
MAKASSAR, SULSELEKSPRES.COM – Dodik Wijaya Pranata, mungkin sejak awal tidak menyangka akan sampai di Amerika, dan meraih Platinum Leadership dari kampus top di Amerika Serikat.
Jangankan hingga ke jenjang itu, untuk meneruskan ke tingkat universitas di Indonesia saja, sulit baginya. Dia terlahir sebagai anak supir truk dan ibu pedagang nasi yang hidup dalam garis kesederhanaan.
“Bagi saya arti kebahagiaan adalah saat melihat orang tua menjatuhkan air mata kebanggaannya. Karena itu, sewaktu masih di Sekolah Dasar, 3 kali saya mendapat rangking 2 di kelas, 3 kali saya pulang menangis. Bukan karena merasa kalah bersaing dengan siswa lain, akan tetapi karena takut kedua orang tua tidak lagi dapat tersenyum bangga,” tulis Dodik melalui laman LPDP.Kemenkeu.go.id, Jumat (19/1/2018).
Satu hal yang menjadi tonggak semangatnya untuk terus berjuang meraih pendidikan adalah, kata- kata sang ibu.
“Nak, ibu dan ayahmu tidak memiliki harta untuk kami wariskan kelak, tapi ibu dan ayah akan selalu berusausaha, walau kepala ibu menjadi kaki, kaki ibu menjadi kepala untuk memperjuangkanmu menuntut ilmu. Kamu lahir dari seorang ayah yang Sekolah Dasar pun tidak lulus. Ibumu bahkan tidak pernah mengenal bagaimana bentuk bangku sekolah. Jadi perjuangan ibu dan ayah agar kamu dapat mengenyam pendidikan hingga paling tinggi adalah satu-satunya warisan terbaik yang bisa kami berikan padamu,”
Sejak itulah, pendidikan baginya bukan sekadar pemuas rasa ingin tahu terhadap ilmu pengetahuan, namun juga cara terbaik untuk memberikan sebuah pernyataan secara tidak langsung kepada Ibu.
“Bu, perjuanganmu tidak sia-sia,” ujar Dodik.
Dia bercerita, setelah lulus SMA, dia tidak memiliki cukup dana untuk membayar uang pendaftaran kampus. Karenanya dia mengikhlaskan diri untuk bergelut di desa sambil mengajar dan menekuni organisasi kepemudaan selama 1 tahun.
“Di tahun berikutnya setelah masuk kuliah dan memulai masa ospek universitas, saya tidur di halte pertigaan kampus. Sedikit beruntung setelah ada yang menyediakan gerobak mie ayam sebagai tempat berteduh. Bukan karena Ibu tidak memberikan saya uang untuk tinggal di kos-kosan, hanya saja waktu itu saya tidak tega untuk meminta biaya kos. Mungkin jika saya bicara ke ibu atau ayah, beliau akan memberikan uang yang saya tidak tahu uang itu mereka dapatkan dari mana,” kenangnya.
Dalam ketidakpastian dan kerjakeras serta keyakinannya, kini dia melihat Ibu mengalirkan air mata bahagia berkali-kali di acara wisuda.
“Saya memberikan pidato kelulusan di podium mewakili seluruh wisudawan,”
Perjuangan menuju S2
Motivasi dan ketertarikannya dalam bidang pendidikan menuntunnya untuk mendaftar beasiswa LPDP. Dengan berbagai keterbatasan waktu maupun biaya. Dia menyiapkan beasiswa luar negeri ini dengan maksimal dan teliti.
“Saya juga harus merelakan menjual beberapa barang saya agar bisa memiliki modal untuk belajar bahasa Inggris. Dengan bermodalkan restu orang tua, dukungan dari sahabat, dosen serta pimpinan kampus saya pun memantapkan diri untuk mendaftar. Akhirnya, di awal tahun 2016, saya dinyatakan lolos sebagai penerima beasiswa LPDP dengan negara tujuan Amerika Serikat,” ujarnya.
Leadership Award dari Universitas Michigan
Pada bulan April 2017, dia mendapatkan email yang menyatakan bahwa saya lolos sebagai nominee pada pada 16th Annual Student Leadership Award Michigan State University. Masuk kategori The Spartan Leadership Certified Certificate, sebuah penghargaan yang menyoroti keterlibatan mahasiswa dalam pengalaman pengembangan kepemimpinan di dalam dan luar kampus Michigan State University. Penghargaan ini memiliki tiga tingkatan, yaitu, Bronze, Gold, dan Platinum. Penerima penghargaan akan diumumkan di salah satu hotel di East Lansing, Amerika Serikat pada tanggal 19 April 2017.
Dan kejutan besar itu pun datang. Pada sambutan terakhir, namanya disebutkan sebagai satu-satunya peraih Platinum Certified Certificate dari Indonesia.
“Tidak peduli siapa kita di masa lalu, kita memiliki kesempatan yang sama untuk membentuk masa depan kita sendiri,” tandasnya.