SULSELEKSPRES.COM – Empat hari pascabencana banjir melanda Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, 12 warga dipastikan meninggal dunia. 20 lainnya akibat tanah longsor.
Demikian data sementara yang diperoleh dari BPBD Sulsel lewat Crisis Media Center Biro Humas dan Protokol Pemprov Sulsel, Jumat (25/1/2019).
Kabupaten Gowa, terbilang lokasi terparah diantara 13 wilayah, yang saat ini terdata dalam Crisis Media Center sebagai wilayah terdampak.
BACA: 2 Ton Beras Dikirim Menggunakan Helikopter untuk Korban Longsor di Gowa
Selain merenggut nyawa, 16.393 hektare luas sawah di 8 kecamatan menjadi lautan air dalam sekejap waktu.
Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulsel, banjir ini mungkin tidak separah seperti sekarang, bila pemicunya tidak ada. Seperti kerusakan lingkungan dan buruknya tata ruang.
Kedua itu menurut catatan Walhi, berbentuk aktivitas tambang galian C di bantaran sungai Je’neberang. Walhi mencatat setidaknya ada enam fasilitas tambang yang beroperasi.
“Aktivitas ini tentu membuat laju sedimentasi meningkat cepat sehingga membuat pendangkalan pada sungai,” kata Direktur Walhi Sulsel, Al Amin.
BACA: Gubernur Sulsel Bakal Tertibkan Tambang di Gowa
Pihak Walhi beranggapan, dampak dari aktivitas tambang tersebut, membuat Daerah Aliran Sungai (DAS) sepanjang 80 kilometer tersebut, mengalami degradasi yang sangat drastis.
“Pemerintah dan penegak hukum sepertinya terus membiarkan aktivitas tambang tersebut, yang hingga kini kami duga tak berizin,” ujarnya.
Meski begitu, pihak Amin maklum bahwa, pemicu bencana ini mulanya memang akibat hidrometereologi; “dimana terjadi hujan dengan intensitas tinggi dan angin kencang di wilayah Sulawesi Selatan.”
Namun, jika kondisi lingkungan baik-baik saja dan pemanfaatan ruang di atur dengan benar dan ditaati oleh semua pihak, maka kata Amin tentu tidak akan terjadi bencana separah ini.
BACA: BNPB Sebut Banjir di Sulsel Disebabkan Aktivitas Tambang di Gowa
Untuk itu, Amin menilai, lewat bencana ini pula, pemerintah harus menjadikannya sebagai momentum penting untuk kembali mereview dan menindak tegas aktivitas tambang, yang dinilai dapat memperparah bila sewaktu-waktu terjadi bencana.
“Terlebih lagi yang tidak memiliki dokumen lingkungan, karena aktivitas itulah yang paling berkontribusi terhadap bencana ekologis ini,” Amin menjelaskan.
Sementara itu, Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo sepakat, bila pemicu dari parahnya bencana di Gowa, adalah aktivitas tambang di hulu sungai Jeneberang.
“Salah satu penyebab banjir selain cuaca ekstrem adalah adanya tambang di hulu Sungai Jeneberang. Dan hutan juga,” kata Doni, saat ditemui usai memantau banjir yang ada di Perumnas Antang, Kelurahan Antang, Kecamatan Manggala, Kamis 24 (24/1/2019).
BACA: Masih Terisolir, Berikut Kebutuhan Mendesak Desa Mangempang Gowa
Menurut Doni, vegetasi di kawasan hulu sudah habis sehingga daerah resapan yang ada sudah sangat berkurang. Sehingga, fungsi konservasi di kawasan hulu tersebut harus dikembalikan.
Pengembalian fungsi konservasi tersebut kata dia, harus pula didukung oleh komitmen pemerintah dan masyarakat.
“Jadi masyarakat jangan lagi mengambil pasir di wilayah hulunya sungai Jeneberang,” katanya.
