25 C
Makassar
Tuesday, April 16, 2024
HomeHeadlineRUU Permusikan dan Bagaimana Pegiat Musik Makassar Melihatnya?

RUU Permusikan dan Bagaimana Pegiat Musik Makassar Melihatnya?

- Advertisement -

MAKASSAR, SULSELEKSPRES.COM – Kota Makassar, jadi tanah di mana musik dengan label indie mulai menggeliat. Dari lirikal politis, hingga sekadar menuangkan isu sosial dalam musiknya.

Pelbagai aliran musik pun tumbuh di kota yang tengah mewujudkan diri menjadi The Global City ini. Sayangnya, pascapengajuan oleh Konferensi Musik Indonesia (KAMI) dan Koalisi Seni Indonesia (KSI), (28/1/2019), para Legislator Senayan justru mengajukan Rancangan UU Permusikan, yang mengandung ragam pasal karet.

“…KAMI dan KSI menilai seharusnya RUU Permusikan fokus pada tata kelola industri musik. Yaitu dengan cara memberikan aturan main yang tegas kepada setiap pemangku kepentingan di dalam ekosistem musik,” ucap Glenn Fredly, Ketua Komiter KAMI, seperti dikutip Tirto.id.

Baca: Mendagri: RUU Terorisme Mendesak

Beranjak waktu, RUU Permusikan jadi polemik, sebab mengandung pasal yang dinilai karet. Salah satu kausa yang dinilai karet adalah Pasal 5; yang mengatur proses kreasi.

Di pasal itu; terdapat satu poin yang melarang “Pelaku Musik”; membawa pengaruh negatif budaya asing.

“Menurut ku, di tengah geliat musisi Makassar belakangan ini, RUU Permusikan khususnya terkait Pasal 5 itu justru akan menghambat imajinasi dan kreativitas para musisi dalam berkarya,” kata Bobby, sapaan akrab Zulkhair Burhan, Pendiri Kedai Buku Jenny (KBJ), Jumat (1/2/2019).

Dalam kausa 5, menurut pemilik perpustakaan KBJ yang kerap dijadikan pementasan musik tersebut, menilai, pasal tersebut tak memiliki batasan yang terang. Seperti pada poin d; yang melarang pelaku musik memproduksi musik yang dapat menistakan, melecehkan, dan atau menodai nilai agama.

“Karya yang seperti apa yang dianggap menistakan atau menoda ajaran agama misalnya?,” kata Bobby, “pasal ini justru akan menjadi kebiri dalam berkarya.”

Menurut Bobby, RUU Permusikan menjadi satu bentuk kontra-zaman yang saat ini serba terbuka, dan siapa pun boleh-boleh saja mengemukakan pendapatnya melalui medium tertentu, termasuk musik.

“Jadi aneh kalau di satu sisi kita menuntut keterbukaan atas kemajuan dari mana saja, namun di sisi yang lain, kita justru sedang merancang pengekangan yang lain,” terang dia.

Selain pasal 5, dalam RUU tersebut pula, terdapat kausa yang mengatur kompetensi, sebagai syarat pelaku musik dapat berkreasi.

Aturan itu termaktub dalam Pasal 20 hingga 35. Menurut Bobby, seluruh pasal yang mengatur kompetensi dan uji kompetensi adalah “Ngawur.” Dan tentu, pasal kompetensi tersebut memberi dampak buruk bagi pelaku musik di tanah air dan kota Makassar.

“Ini era yang memudahkan mu untuk berkarya. Dari gadget mu bisa hasil kan karya dan menyebarluaskannya ke mana saja dan tiba-tiba mau diatur siapa saja yang boleh berkarya,” sebut Bobby.

Baca: Cerita Korban Pelecehan Seksual oleh Dosen: Dia Ajak Saya ke Hotel

Menurut Bobby, dibanding pemerintah mengatur itu, lebih baik bila legislator mengatur infrastruktur permusikan. Hal ini lebih baik, agar “musisi atau siapa saja dapat berkarya dengan maksimal.”

Bobby dalam kacamatanya, justru berharap, pemerintah menegaskan regulasi agar sektor privat mengeluarkan CSR untuk kesenian musik.

