Media Lokal, Mandiri Itu Berat, Tapi Harus!!
Yang paling sunyi dari dunia digital hari ini bukan ruang kosong, tapi media kecil yang berjuang hidup di tengah kebisingan.
Mereka menulis dengan idealisme, tapi membayar tagihan dengan rasa cemas.
Saya datang ke Gowa bukan untuk mencari berita. Tapi untuk mendengar denyut jantung media lokal. Denyut yang kadang cepat — saat ada isu besar. Tapi lebih sering pelan, nyaris tak terdengar, di antara hiruk pikuk informasi yang tak pernah tidur. Begitu kata Ketua SMSI Sulsel, Anwar Sanusi.
Media lokal hari ini hidup di dua gelombang: algoritma dan kebutuhan bertahan. Yang satu menuntut cepat. Yang lain menuntut cerdas. Tidak semua bisa menyeimbangkannya.
Itulah mengapa SMSI Gowa penting. Ia bukan sekadar organisasi, tapi jembatan napas bagi media kecil yang masih idealis namun kerap kehabisan daya.
Banyak media di daerah tetap bekerja keras meski sumber daya terbatas. Redaksinya dua orang, wartawannya merangkap editor, fotografer, sekaligus admin. Kadang berita ditulis di warung kopi, di sela mencari iklan agar server tak mati bulan depan.
Apakah itu salah? Tidak. Itu realitas. Tapi idealisme tanpa kemampuan bertahan hanya jadi romantisme.
Mandiri dan Profesional
Saya suka ucapan Ketua SMSI Gowa: “Media yang sehat harus independen secara redaksi, tapi juga mandiri secara ekonomi.”
Kalimat sederhana, tapi berat. Mandiri itu sulit. Karena di baliknya ada biaya operasional, gaji wartawan, dan persaingan dengan media besar yang punya algoritma canggih.
Namun justru di situ letak roh perjuangan media lokal – penjaga nurani masyarakat daerah.
SMSI Gowa sadar, profesionalisme bukan soal kartu pers, tapi soal tanggung jawab.
Tidak semua berita harus sensasional. Tidak semua kritik harus memaki. Tidak semua klik berarti kebenaran.
Kolaborasi Tanpa Kehilangan Gigitan
SMSI Gowa ingin membangun kolaborasi dengan pemerintah daerah. Bagus. Tapi kolaborasi bukan berarti tunduk.
Media yang terlalu jinak kehilangan fungsi sosialnya.
Pemerintah butuh media yang kritis, bukan yang selalu setuju.
Begitu pula media, butuh pemerintah yang terbuka, bukan yang mudah tersinggung.
Seperti Kopi Kampung
Saya berharap suatu hari media-media di Gowa bisa hidup dari pembacanya sendiri, bukan dari amplop atau titipan iklan.
Media lokal itu seperti kopi kampung — aromanya mungkin kalah dari kopi mahal di mal, tapi rasanya bisa lebih jujur.
Dan saya yakin, SMSI Gowa akan menjadi barista yang baik.
Menjaga cita rasa media lokal — tetap pekat, tetap hangat, tapi tidak pahit.
Karena pada akhirnya, media yang baik bukan yang paling ramai dibaca,
tapi yang paling lama diingat. (*)
Catatan ringan oleh Arfandi Palallo



