Lembar Sejarah: Kelahiran PKI Dari Zaman Hindia Belanda Hingga Wacana Permintaan Maaf

Perkembangan pasca-1965

 

Meskipun mendapat perlawanan secara sporadis, PKI berdiri dengan lumpuh setelah pembunuhan 1965-1966. Sebagai hasil dari pembunuhan massal ini, kepemimpinan partai lumpuh di semua tingkat, meninggalkan banyak mantan pendukung dan kekecewaan simpatisan, tanpa pemimpin lagi, dan tidak terorganisir. Pada bulan September 1966, sisa-sisa partai politbiro mengeluarkan pernyataan kritik diri, mengkritik kerja sama sebelumnya dengan rezim Sukarno.

Setelah pembunuhan Aidit dan Njoto, Sudisman, pemimpin PKI di tingkat keempat sebelum Oktober 1963, mengambil alih kepemimpinan partai. Dia berusaha untuk membangun kembali partai atas dasar saling keterkaitan tiga kelompok anggota, namun hanya berdampak sedikit kemajuan sebelum akhirnya ia ditangkap pada Desember 1966. Pada tahun 1967 ia dijatuhi hukuman mati.

Beberapa kader PKI telah mengungsi di sebuah wilayah terpencil di selatan Blitar, Jawa Timur menyusul tindakan kekerasan terhadap partai. Di antara para pemimpin yang hadir di Blitar adalah anggota Politbiro Rewang, teoretikus partai Oloan Hutapea, dan pemimpin Jawa Timur Ruslan Widjajasastra.

Blitar merupakan daerah tertinggal dengan PKI yang memiliki dukungan kuat di kalangan kaum tani. Pihak militer tidak menyadari bahwa PKI telah mampu mengkonsolidasikan dirinya di sana. Para pemimpin PKI ini bergabung dengan Letkol Pratomo, mantan komandan Distrik Militer Pandeglang di Jawa Barat, yang membantu memberikan pelatihan militer untuk Komunis lokal di Blitar.

Namun pada Maret 1968 kekerasan meletus di Blitar, petani lokal menyerang para pemimpin dan kader Nahdatul Ulama, sebagai balasan atas Nahdatul Ulama yang telah memainkan peran dalam penganiayaan antikomunis. Sekitar 60 kader NU tewas. Namun ilmuwan politik Australia Harold Crouch berpendapat bahwa itu tidak mungkin bahwa pembunuhan kader NU di Blitar telah dilakukan atas perintah dari para pemimpin PKI di Blitar. Militer menyadari daerah kantong PKI di Blitar tersebut dan menghancurkannya pada pertengahan tahun 1968.

Beberapa kader partai yang sementara di luar Indonesia pada saat peristiwa 30 September. Terutama delegasi yang cukup besar melakukan perjalanan ke Republik Rakyat Tiongkok untuk berpartisipasi dalam perayaan ulang tahun Revolusi Cina. Sedangkan yang lainnya telah meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan studi di Eropa Timur. Dalam pengasingan, aparatur partai terus berfungsi. Bagaimanapun, sebagian besar dari mereka terisolasi dari perkembangan politik di dalam Indonesia. Di Jawa, beberapa desa yang dikenal sebagai tempat perlindungan bagi anggota atau simpatisan yang telah diidentifikasi oleh pihak berwenang, dan dilindungi di bawah pengawasan secara hati-hati untuk waktu yang cukup.

Sampai tahun 2004, mantan anggota PKI masih dilarang dan masuk daftar hitam dari banyak pekerjaan termasuk apabila ingin bekerja di pemerintahan, sebagaimana kebijakan rezim Soeharto yang telah dijalankan sejak pembersihan PKI tahun 1965. Selama masa presiden Abdurrahman Wahid, ia mengundang mantan buangan PKI untuk kembali ke Indonesia pada tahun 1999, dan mengusulkan menghilangkan pembatasan diskusi terbuka atas ideologi komunis.

Dalam berdebat untuk penghapusan larangan itu, Wahid mengutip dari UUD 1945 Indonesia, yang tidak melarang atau bahkan secara khusus menyebutkan komunisme. Usulan Wahid itu ditentang oleh beberapa kelompok masyarakat Indonesia, khususnya kelompok Islam konservatif. Dalam sebuah protes pada April 2000, sebuah kelompok yang disebut Front Islam Indonesia berjumlah sepuluh ribu orang datang ke Jakarta terkait usulan Wahid. Tentara tidak segera menolak proposal tersebut, namun menjanjikan “studi komprehensif dan teliti” terhadap ide tersebut.

Berikutnya…