25 C
Makassar
Thursday, December 12, 2024
HomeRagamEkspedisi Napak Tilas Padewakang, Sebuah Upaya Merawat Warisan Nenek Moyang

Ekspedisi Napak Tilas Padewakang, Sebuah Upaya Merawat Warisan Nenek Moyang

- Advertisement -

MAKASSAR, SULSELEKSPRES.COM – Berawal dari inisiatif Abu Hanifa Institute, Ridwan Alimuddin bersama 11 rekannya kemudian berkesempatan memperkenalkan warisan budaya nenek moyang melalui Ekspedisi Napak Tilas Pelayaran Padewakang.

Pria 41 tahun tersebut bakal mengarungi samudera menggunakan Perahu Padewakang menuju Australia. Hal itu ia lakukan demi menjaga warisan orang terdahulu Bugis Makassar yang dikenal sebagai pelaut ulung.

“Dulu, sekitar 250 tahun yang lalu, sebelum orang-orang Eropa tinggal di Australia, 70 tahun sebelumnya orang-orang Bugis, Makassar, dan Mandar, sudah bolak-balik ke sana untuk tangkap Teripang,” Ridwan berkisah saat ditemui reporter Sulselekspres.com di perairan Pulau Lae-lae, Sabtu (7/12/2019) sore.

“Jadi sekitar 300 tahun lalu lah. Karena terakhir dilarang masuk ke sana itu sekitar tahun 1909 kalau tidak salah ingat. Mereka berangkat di bulan Desember saat angin barat tiba, nanti kembali di bulan Mei,” lanjutnya.

Bagi Ridwan, Ekspedisi yang ia lakukan tersebut adalah wujud syukur karena bisa menjadi bagian dari orang-orang yang berkesempatan melestarikan warisan budaya, khususnya mengetahui tata cara dan tekologi orang dahulu dalam mengarungi lautan.

Ide Ekspedisi Napak Tilas Pelayaran Padewakang sendiri muncul di awal tahun 2019, kemudian ide itu diwujudkan dengan memulai proses pembuatan Perahu Padewakang dan dilanjutkan dengan pelayaran yang rencananya akan berlangsung selama satu bulan penuh.

“Kalau ide itu muncul di awal tahun 2019. Bulan Juni baru mulai pembuatannya, sekitar satu pekan setelah lebaran. Kemudian peluncuran di Tana Beru, Bulukumba, pada (9/11/2019) kemarin pas Maulid Nabi. Di sini (Pesisir Losari) sudah hampir dua minggu,” terangnya.

“Ekspedisi ini ada 12 orang. Ada Guswan. Dia di tahun 2011 pernah berlayar ke Selayar sama enam orang temannya, dengan rute yang sama. Ada Tino dari NTT yang pernah naik Sandeq sendiri dari Mandar ke Jakarta. Ada Horst, mentor saya, dia orang Jerman, peneliti maritim, sudah 30 tahun di Indonesia, dan ada saya sendiri.”

Pria kelahiran Tinambung, 23 Desember 1978 tersebut mengaku tidak takut lagi membelah lautan meski hanya menggunakan perahu tanpa mesin berukuran 14 meter (Panjang) dan lebar 4 meter. Baginya, segala sesuatu pasti ada risikonya, hanya saja segala antisipasi harus dipersiapkan dengan matang.

“Kalau khawatir, ya orang dulu memang begini. Untuk keselamatan kita pakai standar internasional. Karena nanti kan dicek, apakah standar keselamatannya memenuhi atau tidak. Tapi kita pakai telepon satelit dan GPS. Kalau perahunya ya tetap tradisional begini,” jelasnya sambil memperlihatkan kondisi di dalam perahu.

“Jadi bikinnya itu berawal dari lihat-lihat gambar di buku, sketsa, dan ada juga orang tua yang masih ingat modelnya. Bahannya dari kayu Jati sama kayu Bitte, di dalam ada bambu, terus atapnya dari rumbia. Kalau layarnya dibikin dari Mandar, namanya Sombal Tanjaq, bahannya dari daun pohon Gebang yang dianyam.”

Untuk jalur ekspedisi sendiri, Pria asal Mandar tersebut mengatakan bahwa mereka akan singgah di beberapa pulau kecil untuk melakukan aktivitas seperlunya, seperti berbagi buku bacaan dan melengkapi beberapa keperluan dalam perjalanan mereka.

“Jadi kita singgah-singgah. Di Selayar, terus kan banyak pulau-pulau kecil juga, NTT, tapi nanti dilihat situasinya juga. Terakhir nanti di Sombaki, Maluku, baru lanjut Australia. Yang jelas target perjalanan satu bulan sampai di sana,” bebernya dengan gimik mengingat sesuatu.

Untuk biaya ekspedisi sendiri, Ridwan dan rekan-rekannya bekerjasama dengan salah satu komunitas di Australia, Komunitas Abu Hanifah, yang membiayai pembuatan perahu sampai dengan pelayaran dan kembali ke Indonesia.

Setelah tiba di Australia, Perahu kemudian akan dihibahkan ke Komunitas Abu Hanifah, yang selanjutnya bakal dipajang di salah satu Museum yang ada di kota Sidney, Austtralia.

“Untuk ekspedisi ini kita kerjasama dengan komunitas yang ada di Australia. Namanya Komunitas Abu Hanifah. Jadi kami dibiayai sejak pembuatan sampai dengan ekspedisi ini. Setelah sampai di sana, perahu akan dihibahkan dan bakal dipajang di salah satu museum di kota Sidney,” jelasnya.

Ekspedisi ini ia lakukan sebagai ajang edukasi kepada anak-anak milenial. Ia menganggap bahwa pengetahuan tentang sejarah tidak melulu harus didengar lewat cerita atau bacaan-bacaan semata, tetapi akan lebih baik jika bisa dibuktikan sendiri dengan cara terlibat langsung dalam penelitian atau kegiatan-kegiatan semacamnya.

“Ya kita mau kasih tahu ke anak-anak sekarang kalau ternyata ada warisan seperti ini (Perahu Padewakang). Kita mau kasih lihat cara orang dulu berlayar, ya begini. Tempat minumnya begitu, tempat masaknya juga begitu, pakai kayu bakar,” jelas Ridwan sambil mengarahkan telunjuknya ke arah kendi, tungku tanah, dan kayu bakar yang ada di atas perahunya.

“Ini semua penting untuk edukasi. Jangan sampai kita cuma merasa bangga punya nenek moyang pelaut ulung, tapi tidak tahu seperti apa mereka mengarungi lautan, seperti apa teknologinya” lanjutnya.

Metode edukasi ekspedisi ini nantinya bakal dikemas dalam bentuk yang lebih familiar, yaitu melaui film dokumenter dan buku bacaan.

“Kalau saya pribadi, nanti bakal saya tulis kedalam sebuah buku. Kalau di Australia nanti dibuatkan film seperti Net Flix, makanya saya diminta dokumentasikan sejak awal pembuatan sampai tiba di sana nanti. Tapi kalau kita di sini nanti paling lewat youtube sama buku,” tutupnya.

Tim Ekspedisi Napak Tilas Pelayaran Padewakang sendiri akan berangkat pada hari Minggu (8/12/2019) pukul 10:00 WITA, dari Pelabuhan Kayu Bangkoa, kota Makassar.

spot_img
spot_img

Headline

spot_img