MAKASSAR, SULSELEKSPRES.COM – Menurut Penasihat Teknis Lingkungan (ETA) Blue Forests (Yayasan Hutan Biru) Yusran Nurdin Massa, apa yang saat ini diupayakan Pemprov Sulsel dalam mitigasi sampah plastik di objek ekowisata tidak cukup sekadar imbauan atau sosialisasi.
“Karena imbauan dan edukasi hanya menyentuh aspek pengetahuan dan sikap. Sulit menggerakkan perilaku atau aksi untuk tidak meninggalkan dan membuang sampah di lokasi wisata,” demikian kata dia saat dihubungi Sulselekspres.com, Jumat (10/5/2019).
Kata Yusran, nilai jual objek ekowisata bukan lanskap tumpukan sampah diantara pemandangan alam. Melainkan kelestarian alam; “kontraproduktif dengan menggunungnya sampah plastik.”
Karena itu, ia berpandangan strategi pengembangan ekowisata oleh Pemerintah, mestinya didukung dengan siasat bagaimana memitigasi dan menangani sampah plastik akibat kunjungan wisatawan.
Itu lah mengapa Yusran menilai, imbauan dan edukasi agar pengunjung tak membuang sampah plastik di objek ekowisata tidak cukup.
Melihat kecenderungan kesadaran akan penanganan sampah plastik kata Yusran, dinilai masih rendah di kalangan masyarakat termasuk penikmat ekowisata.
Selain peran pemerintah, menurut dia pihak pengelola wisata juga mesti meramu terobosan untuk memberi beban pundak penanganan sampah oleh pengunjung sendiri.
“Caranya dapat berupa banyak hal. Contoh sederhana yang dilakukan oleh CMC Tiga Warna di Malang, mereka menyediakan kantong organik bagi pengunjung untuk menyimpan sampah dan memasukkannya ke tong sampah ketika keluar dari destinasi,” ujarnya.
Pada intinya, masalah penanganan sampah menurut Yusran mesti juga dibagi ke pengunjung. Sebab, dari itu ada harapan naiknya nilai tambah bagi destinasi ekowisata.
“Sehingga pengunjung dapat lebih tertarik lagi untuk datang karena betul2 bernuansa ekologi dan peduli lingkungan,” sebut dia, “sampah ditangani, keunikan dan keindahan ekologi terjaga.”
Namun demikian, peran pemerintah kata dia sangat dibutuhkan, sebab posisinya berperan membuat regulasi dan dukungan bagi investor ekowisata. Dengan posisi strategis itu lah, pemerintah dengan pengawasannya dapat kembali mendesak pengelola untuk mengoptimalkan, bila kebiasaan buruk itu terjadi.
“Misalnya, pemerintah menetapkan bahwa pengelolaan ekowisata harus memasukkan rencana penanganan sampah plastik dalam master plan pengembangan ekowisata, atau jika ekowisatanya skala kecil dan digerakkan komunitas, pemerintah masuk mendampingi dan membantu pengelola ekowisata untuk memastikan hal ini jadi perhatian serius dan dijalankan,” tandasnya.
Di Sulsel, tidak sedikit objek wisata alam yang mendulang ribuan pengunjung. Kurun tahun 2018 misalnya, jumlah kunjungan wisatawan nusantara mencapai 10.073.934. Sedang, wisatawan mancanegara hanya mentok di angka 1.406. Dari angka itu, sebagian besar menyambangi objek ekowisata di Sulsel.
Namun, tingginya kunjungan destinasi ekowisata, rupanya tak diiringi dengan kesadaran pengunjung soal sampah, khususnya sampah plastik.
Masalah sampah di lokasi wisata alam kerap tidak jadi prioritas. Pemerintah lewat programnya, hanya sekadar mempercantik objek tersebut, dari membangun rest area, home stay, hingga akses jalan atau memperkenalkannya ke kalangan luas, ihwal penanggulangan sampah bukan jadi tanggungan istimewa.
Nurdin Abdullah, dengan jabatannya sebagai Gubernur Sulsel, menggagas 5 program andalan, termasuk salah satunya; Destinasi Wisata Andalan Berkualitas Internasional di bidang pariwisata dan ekowisata.
Upaya mengurangi penggunaan plastik bagi dia sangat perlu. Kebiasaan itu diklaim telah ia lakukan secara pribadi. Namun soal bagaimana pengurangan sampah plastik tentu kata dia diperlukan sosialisasi meluas.
“Jadi sekarang kita sudah berupaya untuk mengurangi penggunaan plastik. Saya kira itu salah satu upaya, termasuk sosialisasi tidak menggunakan lagi minuman mineral yang ber-botol platik,” kata dia saat ditemui di Rujab Gubernur Sulsel, Jumat (10/5/2019).
Kata Nurdin, bagi pengunjung wisata alam sebaiknya tidak menggunakan kemasan plastik sekali pakai saat berwisata. Sebagai alternatif kata dia, wisatawan cukup menggunakan kemasan macam termos.
“Makanya kita bawa pakai botol isi ulang. Saya sekarang tidak pakai lagi (plastik sekali pakai),” ujarnya.
Meski demikian, Nurdin mengaku sekadar imbauan saja tidak cukup untuk itu, bila produksi plastik yang ditujukan untuk jadi kemasan tidak berkurang.
“Ya artinya kita sekarang, di samping imbauan, produksi plastik harus dikurangi,” lugasnya saat ditanya langkah pasti pemerintah menanggulangi sampah plastik di objek ekowisata.