengubah hal apapun, pemerintah hanya meladeni dirinya sendiri, hanya kebutuhan mau diakui bahwa mereka membangun, tapi membangunnya fisik gitu, kalau membangun fisik mah ada batasnya toh soal ruang, tapi Makassar kan ya, terbatas tempatnya, dia punya batas geografis yang tertentu.

Waktu itu kita lihat bahwa jangan-jangan persoalan kota memang tidak beres dari rumah. Kenapa orang berkoar-koar di kota, toh karena tidak beres ki di rumah, marah di rumah belum pi selesai persoalan keluar keluyuran. Misalnya, ketidaktaatan orang berkendara, juga karena tidak beres dari rumah.

Menurut kami itu berangkat dari rumah dan halaman semua persoalan kota, karena kota hanya panggung. sedang halaman rumah mi representasi bagaimana kita bersikap terhadap kota.

Apakah ini juga termasuk penyebab maraknya aksi begal atau geng motor yang bertikai?

Penelitiannya teman-teman, anak-anak geng motor itu anak-anak yang diusir dari rumah, ndak diakui orang tuanya. pantas mereka lappo di jalan karena mereka ndak punya tempat di rumah.

Mereka misalnya lagi main gitar di anu tanggul, tiba-tiba diusir ‘wee ribut sekali’. Pergi mi tumpah mi di jalan, siapa mo larang di jalanan?, hanya polisi, itupun kalau polisi siang-siang pi kalau kita ndak pake helm apa, sedangkan mereka tumpahnya malam. Kalau hasil FGD (Focus Group Disscusion) teman-teman begitu, lappok di jalan, karena di rumahnya tidak ada ruang, tidak diakui, tidak didengar suaranya, tidak didengar pendapatnya, sudah mi.

Jadi secara fisik, contoh Halaman Rumah yang Anda maksud seperti apa?

Kita latihan di sini, misalnya, ini disengaja tidak disemen. Yang saya lakukan misalnya memasang paving block, dengan begitu saya berharap air bisa meresap dan tidak hanya lari ke tempatnya orang, dan tanah yang saya tempati lebih sehat. Itu salah satu model. Misalnya lagi, di taman belakang, saya tanami pohon, karena dia ada di pinggir sungai, supaya dia tidak tergerus tanahnya.

Tapi halaman rumah sebagai ruang ataupun rana, itu dalam arti halaman rumah sebagai fisik atau cara berfikir, dapat memudahkan kita membedah karena kenapa, kita sering melupakan hal-hal yang paling dekat yang berhubungan dengan kota, yaitu halaman rumah.

Apakah cuman Kota Makassar saja yang mengalami hal demikian?

Sebenarnya bukan cuman persoalan Makassar, hanya memang kita merefleksikan apa yang kita alami di tanah indie karena dalam hal ini, maupun kampung buku, mengalaminya di kota Makassar.

Tapi persoalan kota sebenarnya sama ji di Indonesia. Sebenarnya memungkinkan untuk seluruh indonesia. karena persoalan membangun di Indonesia saya kira sama, masih orientasinya fisik.

Ada contoh lain pemanfaatan Halaman Rumah?

Di Flores, halaman rumah itu berfungsi secara adat, dari dulu diawetkan adat istiadat, budaya-budaya. Terus dari Solo, itu ada teman yang namanya Halim Hadi, itu menulis bagaimana dia melihat halaman rumah sebagai panggung kesenian, dari dulu ternyata, dari tahun 50-an yang dia alami diluar dari nostalgianya. Dia bilang wayang orang, wayang kulit. main keroncong, orkes keroncong, orkes dangdut, semua mainnya di halaman rumah dulu.

Nah contoh terdekat misalnya Kelompok Seni Sanggar Remaja Paropo itu, yah panggungnya di halaman rumah, jadi kita sudah lama melupakan hal yang paling dekat, yaitu halaman rumah.

Di Tanah Indie sendiri, orang sudah banyak ketahui Kampung Buku letaknya memang di halaman rumah, tapi masih ada contoh praktek yang lainnya?

Praktek kecil misalnya, penelitian Halaman Rumah sendiri itukan sebenarnya dilakukan di halaman rumah, mulai dari menggagas konsep sampai eksekusi sampai mengedit, pokoknya bekerja itu di halaman rumah. Merancang bukunya di halaman rumah semua, disini terus.

Untuk selanjutnya, selain diskusi, kelas menulis, hingga nonton film. Adakah riak lain yang akan dilakukan di Halaman Rumah?

