30 C
Makassar
Friday, March 29, 2024
HomeRagamWarung Kopi dan Panggung Politik Tipis-tipis

Warung Kopi dan Panggung Politik Tipis-tipis

- Advertisement -
- Advertisement -

MAKASSAR, SULSELEKSPRES.COM – Fenomena pertumbuhan warung kopi (Warkop) di kota-kota besar sudah dianggap sebagai hal yang wajar bagi masyarakat. Warkop secara perlahan berhasil menggeser ruang-ruang cengkerama seperti ruang tamu dan ruang keluarga menjadi tempat yang biasa-biasa saja.

Belakangan ini masyarakat di perkotaan lebiWarung Kopi dan Panggung Politik Tipis-tipish banyak menghabiskan waktu bercengkerama bersama kawan, sahabat, bahkan keluarga di warung kopi. Hal ini tentu menjadi fenomen yang tidak disadari oleh masyarakat bahwa pergeseran budaya kumpul sudah beralih.

Secara tidak langsung kondisi ini memberikan celah untuk mengekspose persoalan privat menjadi konsumsi publik. Meski begitu, banyak kalangan menilai bahwa pertumbuhan warung kopi justru menjadi fenomena positif, sebab warkop bisa menjadi wahana edukasi alternatif di luar pendidikan formal.

Hal itu tentu tidak bisa dipungkiri, sebab mayoritas masyarakat dari berbagai kalangan memang kerap menjalani aktivitas di warung kopi, baik dalam hal pekerjaan, bersantai, atau berbincang soal kepentingan politik.

Berkaitan dengan politik, warung kopi juga menjadi salah satu elemen yang tidak bisa dipisahkan. Sebab saat ini banyak aktivitas politik yang digelar secara terbuka di pusat tongkrongan seperti warung kopi.

Menurut salah seorang pengamat politik di Sulawesi Selatan, Luhur A Priyanto, awala mula pergeseran fungsi warung kopi sebagai wahana perbincangan politik sebenarnya berawal dari wilayah Aceh, saat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) melakukan spionase kepada PNS yang tidak terlibat dalam gerakan GAM.

“Ya sebenarnya sejarah ruang publik seperti warkop sebagai tempat pembelajaran politik itu sudah terjadi. Kalau kita belajar sejarah warung kopi (warkop) menjadi arena politis, berdasarkan temuan saya, sebenarnya dimulai sejak di Aceh,” ujar Luhur.

“Jadi warkop itu dulu katanya menjadi arena untuk memata-matai para Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang tidak terlibat dalam GAM. PNS yang pulang kantor dan nongkrong di warkop itu dianggap bukan kombatan,” lanjut Luhur.

“Sehingga sejak saat itu perbincangan politik mulai massif di warung kopi. Bahkan sebenaranya sekarang ruang tamu kita kan sudah banyak berpindah ke warkop. Dan warkop sekarang menjadi arena pembelajaran politik alternatif di luar jalur-jalur pendidikan formal, seperti Pendidikan Tinggi (PT), Media, dan sebagainya,” terangnya.

Menanggapi terkait kondisi ini, Luhur mengatakan bahwa kondisi ini tidak berbicara soal kemajuan atau kemunduran, melainkan sebuah tantangan yang harus dijadikan sebagai bahan evaluasi oleh beberapa pihak, kenapa hal ini bisa terjadi di masyarakat.

“Saya kira ini merupakan tantangan baru dan memang dunia berubah, jadi tantangan demokrasi juga berubah. Kita masuk dalam demokrasi yang industrialisasi, sehingga fenomena pertumbuhan warkop yang menjadi arena pembelajaran politik ya sudah niscaya dan kita terima sebagai sebuah kelaziman.”

“Ini sebenarnya tantangan. Pada saat yang sama para agensi-agensi demokrasi yang lain, seperti Perguruan Tinggi, Media, Sekolah, Partai Politik, dan lembaga-lembaga yang lain, saya kira harus merefleksi diri kenapa orang banyak meninggalkan organisasi itu dan mencari nilai baru, gagasan baru, di warkop,” beber pengamat politik muda tersebut.

Lebih jauh Luhur mengatakan bahwa pergeseran ruang-ruang temu tersebut diakibatkan oleh kondisi warung kopi yang lebih menawarkan suasana yang egaliter dan setara. Jadi semua orang bisa saja berbaur dengan orang lain tanpa harus sungkan dengan jabatan ataupun strata seseorang.

“Mungkin di warkop lebih menawarkan egaliterisme. Di warkop tidak ada kasta, orang sama-sama duduk, sama-sama minum kopi, jadi mungkin itu kelebihannya warkop, bahwa di warkop ruang publik itu menjadi sangat egaliter, tidak ada kasta, tidak ada perbedaan, dan semua bisa berbaur dalam kedudukan yang sama,” tutup Luhur.

Meski begitu, perhelatan politik kini banyak dimulai dari gerakan warung kopi. Hal itu ditandai dengan banyaknya warung kopi yang dimanfaatkn untuk menjadi markas politisi ataupun tim pemenangan orang-orang politik.

Selain itu banyak juga markas partai politik yang disulap menjadi warung kopi, sehingga pengunjung tidak menyadari bahwa disetiap aktivitas yang mereka lakukan di tempat tersebut secara tidak langsung melibatkan mereka dalam gerakan politik tertentu.

Hal ini membuat beberapa kalangan bahwa warung kopi merupakan panggung politik kecil-kecilan, yang cukup efektif digunakan untuk menarik perhatian dan suara di momentum tertentu.

Penulis : Widyawan Setiadi

spot_img

Headline

Populer