24 C
Makassar
Thursday, April 25, 2024
HomeTopikMuseum Makassar, Tersisih Ditengah Kesibukan Kota

Museum Makassar, Tersisih Ditengah Kesibukan Kota

- Advertisement -

MAKASSAR, SULSELEKSPRES.COM – Bangunan tua bergaya khas Eropa tersebut dipoles dengan cat berwarna krem. Di beberapa sisi terlihat tanaman hias dan pepohonan rindang.

Jika di pandang dari luar, bangunan tua tersebut terlihat kokoh menghadap jalan Balai Kota, kota Makassar. Di Bagian depan terdapat tulisan besar berwarna merah “Museum Kota Makassar” sebagai identitas gedung.

Dari halaman depan gedung yang tidak terlalu luas tersebut saya mendapati empat pintu kaca sebagai akses pengunjung untuk masuk.

Di ruang tamu, beberapa kursi dan meja tertata rapi. Di kursi tersebut terlihat seorang perempuan berpakaian dinas dan seorang laki-laki yang lebih tampak seperti pengunjung. Mereka berdua tampak sedang sibuk berbincang.

Saya menyimpulkan bahwa kursi tersebut digunakan untuk menyambut tamu yang berkunjung ke museum.

Di depan kursi yang berjejer rapi itu terdapat meja resepsionis. Di atas meja tinggi tersebut terletak sebuah buku tamu dan pena. Di tempat itu, seorang gadis yang merupakan resepsionis menyambut saya dan rekan saya dengan sapaan ramah.

“Selamat datang kak, silakan isi daftar hadir dulu ya,” ia memberikan arahan kepada kami.

“Untuk kolom kesan-kesannya nanti ya kak. Kakak silakan jalan-jalan dulu. Lihat-lihat di dalam,” lanjutnya sambil menunjuk ruangan yang berada di sebelah kanan meja resepsionis.

Saya kemudian memutuskan untuk memasuki ruangan 01. Di dalam ruangan tersebut tidak terlalu banyak hal yang dipajang. Hanya beberapa lukisan yang dibubuhi keterangan tentang sejarah kota Makassar, beberapa biji batu-bata yang dipajang di dalam kaca, juga tiga jenis rempah (Padi, Pala, dan Cengkeh) yang dimasukkan kedalam kendi.

Setelah memperhatikan pajangan beberapa saat, saya memutuskan untuk memasuki ruangan bagian dalam. Di ruangan yang kedua ini saya melihat beberapa lukisan tokoh pahlawan kota Makassar seperti Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka, dipajang dalam ukuran besar.

Beberapa tulisan tentang sejarah kota Makassar juga dipajang di ruangan ini. Selain itu, foto-foto Wali Kota Makassar sejak zaman penjajahan Jepang sampai era Danny Pomanto terpajang rapi di lemari kaca.

Siang itu, Selasa (28/1/2020) museum terlihat sangat sepi. Tidak ada pengunjung selain saya dan seorang rekan saya. Saya hanya mendapati dua pekerja yang sedang membersihkan kaca tempat memajang lukisan.

Kondisi ini terlihat seperti tidak ada peminat yang mau datang ke Museum tersebut. Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat saat ini lebih memilih tempat hiburan seperti cafe, wisata taman, atau wisata alam ketimbang datang ke Museum.

Hal ini juga ditandai dengan nuansa bosan yang timbul pada saat pengunjung berkeliling. Sebab saya tiak menemui satupun pemandu selama berada di lantai satu museum.

Kabarnya Museum Kota Makassar baru ramai pada saat akhir pekan (Sabtu-Minggu). Tetapi pengunjung useum membludak pada saat ada gelaran event, seperti pameran dan sebagainya.

Keterangan tersebut membuat saya berbisik kepada rekan saya “wajar saja sepi, ternyata ini hari Selasa. Kita coba datang lagi nanti akhir pekan”.

Setelah merasa cukup berada di ruangan tersebut, saya kemudian memutuskan untuk melihat situasi di lantai dua. Di lantai ini saya dipandu oleh perempuan paruh baya, usianya sekitar 35 tahun. Ia menagajak saya masuk ke dalam ruangan utama di lantai tersebut.