Selain sektor swasta, Bobby juga mengeluhkan pemerintah daerah yang mematok tarif pajak pementasan yang masih besar.

“Dengan asumsi bahwa musik atau kesenian secara lebih luas merupakan bagian tak kalah penting dalam pembangunan,” sebut Bobby.

“Jadi konteksnya, melihat musik tidak hanya sebagai entertainment atau hiburan belaka. Musik bisa jadi ruang eksplorasi gagasan lokal.”

Dari Absurditas Hingga Konyolnya RUU Permusikan

Theory of Discoustic (ToD), salah satu grup musik asal Makassar, yang saat ini telah mentas di panggung Nasional. Band yang terbentuk pada tahun 2010 tersebut, dalam musiknya memadukan unsur budaya lokal bugis dengan mengangkat tema cerita rakyat dan kebudayaan.

Berdendang melalui aliran akustik ambient-folk. ToD diawaki Dian Mega Safitri selaku vokalis, Reza dan Nugraha pada gitar, Fadly pada bass, keyboard pada Hamzarulla dan Adrian pada drum.

Namun mendekati satu dekade, Dian mendengar RUU Permusikan. Penyanyi yang sehari-harinya berprofesi sebagai wartawan ini juga menilai, sejumlah kausa yang termaktub dalam RUU tersebut; karet.

“Iya, kemarin beberapa teman juga sudah posting soal pasal karet ini,” kata Dian, “saya rasa tidak ada musisi yang berniat menodai agama apa pun dalam berkarya. kebanyakan yang saya lihat selama ini beberapa musisi hanya mengangkat isu sosial.”

Baca: Apa itu studio musik elektronik Yang Dirayakan Google Doodle ?

Dari zaman Slank, Iwan Fals, Ebiet G Ade dan sebagainya. Menurut Dian, sah-sah saja bila musisi mengangkat isu sosial, lagi pula kata Dian itu konsekuensi dari hak berpendapat.

“Tapi medianya musik. Pun kalo ada unsur agama misalkan di dalam karyanya, ya itu mungkin karena kebetulan lagi marak sekarang isu-isu sosial yang berkaitan soal agama. Tapi dak mungkin mereka mau menodai agama,” kata dia.

Sementara pada poin pelarangan pelaku musik dalam proses kreasi membuat musik yang membawa pengaruh negatif budaya asing, Dian menilai terdapat unsur yang ambigu dan jatuhnya justru membingungkan. Itu berbeda soal dengan unsur pornografi, seperti poin di kausa lima tersebut.

“Tapi budaya asing lainnya tidak disebutkan secara spesifik, jadi memang membingungkan. karena kebanyakan musik memang asalnya dari barat. Kayak DJ [Disc Jockey], musik EDM [Electronic Dance Music] dll. Itu kan semua barat punya,” terang Dian.

Absurditas selain pasal 5, juga menurut Dian terdapat di pasal yang mengatur uji kompetensi. Dan Dian mengaku tidak terima bila pasal itu dicatutkan. Apalagi nantinya disahkan sebagai Undang-undang.

“Nah itu juga uji kompetensi, lucu sekali. Kreativitasnya orang masa’ mau diukur pakai uji kompetensi, apalagi musik,” kata Dian, “kecuali, yang uji kapasitasnya memang mumpuni, maksudnya expert. Tapi aduh kreativitas ini kasihan, haha.”

Menurut Dian, pengekangan ini serupa saat pemerintah hendak mengikat air. Kreativitas menurut dia, layaknya air yang mengalir. “Kreatifitas itu mengalir, akan tambah dikekang akan tambah berkreasi, hehe,” sebutnya.

Senada dengan Dian, komposer skena noise atau eksperimental MYTH, Eric Arfizal, juga sepakat bila keseluruhan batang pasal pada RUU Permusikan itu absurd.

“Dalam Pasal 5, yang melarang pelaku [pemain musik, dll], untuk membawa pengaruh negatif budaya asing itu menurutku, sama hal nya seperti melarang orang buang air kecil di toilet umum. Kenapa? Karena setahu ku, musik tidak mengenal batasan apapun. Musik ya musik,” kata Destructo nama panggung dari Eric.

