Arkeologi Maros-Mencari Fosil Manusia Purba di Kawasan Kars

Sejumlah Arkeolog tengah menggali tanah untuk menemukan fosil di Leang (Gua) Bulu Bettue, Kabupaten Maros/ SULSELEKSPRES.COM/ RAHMI DJAFAR

MAROS, SULSELEKSPRES.COM – Perbukitan kapur (Kars) Maros-Pangkep, selain memiliki keindahan, juga menyimpan banyak misteri kehidupan purba. Hal itu terlihat dari tarikan yang membawa para Arkeolog untuk mencari jejak-jejak masa lampau di Gua yang ada di sana.

Salah satunya adalah Leang Bulu Bettue, Maros. Oleh warga setempat, Leang diartikan sebagai gua. Di mulut Gua yang terdapat di Tebing Kars setinggi 50-100 meter, sejumlah mahasiswa Arkeologi dan Arkeolog sibuk menggali tanah dengan hati-hati. Peralatan yang cukup mumpuni seperti penerang, peralatan menggali, dan wadah untuk menaruh hasil galian menjadi pemandangan siang yang diteduhkan pepohonan dan angin lembah kars.

Pekerjaan menemukan fosil memang selain membutuhkan kehati-hatian menggali tanah, juga memakan waktu panjang. Pekerjaan di Leang Bulu Bettua ini telah dimulai sejak 2012 yang merupakan Kerjasama Australia-Pusat Penelitian Arkeologi Jakarta, Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan, Arkeologi Unhas dan Arkeologi Universitas Haluleo. Hal itu dikatakan Budianto Hakim, peneliti senior Balai Arkeologi Sulsel yang didampingi Prof Adam Brumm dari Environmental Features Researcher Institute Australia Research Centre for Human Evolution Nathan Campus, Grififth University, saat ditemui di lokasi, baru-baru ini.

Menurut Budi-sapaan akrab Budianto Hakim, pencarian ini sebagai bagian dari melanjutkan hasil temuan arkeolog Ian Glover sekitar tahun 1970, di Leang Burung dua.

“Kami ingin mencari jejak Manusia masa lampau yang hidup di sini. Meski hingga kini belum menemukan tulang manusia, tetapi sudah ditemukan tanda-tanda pendukungnya yang diperkirakan diggunakan manusia,” ujar Budi.

Hasil yang telah ditemukan yakni tulang Kus-kus, Anoa, tulang Babi, Burung, ukurannya sama dengan yang ada sekarang. Selain itu juga pernah ditemukan Liontin yang diperkirakan digunakan oleh manusia Purba. Mengenai ukuran tulang hewan-hewan Purba itu, kata Budi, tidak jauh berbeda dengan yang ada saaat ini, hanya pada kondisinya yang lebih tua. Pihaknya juga telah mempublikasikan temuan tersebut dalam bentuk jurnal.

Sebelumnya, tim ini juga telah menemukan lukisan di tujuh yang memiliki sampel. Khusus di Leang Timpuseng, menunjukkan usia pembuatan minimal 40.000 tahun silam, lebih tua dari lukisan dinding gua di El Castillo, Spanyol. Otomatis, lukisan di Leang Timpuseng menjadi lukisan tertua di dunia.

“Kualitas lukisan di Leang Timpuseng itu memiliki ukuran yang detail. Diantaranya, ada kalsit yang tumbuh di atas permukaan lukisan, ada inti atom di dalamnya dan diukur dengan menggunakan metode uranium. Lukisan tujuh Gua itu berkisar 18.000 tahun hingga 40.000 tahun,” jelas Budi.

Tujuh lokasi tersebut yakni Leang Timpuseng, Jarie, Leang Jing 1, Leangjing 2, Barugaya 1, Barugaya 2, dan Leang Lompoa.

Dalam proses menentukan hasil, kata Budi, juga membutuhkan waktu panjang.

“Nanti galian itu akan dicuci, lalu dijemur, dan dibawa lagi ke Balai Arkeolog dan akan diteliti oleh masing-masing ahli hingga pada pengajuan analisis lanjutan oleh para ahli,” tandas Budi.

Pada 2017 lalu, arkelog hanya menemukan liontin yang digunakan manusia purba sekitar 30.000 tahun.