Rencana juga ada bulan April ini, kemungkinan kita mau hubungi beberapa teman-teman yang giat musik, untuk presentasi mengenai bagaimana pengalaman mereka mengalami bunyi-bunyi di halaman, kita bikin reguler mungkin dua tiga bulan sekali.

Apakah sudah ada yang merespon ide Halaman Rumah?

Waktu bom benang 2017 kita bikin di halaman belakang itu semua teman-teman yang seniman misalnya dari Ternate dia tiba-tiba berubah pikiran, “ih iya di’ bisa ki pameran di halaman rumah begitu, lebih nyaman, lebih kayak tidak di kejar target.”

Seperti yang kerap terjadi, soal penggusuran, memungkinkah bila Halaman Rumah diterapkan di Lokasi sengkata tersebut?

Orang kan ketika bicara halaman rumah, ingat namanya ruang secara fisik, ruang secara fisik sangat politis kalau di kota nah, kalau sudah di kota. orang bisa tiba-tiba mau membeli ruang halaman dengan uang segepok dan kau tidak bisa berdaya. Nah di Bara-barayya saya kira kasus itu terjadi, bahwa perebutan-perebutan itu terjadi, Kata teman di sana di Bara-barayya ada celah untuk gagasan ini masuk di Bara-barayya, kita bisa terikat kembali bahwa memang hunian itu penting, memang hal-hal yang kecil itu penting, ruang interaksi, begitu katanya.

Dalam Perda nomor 4, tentang RTRW Kota Makassar, Ruang Terbuka Hijau Privat juga termasuk Halaman Rumah, apakah ini salah satu tujuannya?

Kebanyakan itu, carata menghormati orang, liat dulu apa yang dia punyai, mobil, berapa motornya, besar rumahnya atau tidak. Tapi caranya kasih besar rumah, nababatki itu halamannya kemudian dia temboki biar nakasih besar, seandainya misalnya caranya kita enak memperlakukan halaman, ekologis, kita bisa hitung sebenarnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Makassar, kau bisa akumulusi jumlah halaman yang punya tanaman, jadi orang ndak perlu bingung soal RTH.

Tapi soal itu, pemerintah saya kira perlu intervensi. Kita tahu kalau rumah itu privat, tapi menurut saya juga pemerintah penting juga menegaskan ‘oke kalau kau punya halaman minimal ada pohon kau tanam, pohon besar supaya sehat,’ Sehat kota saya rasa itu.

Tapi saya kira tanpa intervensi pemerintah pun, penting setiap kita untuk sadar.

Di buku Halaman Rumah itu ada kajian tersendri soal lingkungan, satu pohon berapa suhu bisa dia turunkan, itu yang bisa kasih sejuk kota. Dan semestinya pemerintah juga harus memberikan contohnya saya kira. Jangan membangun nababat dulu pohon, terus dia ndak ganti, yang saya tahu soal itu aturan, kalau mau menebang ada dulu ditanam pohon.

Jadi apa tujuan dari Halaman Rumah bagi Anda?

Jadi sebenarnya mengajak kembali orang untuk perhatikan kembali rumahmu deh, banyak hal-hal yang bisa kita lakukan sebenarnya, Kembali saja ke rumah, pelukan yang paling hangat itu di rumah.Tidak adami lagi. Dan Sebenarnya teman-teman disini berharap direspon dari semua pihak.

Di buletin Yard edisi pertama yang terbit September 2017 lalu. Pada bagian Pengantar, Tanah Indie menjelaskan program ‘Halaman Rumah’, dengan memfokuskan penilitiannya terhadap tiga kampung kota di kecamatan Panakukang, Kota Makassar, yakni Kampung Paropo, Kampung Rama, dan perkampungan di Jalan Sukaria.

Kecamatan Panakukang, yang sebelumnya merupakan salah satu kecamatan dari delapan kecamatan di Kabupaten Gowa. Sejak Tahun 1971, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 51/1971, kecamatan Panakukang menjadi salah satu kecamatan di Kota Makassar.

Puluhan tahun berlalu, Kawasan Panakukang kini menjadi pusat kota, tempat perdagangan barang dan jasa. Sejumlah usaha seperti mode dan kuliner berkembang pesat di kawasan ini, bahkan belakangan mulai tampak pertumbuhan hotel.

Ditambah dengan kehadiran Mall Panakukang, sebagai daya pikat para investor untuk membangun sejumlah hotel dan apartement di kawasan tersebut.

Sementara itu, dengan laju perkembangan Panakukang, bagi Tanah Indie, perekonomian kota tentu mengalami ekspansi terkait properti pribadi, terutama tanah terhadap tiga kampung di kecamatan Panakukang.

Penulis : Agus Mawan