Rektor IPB Sebut Pembina Relawan Sahabat Rakyat Jokowi Radikal

Menteri Pertanian Republik Indonesia Andi Amran Sulaiman memantau kualitas bibit kopi yang akan diserahkan ke petani kopi di Tana Toraja sebanyak 500ribu pohon.

JAKARTA, SULSELEKSPRES.COM — Rektor IPB, Arif Satria mencap pembina relawan sahabat rakyat yang juga Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman sebagai menteri radikal lantaran gebrakannya dalam bidang pertanian mampu menghasilkan berbagai capaian membanggakan buat Indonesia.

Hal itu terbukti dengan naiknya produksi komoditas pertanian, ekspor dan meningkatnya kesejahteraan petani. Bahkan, kata dia, Mentan punya banyak terobosan, kerja keras yang luar biasa dan yang penting berani melawan mafia-mafia pangan.

Pernyataan Rektor IPB ini ditanggapi penulis dan pemerhati kebijakan publik Erick Mubarok. Menurutnya, apa yang dikatakan orang nomor satu di kampus pertanian terbesar di Indonesia tersebut bukan sekedar lip service semata.

“Sebagai orang nomor satu di Kampus Pertanian, tentu saja saya meyakini Pak Rektor tidak sedang melakukan lip service, pasti ada dasar Rektor IPB ini mengungkapkan apresiasinya,” kata Erick melalui rilis yang diterima Sulselekspres.com, Minggu (26/8/2018)

Dia menjelaskan, pada 6 Agustus 2018 lalu, BPS merilis sebuah data yang mendeskripsikan pertanian sebagai sektor yang menalami kenaikan atau pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) pada triwulan II tahun ini.

“Apa artinya? Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan data itu berarti pertanian menjadi sektor yang paling baik kenaikannya secara year on year (yoy) dimana mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional,” ujarnya.

Erik melanjutkan, Indonesia patut bangga dengan Amran sebagai Mentan, terbukti dengan komoditas jagung yang memasuki episode baru sejak sutradaranya dipegang Amran, jagung menembus pangsa pasar ekspor.

“Perlu dicatat juga, dulu pemerintah sering dikecam lantaraan kebijakan impor jagung ini jalan terus karena pasokan dalam negeri tak mencukupi. Tahun 2015 saja ada sekitar 3,5 juta ton jagung diimpor sampai menghabiskan anggaran mencapai Rp10 triliun,” jelasnya.

Namun, pada periode 2010-2014, nilai impor jagung sangat variatif dengan laju pertumbuhannya mencapai 15,72 % per tahun. Total nilai devisa yang digunakan untuk impor jagung selama lima tahun tersebut mencapai USD3,57 miliar atau kira-kira mencapai Rp49 triliun.

“Tentunya, dana sebesar itu akan lebih berguna jika dialokasikan ke program-program peningkatan kesejahteraan petani dan perekonomian nasional bukan?,” tambahnya lagi.

Kemudian, menurut Erick, hanya dalam waktu 3 tahun saja, arah angin itu berbalik. Indonesia sekarang menjadi negara pengekspor jagung. Eksportir dalam artian urusan kebutuhan jagung nasional sudah terpenuhi. Memang, selama 2011-2015 Indonesia sudah melakukan ekspor jagung.

Tetapi yang berbeda dengan ekspor sekarang adalah ada ketimpangan nilai impor dan ekspor pada saat itu, alias defisit berat. Rata-rata ekspor jagung Indonesia saat itu hanya 24 ribu ton, sedangkan impornya rata-rata 2,50 juta ton. Bandingkan dengan data tahun ini saja, sejak Maret Indonesia sudah ekspor 60 ribu ton jagung asal Sulawesi Selatan ke Filipina.

“Usaha memutarbalikkan fakta dari importir ke eksportir ini tidak mudah. Pemerintah mesti jeli memperbaiki beberapa sektor secara berbarengan, dari meratakan persebaran produksi, distribusi, menjaga tren positif harga jagung. Dan juga harus berurusan dengan saudara kita sendiri yang tak bangga negaranya jadi eksportir,” pungkasnya.