SULSELEKSPRES.COM – Seperti teknologi, jurnalisme seiring waktu juga ikut berkembang, dari lembaran naskah hingga berbentuk audio dan visual. Di sela akselerasi informasi seperti sekarang, kebutuhan kecepatan kian dilihat perusahaan media di berbagai negara.
Memasuki revolusi industri 4.0, pelbagai macam teknologi kian berkembang. Kaitannya dengan produk jurnalistik, era digitalisasi ini mengharuskan perusahaan media dengan para awaknya dapat melek teknologi dalam memanfaatkan teknologi sebagai pendukung karyanya. Maka perusahaan media dan teknologi mesti “kawin.”
Kecerdasan Buatan (AI; Artificial Intelligence) di dunia jurnalisme bukan terbilang barang baru. Beberapa perusahan media di berbagai negara sudah menggunakan AI dalam menghasilkan produk beritanya. Soal kecepatan, AI relatif menang.
Baca: Hubungan Ayah Dan Anak, Menentukan Tingkat Kecerdasan Buah Hati
Dari hasil kawin keduanya, lahirlah Jurnalisme Robot dengan nama “Tobi”. Lantas, seberapa efektifkah?
2014 silam, LA Times menurunkan sejumlah berita keras mengenai peristiwa gempa bumi di California Selatan, walau menarik perhatian dunia, pembaca tak mengira produk yang ia lihat merupakan hasil algoritma.
Dikutip dari Slate, Ken Schwencke yang merupakan jurnalis LA Times sekaligus programmer komputer mengungkapkan, berita yang ia turunkan saat itu ditulis oleh robot.
Ken kala itu, bahkan sama sekali tak melakukan pengeditan terhadap berita yang dibuat dalam kurun waktu tiga menit tersebut. Singkat cerita, berita tersebut lahir dari algoritma yang ia susun untuk secara otomatis membuat berita pendek ketika gempa bumi terjadi.
Selain LA Times, kantor berita AP, telah mulai mengembangkan sistem kecerdasan artifisial di dunia jurnalistik, dalam pembuatan beritanya.
‘Tobi’ telah dikenal selama hampir satu dekade. Tobi berfungsi untuk menghasilkan cerita, mempersonalisasikan pengiriman berita serta menyaring data untuk menemukan berita penting.
Kiprah sukses Tobi tak berhenti di situ saja. Pada Pemilu 2018 di Swiss, dengan menggunakan Tobi, Tamedia menghasilkan 40.000 berita dalam waktu lima menit tentang hasil voting pada November 2018 lalu.
Dilansir dari The Jakarta Post, kala itu, Tobi menulis pada hasil pemungutan suara untuk masing-masing 2.222 kotamadya Swiss menurut sebuah makalah yang disajikan bulan lalu pada konferensi Computation + Journalism di Miami.
Menurut salah seorang Profesor Universitas Oregon, Damian Radcliffe, penerimaan juralisme robot di dunia sudah relatif cukup besar.
“Sistem ini dapat menawarkan kecepatan dan ketepatan serta berpotensi mendukung realitas ruang yang lebih kecil dan tekanan waktu bagi para jurnalis,” sambungnya dikutip dari AFP, Minggu (10/3/2019).
Baca: Bisa Jadi Saingan Pria, Robot Seks Miliki Penis Akan Diluncurkan
Bayang Cemas Tobi
Meski hubungan jurnalis dan robot nampaknya mesra, kekhawatiran tak pelat dapat muncul. Kecemasan akan kecerdasan buatan ini, diprediksi dapat merugikan pekerjaan jurnalis.
Februari lalu, peneliti OpenAI AS merilis laporan bahwa program penghasil teks berita dapat digunakan untuk menghasilkan artikel berita palsu, menyamar sebagai orang lain dan dapat membuat konten palsu di media sosial.
Baca: Prediksi 7 Pekerjaan yang akan Hilang 10 Tahun ke Depan
Dalam kutipan wawancaranya bersama AFP, Direktur Inisiatif Strategis The Washington Post, Jeremy Gilbert Gilbert mengatakan bot diklaim dapat menyampaikan dan memperbaharui berita lebih cepat serta memungkinkan wartawan untuk berkonsentrasi pada tugas lainnya.
Kata Gilbert, kehadiran Heliograf (sebutan bot TWP) tidak bermaksud menggantikan reporter atau editor manusia mereka, melainkan untuk membantu membebaskan mereka dari tugas yang paling monoton, seperti hasil olahraga dan laporan pendapatan.
