Nurdin Halid: Feeding The World

Oleh : H.A.M. Nurdin Halid
Calon Gubernur Sulsel, 2018-2023

SIAPA sangka, pada lebih 300 tahun silam, Sulawesi Selatan pernah menjadi pusat agrobisnis dunia. Itu terjadi pada penghujung abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-17. Sulawesi Selatan pada masa itu dibawah kekuasaan imperium kesultanan Makassar (Gowa – Tallo). Pada saat yang sama, gerakan kebudayaan, renaisans, sedang mengalami puncaknya di Eropa, yang kemudian melahirkan revolusi industri seabad kemudian.

Bandar Makassar yang terkenal hingga ke berbagai belahan dunia, adalah bandar laut terbesar di nusantara, bahkan di Asia Tenggara. Bandar Makassar adalah tujuan utama kapal dagang mancanegara. Bukan sekadar bandar persinggahan, seperti yang dikesankan selama ini dalam berbagai teks buku-buku sejarah.

Bukti kuat yang menunjukkan hal itu adalah, bahwa di Makassar pada masa itu bermukim bangsa-bangsa besar Eropa sebagai perwakilan dagang, seperti Inggris, Portugis, Spanyol, Belanda, dan Turki Ottoman. Begitu pula dengan bangsa-bangsa besar Asia, seperti, China, Arab, India, dan Melayu.

Keberadaan bangsa-bangsa tersebut menjadi bukti sejarah yang autentik bahwa Sulawesi Selatan memang pernah menjadi pusat perdagangan dunia. Lebih spesifik lagi sebagai pusat perdagangan produk yang berbasis pertanian (agrobisnis). Sulsel yang mengalami surplus produk agro, lantas menjadi negeri pengekspor bahan pangan ke Asia dan Eropa melalui Bandar Makassar. Pada 300 tahun lebih yang silam, Sulsel telah “memberi makan dunia”.

Sejauh yang bisa ditelusuri, masa Itu adalah salah satu puncak pencapaian sejarah yang pernah dicapai Sulawesi Selatan yang terjadi pada masa lalu, yaitu masa imperium Kesultanan Makassar. Pada 300 tahun kemudian, sejarah pencapaian itu, tampaknya coba dihadirkan kembali oleh Prof. Ahmad Amiruddin, Gubernur Sulsel, periode 1983 – 1993, melalui konsep perubahan pola pikir, pewilayahan komoditas, dan petik olah jual, yang terkenal sebagai “tri konsep”.

Tri konsep tersebut, pada dasarnya adalah sebuah cetak biru pembangunan ekonomi Sulsel berbasis agro, yang dibuat berdasarkan potensi keunggulan lokal Sulsel. Dengan konsep itu, tampak dengan jelas apa yang dicitakan Prof. Amiruddin, yaitu, menjadikan Sulsel sebagai pusat Agrobisnis.

Sayang, 10 tahun masa kepemimpinan Prof. Ahmad Amiruddin, tak cukup baginya untuk mewujudkannya cita-cita itu. Dan, hampir seperempat abad berlalu setelah era beliau, cita-cita itu belum juga kunjung terealisasi. Bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, Sulsel memang mengalami surplus beras, itu tidak terbantahkan. Tetapi belum cukup membuat Sulsel disebut sebagai sentra agrobisnis. Hal ini disebabkan oleh pembangunan sektor Pertanian kita masih monoton dengan monopoli tanaman padi. Akibatnya, komoditi pertanian lainnya, relatif tidak berkembang.

Keadaan itu, tampaknya telah lama disadari oleh Bapak Wapres Jusuf Kalla. Sehingga dalam berbagai kesempatan, selalu menekankan betapa pentingnya percepatan transformasi ekonomi bagi Sulawesi Selatan. Dari ekonomi berbasis pertanian menuju ekonomi industri yang berbasis pada sektor agro. Mengapa? Karena beliau tentu menyadari bahwa itulah keunggulan lokal satu-satunya yang dapat menggerakkan ekonomi masyarakat secara luas dan massiv.

Pada akhirnya kita dapat memahami jalan pikiran beliau, bahwa pertumbuhan ekonomi dengan distribusi pendapatan yang relatif merata, hanya bisa terjadi jika konstribusi sektor agro lebih besar. Sebab hampir 75 % masyarakat Sulawesi Selatan hidup dari sektor tersebut. Dengan kata lain, selama konstribusi sektor agro, kecil, maka pertumbuhan ekonomi yang dicapai, hanya akan menghasilkan kesenjangan pendapatan. Lalu, narasi tentang kesejahteraan tak lebih dari sekadar retorika belaka.

Sedangkan menurut hemat kami, tampaknya diversifikasi usaha tani perlu dilakukan guna menghasilkan beragam komoditas yang bernilai ekonomi tinggi. Dalam kaitan itu, maka implementasi konsep pewilayahan komoditas dipandang masih relevan. Demikian pula dengan konsep petik olah jual (industrialisasi pada sektor agro), niscaya dilakukan agar ragam komoditas yang dihasilkan memiliki nilai tambah (added value) secara ekonomi. Dan pada gilirannya, sektor agro ini akan berkonstribusi secara nyata terhadap pertumbuhan ekonomi Sulsel.

Tri Konsep Prof. Amiruddin dan harapan Bapak Wapres Jusuf Kalla, itulah yang kemudian diadaptasi pada “Gerakan Membangun Kampung”, yang dalam berbagai kesempatan kerap disimplikasi sebagai gerakan membangun di kampung. Sebab, setidaknya secara spasial, keberadaan sektor agro adanya di pedesaan (kampung). Oleh karena itu, membangun kampung pada dasarnya adalah membangun sektor agro.

Dalam membangun sektor Agro, paling tidak terdapat tiga hal yang menjadi perhatian. Pertama, intensifikasi dan ekstensifikasi sampai pada batas yang memungkinkan, yang bertujuan untuk meningkatkan produksi. Kedua, diversifikasi usaha tani dengan tujuan antara lain, meningkatkan jumlah jenis komoditas agro yang bernilai ekonomi tinggi. Ketiga, adalah mendorong pengembangan agroindustri secara paralel dengan dua hal sebelumnya.

Bayangkan, kalau suatu hari nanti kita menghasilkan beragam komoditas bernilai ekonomi tinggi, kemudian diolah melalui proses industrialisasi, maka pada saat itu, Sulsel berubah menjadi sentra industri agro. Dengan produktifitas yang tinggi, bahkan sampai pada tingkat surplus yang memungkinkan kita melakukan ekspor ke mancanegara, maka pada saat itu, Sulsel menjelma menjadi pusat agrobisnis. Itulah Sulsel baru yang dicita-citakan.

Ketika Sulsel menjelma menjadi pengekspor produk Agroindustri, sempatkah terpikir oleh kita bahwa pada saat itu, Sulsel sebenarnya telah memberi makan pada dunia. Feeding the world adalah sebuah visi yang sangat realistis bagi Sulsel yang memiliki hampir semua persyaratan yang diperlukan untuk itu. Kalau saja negeri seperti Thailand mampu melakukannya, mengapa Sulsel tidak?!

#samasamaki NH-AZIZ Bangun Kampung untuk Sulsel Baru yang Lebih Baik