26 C
Makassar
Saturday, April 20, 2024
HomeHeadlineAmbiguitas Perlindungan Hiu di Indonesia

Ambiguitas Perlindungan Hiu di Indonesia

- Advertisement -

Juni 2013, 2 maskapai penerbangan asal Korea Selatan (Korsel); Korean Air dan Asiana, menghentikan pengangkutan produk sirip hiu di pesawatnya.

Korean Air telah bergabung dalam kampanye melindungi ekologi dan secara total menolak membawa sirip hiu dalam penerbangannya,” demikian pernyataan Korean Air, seperti dikutip The Sydney Morning Herald (SMH).

“Maskapai kami [Asiana] juga tidak lagi membawa sirip hiu,” kata juru bicara Asiana.

4 bulan kemudian, maskapai penerbangan nasional, Garuda Indonesia juga tak lagi mengangkut sirip hiu dengan armada mereka. Kebijakan itu rupanya sama dengan Korean Air dan Asiana.

“Ini merupakan wujud dari komitmen Garuda Indonesia untuk mendukung kampanye antiperdagangan hiu,” kata Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar, dilansir Mongabay.co.id.

Di tahun-tahun sebelumnya, Garuda Indonesia membantu rantai dagang hiu tetap tumbuh lewat jasa kargonya. Per tahun, Garuda menerbangkan 36 ton sirip hiu ke berbagai tujuan.

Negara asal kultur K-Pop itu, jadi salah satu tujuan ekspor produk ikan bertulang rawan ini (elasmobranchii). Di sana, banyak restoran Cina menyajikan semangkuk sup hisit atau olahan hiu lainnya.

Hidangan sup hisit itu berasal dari mana saja, termasuk dari jerih payah Linus (42), nelayan penangkap hiu di Pulau Ambo, Kecamatan Kepulauan Bala-balakang, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat (Sulbar).

***

Hiu Martil tangkapan nelayan bycatch, didaratkan di TPI Paotere/Dok. BPSPL Makassar/IST.
Hiu Martil tangkapan nelayan bycatch, didaratkan di TPI Paotere/Dok. BPSPL Makassar/IST.

Indonesia, masuk kawasan Coral Triangle, kawasan dengan tingkat keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Dengan potensi ini pula, Indonesia jadi tempat subur bagi industri hiu.

International Union for Conservation of Nature (IUCN) menduga ada 127 jenis hiu yang hidup di perairan Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) hanya menyebut 114 jenis, tertinggi dari beberapa negara Asia lainnya. Namun, hingga 2018, 220 spesies hiu telah teridentifikasi hidup di perairan Indonesia (Fami dan Ebert).

Dengan keanekaragaman itu, spot penangkapan hiu bermunculan. Satu di antaranya di perairan Selat Makassar—Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP 713).

Baca: Batas Wilayah Tambang Pasir Laut Di Ranperda RZWP3K, Walhi Sulsel: Belum Solutif

Di Selat Makassar, banyak pula nelayan yang memanfaatkan potensi ini, baik nelayan umum (Bycatch) maupun nelayan yang khusus tangkap hiu (Bytarget). Umumnya, hiu yang didaratkan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Paotere Makassar, adalah hasil tangkap bycatch.

Tumpukan hiu lanjaman yang disimpan pengumpul lokal TPI Paotere/Agus Mawan.
Tumpukan hiu lanjaman yang disimpan pengumpul lokal TPI Paotere/Agus Mawan.

Saat saya ke TPI Paoetere, seorang enumerator Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar, Andi Annisar Dzati Iffah (22) mengatakan, per hari ada kisaran 60 ekor didaratkan.

Kurun tahun 2018, 382 ekor telah didaratkan di TPI Paotere, turun dari sebelumnya yang mencapai 581 ekor di tahun 2015.

“Yang tangkap ini dari nelayan Bycatch,” kata dia.

Menurut Annisar, di Pulau Sulawesi, ada tiga daerah pendaratan hiu, yakni Gorontalo (Sulawesi Utara), Makassar (Sulsel), dan Pulau Ambo, Mamuju (Sulbar).

***

Dari kota Makassar, saya ke Lamungan, sebuah kelurahan di kecamatan Malunda, Kabupaten Majene, Sulbar, ditemani Hamdana, enumerator BPSPL Makassar.

Di kampung yang menghadap titik kordinat jatuhnya Adam Air itu, saya bertemu dengan Linus, nelayan penangkap hiu di Pulau Ambo sejak tamat bangku Sekolah Dasar (SD).

“Saya masih bujangan sudah tangkap memang hiu. Saya beristri Tahun 2000. Lebih 20 tahun sudah saya tangkap hiu,” kata dia.