Di The Washington Post, kata Gilbert, Heliograf dikembangkan sebagai alat untuk membantu tim editorial surat kabar.
“The Post memiliki tim reporter dan editor yang luar biasa dan kami tidak ingin menggantinya,” kata Gilbert kepada AFP.
Baca: Wacana Revolusi Industri 4.0 Dinilai Dapat Jerat Pekerja
Dengan kehadiran Heliograf, kata Gilbert memungkinkan para awaknya dapat berkonsentrasi pada tugas-tugas lain. Reaksi awaknya saat itu, umumnya positif.
“Kejutannya adalah bahwa banyak orang datang dan berkata, ‘Saya melakukan cerita ini setiap minggu; apakah ini sesuatu yang dapat kita otomatisasi?'” Kata Gilbert.
“Ini bukan cerita yang ingin dilakukan siapa pun.”
Pada 2018, Reuters telah meluncurkan Lynx Insight. Dalam kerjanya, robot milik Reuters menganalisis data secara otomatis, dalam mengidentifikasi tren serta dapat menyarankan isu yang harus ditulis oleh wartawan.
Kalangan menilai, salah satu keuntungan menggunakan cerita yang dihasilkan secara algoritmik tersebut, adalah kemampuan personalisasi cerita, atau hasil liputan yang dikirim ke daerah yang relevan, yang dapat berguna untuk pemilihan umum dan peliputan olahraga.
Baca: Aneh..! Pria Ini Rela Tinggal Dipenjara Untuk Obati Stres
Bagaimana di Indonesia?
Di Indonesia, situs Beritagar.id menjadi media pertama yang menerapkan robot journalism dalam awak keredaksiannya. Dalam kutipan wawancaranya di Republika.co.id, (18/9/2015), Chief Editor Beritagar.id Wicaksono mengungkapkan, robot memiliki fungsi sentral dalam media yang lahir pada 24 Agustus 2015 ini.
“Robot yang kami kembangkan sejak 2013 lalu ini bertugas memilih, mengurasi berita berdasarkan kata kunci tertentu, melakukan filterisasi, lalu menulis berita baru dari sekitar 10 sumber yang ia temukan di internet,” ujar dia, seperti dilansir dari berita Republika.co.id yang tayang dengan judul “Memasuki Era Robot Journalism.”
Di Beritagar, robot itu mereka sapa dengan nama “Petruk”, berbagai artikel yang dikumpulkan robot tersebut, dijaring dari permukaan internet.
Baca: Dikiranya Singkong, Pria Ini Hampir “Ulek” Mortir Jadi Bata
Awalnya, Petruk kata dia, mengikuti pelatihan yang dilakukan oleh awak redaksi. Berbekal itu, kini Petruk mempunyai kemampuan semantik, mengenal SPOK, mengerti relevansi berita, membaca isu, hingga menentukan mana berita yang lebih lengkap dari berbagai artikel yang tersedia.
Dengan begitu, ia melanjutkan, jumlah awak redaksi yang diperlukan menjadi jauh berkurang. Sejak Petruk hadir, redaksi, kata Ndoro, hanya bertugas memoles berita yang ditulis Petruk tersebut dengan perspektif, sehingga memiliki sudut pandang tertentu.
Selain kekurangan menentukan perspektif, redaksi sebut Ndoro juga perlu terjun ke lapangan apabila ada yang memerlukan verifikasi lanjutan. Hal ini biasanya terjadi karena ada perbedaan data yang ditemukan oleh Petruk selama pencarian.
Seperti infografis, data juga masih perlu dibuat manual oleh awak redaksi Beritagar.id. Menurut Ndoro, dalam satu jam, ada ratusan berita yang bisa diciptakan oleh Petruk. Jumlahnya sesuai permintaan dari awak redaksi melalui proses setting mesin di awal.
Baca: Media Menjamur, Wakil Ketua Dewan Pers: Wartawan Harus Ujian Kompetensi
Di Beritagar, Petruk tak sendiri, ada seorang kawannya bernama Semar. Khusus Semar, ia bertugas memberi pilihan bacaan dan merekam tren perilaku para pengunjung situs berita ini.
Chief Operating Officer Beritagar.id, Didi Nugrahadi menjelaskan, Semar bertugas mengamati jenis-jenis berita yang dipilih oleh setiap pengunjung.
“Ia lalu akan menyediakan berita-berita terkait dengan isu yang dibaca atau menyarankan artikel-artikel lain yang dirasa menjadi minat dari si pembaca bersangkutan,” ujarnya, seperti dilansir dari Republika.co.id.