MAKASSAR, SULSELEKSPRES.COM – Baru sehari setelah pelantikan Presiden Joko Widodo – Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil presiden Republik Indonesia periode 2019-2024, masyarakat sipil kembali melakukan aksi demonstrasi. Masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil Melawan Oligarki menggelar aksi demonstrasi, menanggapi berbagai kebijakan pemerintahan Joko Widodo, di Pertigaan Jalan Boulevar – Jalan AP. Pettarani, Makassar, Senin sore (21/10/2019).
Aliansi Masyarakat Sipil Melawan Oligarki menilai terdapat berbagai Kebijakan dan regulasi yang dirancang oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) yang akan membuat masyarakat Indonesia semakin terpuruk. Kebijakan kebijakan yang dimaksud mengarah pada upayapembungkaman, pengekangan kebebasan sipildan kemiskinan.
Beberapa Rancangan maupun Revisi Undang-undang (UU) yang dianggap bermasalah dan ditolak oleh Aliansi ini, seperti RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kini telah disahkan, RUU pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, RKUHP, RUU Pertambangan Minerba, dan RUU Sumber Daya Air.
Humas Aksi, Salman Azis mengatakan bahwa pemerintah sebagai pemangku kebijakan, memiliki kewajiban dalam penegakan HAM. Negara harus memberikan penghormatan, perlindungan serta pemenuhan terhadap Hak Asasi raktat Indonesia. Segala bentuk kebijakan maupun regulasi yang dikeluarkan harus bersandar pada nilai-nilai HAM sehingga tidak melahirkan ketimpangan yang dampaknya mengarah pada rakyat.
”Kita melihat saat ini pemerintah dan DPR sebagai wakil rakyat melahirkan regulasi berupa Rancangan maupun Revisi terhadap beberapa Undang-undang yang berdasarkan kajian kritis itu sangat merugikan, seperi Revisi maupun Rancangan UU KPK (telah disahkan), Pertanahan, Ketenagakerjaan, Pertambangan dan RKUHP,” ungkap Salman setelah menggelar aksi.
Sementara itu menurut Salman, terdapat Rancangan Undang-undang yang lebih mendesak namun tidak mendapatkan perhatian. Dia mencontohkan Rancangan UU Pencegahan kekerasan Seksual seharusnya disahkan secepat mungkin malah belum ada pembicaraan secara serius.
Selain soal berbagai RUU yang dianggap bermasalah, Aliansi ini juga mendesak penyelesaian polemik yang terjadi di Papua, serta melakukan proses hukum terhadap kekerasan yang dialami oleh para peserta aksi sepanjang bulan September yang terjadi di Indonesia, khususnya di Makassar.
“Tercatat, pada aksi 24 hingg 27 september 2019, aksi di Makassar, mendapat tindakan represif dari pihak keamanan. Bahkan beberapa korban dari massa aksi harus mendapatkan penanganan darurat di Rumah Sakit akibat luka-luka yang diderita,” jelas Salman Azis yang juga bekerja sebagai staf di LBH Makassar ini.
Dalam catatan Aliansi Bantuan Hukum Anti Kekerasan yang dirilis pada tanggal 29 September lalu, setidaknya dalam aksi yang terjadi di Makassar dalam rentan tanggal 24 hingga 27 sepmeber, terdapat 498 peserta aksi yang ditangkap hingga ditahan, kemudian sebanyak 485 yang dilepaskan karena tidak terbukti melakukan tindak pidana, sementara yang menjalani proses hukum sebanyak 13 orang. Selain penangkapan, Aliansi Bantuan Hukum Anti Kekerasan juga mencatat, kekerasan yang dialami oleh stidaknya 237 orang, yang terdiri dari mahasiswa, warga sipil dan juga jurnalis.
Salman menjelaskan, bahwa masyarakat sipil yang tergabung dalam aksi sore ini, mendesak agar pelaku kekerasan terhadap massa aksi di Makassar diadili. Selain itu terdapat delapam desakan tuntutan lainnya, diantaranya ; batalkan Revisi RKUHP, sahkan dengan cepat RUU-PKS, Mendesa Presiden agar bebaskan 22 tahanan aktivis politik Papua, Hentikan kriminalisasi terhadap pembela HAM, usut dan tuntaskan kasus ujaran rasial yang terjadi di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, DPR RI harus mencabut pasal-pasal makar karena rentan disalahgunakan untuk membungkam kritik dan kebebasan berekspresi, tuntutan lainnya, mendesak Negara agar menarik pasukan TNI Polri dari tanah Papua.