Di rumahnya, kami bercerita aktivitas penangkapan hiu. Dia bilang, profesi yang kini ia geluti hingga dikaruniai 4 anak merupakan sumber nafkah untuk keluarganya.

Ketika Bulan Ramadan, Linus dan nelayan lainnya menghabiskan waktu di rumah hingga musim tangkap.

“Iya, fokus puasa saja. Kalau itu habis lebaran lagi,” selanya.

Nelayan penangkap hiu, Linus (42)/Agus Mawan
Nelayan penangkap hiu, Linus (42)/Agus Mawan

Baca: Mitigasi Sampah Plastik di Objek Ekowisata, Pemprov Sulsel Harus Lakukan Ini

Tahun 1997, titik awal Linus memburu hiu di perairan Pulau Ambo, setelah menadah tongkat estafet dari Ayahnya. Kini, dia mengoperasikan empat kapal miliknya dengan mempekerjakan enam awak per kapal.

Awal dan penghujung tahun jadi musim tangkap hiu. Kala Linus memburu, berbulan-bulan pula ia jauh dari rumah dan keluarga. Pulau Ambo adalah pulau terluar dari Kabupaten Mamuju, dengan waktu tempuh setengah hari dari rumah Linus.

Baca: Walhi Duga Kapolres Barru Terlibat Reklamasi Pantai Kupa

Hari-harinya di Pulau Ambo, Linus hanya menangkap hiu. Jumlah tangkapannya bervariasi, kadang mencapai 28 ekor, kadang cuma 10, bahkan kadang tidak ada bila arus laut memburuk, “arus ke arah selatan Pulau,” menurutnya.

“Dua kali ji dapat lebih 30 [ekor]. Teman-teman begitu juga,” ulasnya.

Kata Linus, sedikitnya ada 10 kapal bertugas menangkap hiu. Per kapal sambung dia, sehari dapat menangkap 10 ekor. Artinya, ada sekitar 100 ekor didaratkan satu malam.

Linus sendiri, bisa mendaratkan 500 ekor hiu saat musim penangkapan. Tangkapan itu sekejap mata laris, dibeli pengumpul lokal asal Desa Sumare, Kecamatan Simboro, Mamuju Sulbar, dan Kalimantan.

“Kalau kita cuma tangkap ikan hiu. Pokoknya kalau sudah ditinggalkan di pasir [bibir pantai], diambil sudah mereka [pengumpul],” ujar Linus.

Baca Juga:

M. Taiyeb, Dedikasi 34 Tahun untuk Mangrove

Pesona Hutan Mangrove dan Ancaman Bagi Atmosfer Bumi

Ada tiga spesies hiu yang banyak ditangkap Linus. Di antaranya; Hiu Lanjaman (Carcharhinus Falciformis), Hiu Macan (Galeocerdo cuvier), dan Hiu Biru (Prionace Glauca), dikenal para nelayan dengan sebutan Hiu Korea I.

Hiu Lanjaman selain dalam Apendiks II CITES, daftar merah IUCN, mengategorikannya beresiko terancam punah [LC], sementara Hiu Macan dan Biru berada dalam kategori hampir terancam punah [NT].

Satu waktu kata Linus, rawai miliknya menjerat Hiu Tikus atau Hiu Korea II (Alopias Sp) dan Hiu jenis Sphyrma atau Martil, dua jenis Hiu yang tidak boleh lagi ditangkap, sesuai Resolusi 10/12 Indian Ocean Tuna Commision (IOTC) dan Kepmen KP nomor 26/2013, disamping Apendiks II CITES.

“Tapi sudah tidak diambil lagi, karena sudah dilarang. Jadi kita lepas saja, biar mati kita lepas juga,” peluhnya.

Baca: Tambang Haram Dibalik Harga Mahal yang Mesti Dibayar Warga Gowa

Di desa Sumare, terdapat dua pengumpul lokal; Sahabuddin (42) dan Amir (45). Untuk menuju ke sana, saya mesti melewati ibu kota Provinsi Sulbar, berjarak 64 Kilometer dari Linus.

Gudang milik Linus/Agus Mawan.
Gudang milik Linus/Agus Mawan

Halaman rumah Sahabuddin jadi tempat kami berbincang berkenaan bisnisnya. Di depan, tampak gudang seluas 12 meter persegi tertancap di pasir pantai. Di situ lah, ia mengolah produk daging hiu.

Risno sapaannya, baru genap 3 bulan menjajaki bisnis daging hiu. Ia sebelumnya berbisnis hasil olahan laut sejak 2004. Namun alasan modal, Risno enggan menggarap bisnis sirip.