Namun, apakah bila masyarakat telah sadar, tambang haram tersebut tak bakal ada lagi? Kata Doni, hal itu harus juga ditopang oleh aturan yang tidak lembek dan disertai sanksi yang tegas.
“Harus dibuatkan aturan yang keras dan kuat dengan sanksi yang tegas. Masyarakat juga harusnya tidak boleh membeli pasir yang berasal dari kawasan hulu,” jelasnya.
Sedang, Nurdin Abdullah, seorang Gubernur tamatan Sarjana Kehutanan tersebut menganggap, dampak dari aktivitas tambang itulah yang membuat pendangkalan di Sungai Jeneberang.
BACA: Empat Jembatan di Gowa Roboh Diterjang Banjir Bandang
“Bayangkan saja sudah digemburkan semua pasir, batu, datang hujan sedimen air semua masuk. Nah itu salah satu penyebabnya,” kata dia.
Menurut Nurdin, masa periode kepemimpinannya sebagai Gubernur akan dimanfaatkan untuk melakukan peninjauan ulang, terhadap aktivitas tambang.
“Dikaji dulu, ada isin atau tidak. nanti kita akan kolaborasi dengan Pemda setempat,” ujarnya.
Sehemat masanya, Nurdin mengaku belum pernah menandatangi izin tambang; “saya belum pernah kasi izin.”
“Yah makanya di periode ini kita akan tinjau ulang, karena sudah ada dampak,” aku Nurdin.
Untuk itu, depan harinya, Nurdin bersama pihak Pemda Gowa akan melakukan “duduk bersama” membahas mengenai aktivitas tambang sekitaran Bendungan Bili-bili.
Hal ini dinilai penting, sebab untuk menjamin ketahanan bendungan multi turbo tersebut.
“Karena terus terang Bili-bili itu termasuk cekdam multi turbo, artinya, 100 tahun itu masih layak di pakai, tapi kalau kondisi sekarang itu sudah harus pengerukan,” tambahnya.
Nurdin mengakui, bila aktivitas tambang di bantaran sekitaran Bendungan cukup menjamur, ada yang haram dan sebaliknya. Namun, Nurdin tidak ingin terburu-buru, “kita harus bikin kajian.”
“Artinya, untuk sementara setelah pemantauan kita, secara kasat mata ternyata penambang di situ luar biasa banyaknya. Inilah salah satu konstribusi penyumbang sedimen yang masuk cekdam,” sebut Nurdin.
Bupati Gowa: Itu adalah kewenangan provinsi
Mengenai tambang di daerahnya, Bupati Gowa, Adnan Purichta Ichsan menampik bila izin tambang di bantaran DAS Jeneberang, merupakan wewenangnya.
Wewenang itu kata Adnan, adalah milik Pemerintah Provinsi Sulsel.
“Itu adalah kewenangan provinsi, bukan kabupaten,” kata Adnan, Kamis (24/1/2019), disadur dari InikataSulsel.
Menurut dia, sejak 2015, lewat Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, meniscayakan perijinan tambang energi dan mineral telah diberikan ke pihak provinsi.
Namun, benarkah selama ini terdapat indikasi pelanggaran, soal itu Adnan menyerahkan sepenuhnya ke Gubernur Sulsel.
“Mengenai itu biarkan Pak Gubernur yang mengkaji. Dulu memang menjadi kewenangan Pemkab Gowa, tapi sejak 2015 menjadi kewenangan Provinsi,” ujarnya.
Bagaimana Penegakkan Hukumnya?
Pihak kepolisian daerah (Polda) Sulsel, dalam hal penegakkan hukum, terlebih dahulu harus disertakan pelaporan.
“Dan, harus ada penyelidikan dari saksi ahli,” demikian kata Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes (pol) Dicky Sondani saat dihubungi.
Sejauh ini, seingat Dicky, laporan polisi mengenai tambang haram di wilayah hulu sungai Jeneberang belum ada.
“Belum ada [laporan],” singkat Dicky.
Sementara itu, pihak Penegakkam Hukum (Gakkum) Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sulawesi saat ini belum dapat berkomentar.