Baca: Persekusi Hingga Pembubaran Unras Mahasiswa Papua di Makassar Oleh Ormas

Dampak negatif, kata dia, bisa datang dari budaya mana saja. Pun, bila demikian, negatif apa yang kemudian dimaksud. Lagi pula, menurut Eric, apakah budaya yang memicu orang untuk saling membunuh tidak negatif?

“Ini rancu sekali, haha. Pembunuhan atas nama Agama, Surga, dan Tuhan itu, lebih menjijikkan ketimbang dampak negatif dari pengguna narkoba,” kata dia.

Sementara, poin yang melarang pelaku musik membuat karya yang menodai agama, menurut Eric juga salah kaprah. Agama dan Musik kata dia, tidak memiliki tautan yang spesifik. Ihwal musik bagi dia, merupakan hubungan intim antar pemusik dan musik yang ia hasilkan.

“Kalaupun ada potongan lirik yang mungkin mencela atau mengkritisi Agama, menurutku itu berarti ada beberapa hal yang cuma pemusiknya tahu,” kata Eric, “terakhir, mungkin RUU Permusikan ini, hampir sama konyolnya dengan razia, pelarangan, bahkan pembakaran buku-buku berbau kiri, dan sejarah.”

RUU Permusikan Jangan Jadi Gawean Elitis

RUU Permusikan mungkin takkan menjadi keblinger seperti sekarang, bila dalam penentuannya melalui proses yang demokratis dan tidak terkesan sepihak.

“Kalau memang pemerintah mau buat regulasi soal permusikan seperti ini, harusnya ajak diskusi dulu para musisinya. Biar dua arah komunikasinya, tidak grasa grusu,” kata Dian, “kan bisa jadi niatnya pemerintah baik, cuma bahasanya saja yang kurang kena di hati para musisi kita.”

Saleh Hariwibowo, atau yang kerap disapa Ale’, berpendapat, pasal kompetensi kemungkinan lahir sebagai definisi musisi, sekaligus menegaskan apa itu musisi sebagai profesi, di masyarakat.

“Saya jadi teringat setiap pulang ke kampung halaman bertemu keluarga, dan ditanya; “pekerjaanmu apa?”, akhirnya menjawab “main band” sangat berat, bukan karena saya tidak PD, tapi karena akan memakan waktu menjelaskan ke keluarga tentang, apa yang dikerjakan anak band, bagaimana perekonomiannya, bagaimana masa depannya, dan bla bla bla” kata Gitaris Ruang Baca dan Kapal Udara tersebut.

Baca: Tanpa Indikator, Inapgoc Nisbahkan Makassar Layak Disabilitas

Karena itu, kata Ale’ bila negara lewat RUU Permusikan yang “melembagakan musisi”, depan hari akan banyak orang yang bakalan mengerti, jika sewaktu-waktu dirinya ditanya mengenai profesi yang ia geluti di permusikan.

“Tapi tidak semudah itu mengeluarkan pasal. Sederhananya, pemerintah tidak hadir dalam proses bermusik, lalu tiba-tiba ingin memberi banyak batasan,” kata dia.

Namun, terlepas dari itu, Bobby berharap melalui isu RUU Permusikan ini, semua orang dapat membicarakannya, bukan hanya jadi domain para elit.

“Ini harus jadi pembicaraan banyak kalangan biar tidak terkesan elitis,” kata dia.

Walau masih dalam bentuk rancangan, RUU Permusikan membutuhkan banyak masukan atau kritik, sebelum terlanjur disahkan.

“Agar UU yang nanti dihasilkan tidak justru menyalahi esensi UUD 1945, khususnya terkait hak menyampaikan pendapat, bersuara dan seterusnya,” kata Bobby.

Sebab bila terlanjur, musik sebagai unsur pembangunan depan hari akan berubah menjadi hal tabu.

“Masa’ yang nanti anak Cucuta dengar musik yang pemerintah mau. Nda na-dengar mi nilai-nilai kemanusiaan dari karya John Lennon,” kata Bobby.

“Deh sedih dan menakutkan [untuk] membayangkannya,” tutup Bobby.

Penulis: Agus Mawan
spot_img

Headline

Populer

spot_img