Sulselekspres.com – Partai-partai pendukung Panitia Khusus Hak Angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin kehilangan basis politik setelah dalam Rapat Paripurna DPR empat fraksi memilih walkout, kata pengamat politik.
Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, Sri Budi Eko Wardhani, menilai partai-partai pendukung pansus KPK menempuh risiko besar seiring dengan diteruskannya manuver pelemahan terhadap KPK.
“Pansus KPK ini makin kehilangan basis politik, bukan saja partai di DPR, tapi juga basis politik publik. Yang paling penting basis politik publik karena bagaimanapun ini dicatat dalam benak publik untuk pemilu berikutnya. Siapa saja dan partai mana saja yang sikapnya menganggap KPK sebagai institusi yang harus dilemahkan,” papar Sri dilansir BBC Indonesia.
Dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (26/09), Fraksi PAN, PKS, Gerindra, dan Demokrat walkout atau keluar dari ruang sidang lantaran tidak setuju apabila Pansus KPK meneruskan masa kerjanya.
“Fraksi PAN, atas arahan ketua umum, kami tidak setuju jika pansus ini diperpanjang masa kerjanya,” kata Sekretaris Fraksi PAN Yandri Susanto, pada Selasa (26/09).
Secara terpisah, Wakil Ketua Pembina Partai Demokrat, Agus Hermanto, menegaskan bahwa pihaknya “konsisten dari awal tidak menyetujui adanya Pansus Hak Angket KPK.”
Belum rampung
Sejatinya masa kerja pansus bakal berakhir 28 September 2017, sesuai dengan 60 hari masa kerja. Akan tetapi, dalam pembacaan laporan di Rapat Paripurna, Ketua Pansus KPK, Agun Gunanjar, menerangkan masa kerja pansus belum rampung.
“Berkenaan dengan pimpinan dan pejabat KPK yang belum memenuhi panggilan panitia angket, berakibat panitia angket belum dapat merampungkan seluruh tugas-tugasnya karena masih harus melakukan langkah-langkah pengujian dan konfirmasi dengan pihak-pihak terkait dalam organ KPK,” tutur Agun.
Agun tidak menegaskan secara gamblang apakah dengan laporan itu masa kerja pansus diperpanjang.
Namun, dalih bahwa pansus masih belum bisa memberikan kesimpulan atau rekomendasi kerja karena belum mendapat keterangan dari pihak KPK, Yandri Susanto dari PAN menegaskan “Nggak ada jaminan jika masa kerja (pansus) diperpanjang, mereka (KPK) akan hadir.”
Di tengah ketidakpastian soal masa kerja Pansus KPK, Fahri Hamzah selaku pimpinan rapat paripurna mengetok palu tanda menerima laporan Pansus KPK.
Fahri Hamzah mengatakan, Pansus KPK telah memenuhi kewajiban sesuai Pasal 206 Undang-Undang MD3 (UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD), yaitu melaporkan hasil kerjanya kepada paripurna setelah 60 hari bekerja.
“Laporan itu diniatkan di pembicaraan tingkat satu sebagai laporan bukan sebagai kesimpulan. Kalau di pembicaraan tingkat satu diniatkan sebagai laporan, maka pertanyaannya itu kepada paripurna laporannya diterima atau ditolak,” ucap Fahri usai memimpin rapat paripurna di Gedung DPR.
Menurutnya, Pansus KPK tak perlu meminta persetujuan untuk perpanjangan masa tugas.
“Sekarang bagaimana, mau lanjut atau tidak (pansus)? Lanjut atau tidak itu adalah hak dari pembicaraan tingkat pertama, di Pansus Angket,” papar Fahri.
Ditentang banyak pihak
Sejak awal, pembentukan pansus KPK sudah ditentang oleh banyak pihak yang meyakini langkah tersebut sebagai salah satu upaya untuk mengekang lembaga antirasuah itu.
Kini, kengototan pansus KPK untuk meneruskan masa kerja juga dikritik koalisi pendukung KPK. Betty Alisjahbana adalah salah satunya.
“Apa yang dilakukan pansus sejauh ini mengada-ada, tidak fokus, dan mencari-cari kesalahan baik KPK maupun Pak Agus sebagai pimpinan KPK. Karena itu, saya bersama dengan koalisi pendukung KPK, kami membuat petisi agar pansus dibubarkan,” papar Betty.
Yang dimaksud Betty mengada-ada adalah beragam hal yang diklaim pansus KPK sebagai ‘temuan’.
‘Temuan’ Pansus KPK
Saat membacakan laporan pansus hak angket KPK, Agun Gunanjar mengurai ada empat inti temuan sebagai pertanggungjawaban pansus setelah bekerja 60 hari.
Empat temuan tersebut adalah soal peran KPK yang seharusnya melakukan koordinasi dan supervisi, disebut terbukti telah gagal. KPK dinilai tidak mengikuti MoU dalam hal penanganan korupsi. Fungsi supervisi juga dinilai mengalami kemandekan.
Kedua, peran KPK sebagai trigger mechanism dinilai tidak berjalan.
Ketiga, KPK disebut memperluas independensinya karena penanganan perkara dinilai tidak mengacu pada KUHAP, semisal dalam hal perlindungan saksi dan korban, mengelola barang rampasan dan sitaan serta lainnya.
Terakhir, KPK dinilai mempertontonkan kewenangan yang superior dengan tidak menghargai lembaga pemerintah dan lembaga hukum lain.
Pansus Hak Angket DPR terhadap KPK ini dibentuk atas usulan anggota fraksi PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai NasDem, dan Partai Hanura, setelah KPK menolak permintaan untuk memutar rekaman BAP tersangka pemberi keterangan palsu e-KTP, Miryam S. Haryani, dalam rapat kerja Komisi III dengan KPK.