Pintu kayu besar dan tinggi, serta tiga kursi di depan pintu memberikan kesan antik kepada saya. Setelah pintu ruangan tersebut dibuka, kami mendapati sejumlah kursi kayu dan meja kayu yang disusun berbaris membentuk huruf U. Ada tiang bendera, juga mimbar yang biasa digunakan untuk berpidato.

“Ini ruangan sidang,” celetuk pemandu. “Dulu Belanda kalau sidang di ruangan ini. Mejanya besar dan kuat, kalau kursinya sudah diperbaiki karena beberapa sudah lapuk,” terang perempuan tambun tersebut.

“Kalau ini tiang mic. Besinya kuat. Dari dulu belum pernah diganti ini,” bebernya sambil memegang besi tua yang sudah berdebu.

Di samping ruang sidang tersebut, ada sebuah ruangan yang berisi beberapa pernak-pernik. Sejumlah batu-bata dipajang di dalam kaca. Menurut keterangan pemandu, batu-bata tersebut merupakan bagian dari batu-bata yang digunakan untuk membangun Benteng Somba Opu.

Selain batu-bata, ada juga meriam, yang juga dipajang di dalam kotak kaca. “Ini Meriam bisa cerita. Karena tulisannya itu seperti Meriam yang bercerita,” ujar si ibu dengan sedikit dibubuhi tawa.

Setelah dari lantai dua, kami kembali turun ke lantai satu. Sebelum sampai di lantai satu, saya disambut dengan suguhan meja panjang yang digunakan untuk memajang sejumlah lukisan. Di sisi kanan dan kiri meja, terdapat deretan kendi yang diwarnai dengan berbagai motif.

Di lantai satu tersebut ternyata ada ruangan lain. Letaknya di sebelah kiri meja resepsionis. Di depan pintu masuk ruangan terrsebut terdapat satu unit sepeda klasik. Sepeda tersebut disangga menggunakan kayu agar tidak roboh. Di bagian belakang sepeda tertulis “Makassar 1946” pada sebuah aluminium yang terlihat menyerupai plat kendaraan.

Saat saya memasuki ruangan pertama, saya terkesan dengan sejumlah patung besar menggunakan berbagai baju adat kedaerahan. Patung-patung tersebut berdiri tegak di dalam kaca, seolah menunjukkan ketegasan orang Bugis-Makassar.

Di ruangan bagian dalam, saya kembali mendapati beberapa lukisan dan pernak pernik yang terbuat dari keramik. Beberapa tulisan juga menerangkan gambar yang terpajang, seperti awal mula perdagangan keramik di Makassar, kisah Perahu Padewakang, dan juga budaya menangkap Teripang orang Bugis-Makassar di masa lalu.

Setelah hampir dua jam berkeliling, saya memutuskan untuk pamit. Sebelum pamit, tidak lupa saya menuliskan kesan saya di buku tamu.

Selain itu, saya mendapati tiga orang mahasiswa yang berasal dari salah satu Universitas Negeri di kota Makassar. Mereka terlihat sibuk berbincang dengan menenteng laptop di tangan kanannya.

Setela berrpamitan dengan resepsionis, saya memilih keluar lewat pintu sebelah kiri. Di depan pintu terrsebut cukup teduh, karena ada pohon rindang yang berdiri sedikit doyong di sudut kiri museum.

Di sebelah kiri museum tampak bangunan kecil, entah toilet atau ruangan satpam, saya tidak tahu secara pasti. Sebab ruangan tersebut dalam keadaan terkunci.

Di sekitar pintu keluar dan ruangan kecil tadi, berserakan daun-daun kering yang terlihat kotor dan memberikan kesan bahwa gedung tersebut kurang terawat.

Di sepanjang tepi jalan depan museum, kendaraan roda empat dengan berbagai jenis dan berbagai warna berbaris parkir. Sehingga useum tidak dapat terlihat jelas dari arah luar.

Suasana ini tentu memberikan kesan yang kurang menyenangkan. Bangunan bersejarah tersebut tampak semakin redup dan tidak populer ditengah gencarnya pembangunan kota Makassar.

Penulis : Widyawan Setiadi

spot_img

Headline

Populer

spot_img