“Bukan modal sedikit kalau sirip,” kata dia.

Kata Risno, butuh 2 atau 3 hari bagi anak buahnya untuk mengumpul 3-4 ton daging hiu, tangkapan para nelayan di Pulau Ambo.

“Anggota ji saya suruh. [Ada] lima kapal. Tidak berangkat ke sini kalau tidak full [penuh]. Paling banyak bisa 5 ton satu kapal,” ujar Risno.

Dibanding keuntungan Linus yang hanya Rp60 juta, Risno bisa lebih dari itu. Per kilonya, ia bandrol dengan harga Rp12.000. Maka cukup 3 ton saja, Risno bisa mendapat duit Rp300 juta—diluar ongkos.

“Paling sedikit itu 2 ton. Paling banyak 5 ton,” ujarnya.

Amir, juga tetangga Risno. Dialah pengumpul lokal sirip hiu sejak Februari 2018. Per lembar sirip punya varian harga, “Ada size-nya [tergantung ukuran],” katanya.

“Yang paling murah 15 centimeter Rp300.000 per Kg, yang 35 centimeter Rp700.000 per Kg, ukuran besar 40 centimeter Rp1,3 juta per Kg,” ujar Amir, “ada juga 40 centimeter, tapi ndak terlalu banyak,”

Proses olah sirip berbeda dengan daging hiu. Umumnya memakan waktu hingga empat bulan penjemuran.

“Dikeringkan dulu sama nelayan, baru diambil,” peluhnya.

Selain Amir, Linus juga menyambi sebagai pengumpul sirip, tetapi jumlahnya tidak seberapa dibanding Amir. “Kadang ada 100 Kg, kadang 200 Kg,” kata Linus.

Sirip hiu milik Linus/Agus Mawan.
Sirip hiu milik Linus/Agus Mawan.

Amir, sekali produksi bisa capai 1-2 ton, mengikuti musim. Jika sekali jual untuk ukuran 35 dan 40 centimeter dalam 1 ton, omset Amir diklaim mencapai Rp1 miliar, diluar ongkos produksi.

“Ini siripnya kalau mau dikirim, sudah diolah,” sahutnya sambil menunjukkan beberapa foto hasil jepretannya.

Rantai Dagang: Dari Pembantaian Hingga Jadi Sup

Hidangan istimewa sup hisit di Cina dan Indonesia berasal dari proses berdarah, dengan melewati alur dagang yang panjang dan tak mudah dilacak.

Sepotong sirip itu berawal dari tangkapan nelayan, lalu dibeli pengumpul lokal dan kembali dijual pengumpul besar ke pengusaha dan, voila jadilah sup hisit di meja restoran.

Di Makassar, restoran yang menjadikan sup hisit sebagai menu istimewa menolak untuk diwawancara.

Alur panjang itu sebagiannya berasal dari Linus. Hasil jeripayahnya membentangkan rawai sepanjang lima mil di laut.

Rawai itu dilengkapi 150 mata pancing. Rata-rata mata pancing menjuntai sedalam 16 depa [satu depa: dua jengkal] ke dalam laut, kolom laut yang diperkirakan hiu ‘bermain’ bebas.

Kata dia, alat pancing miliknya bekas pakai nelayan tuna Bali. Ia hanya menambah kawat dan kili-kili (penyambung tali berbahan stainless steel) sebagai pembatas dan penguat mata pancing.

Rawai milik Linus, digunakan untuk menangkap hiu lanjaman, hiu macan, dan Hiu Korea I.

Kala senja, Linus dan nelayan lainnya memasang rawai, umpannya daging ikan per mata pancing. Setelah terbentang, Linus cukup menanti hingga dini hari.

Tiba waktunya, Linus dibantu Anak Buah Kapal (ABK) menarik rawai perlahan. Saat hiu mulai tampak, para ABK lalu menjerat kepala hiu agar mudah dikapalkan.

Bila hiu masih hidup saat dijerat, Linus akan menghujamkan tongkat kayu tepat di kepala hingga mati. “Dipukul pakai kayu ulin. Kayu ukuran satu meter panjangnya,” terangnya.

Setelah tangkapannya sudah di kapal. Linus kembali ke Pulau Ambo. Di sana, sudah ada para suruhan pengumpul menanti kedatangan mereka.

Saat bersandar, muatan dari kapal mulanya ditongkang, dipilah satu per satu, lalu dijagal: seluruh sirip—bagian punggung, sayap, dan ekor—dipisah dari tubuh setelah diukur oleh Hamdana.

Baca: Pj Wali Kota Makassar Ajak Masyarakat Jaga Laut dari Sampah

Di tahap ini, giliran para pengumpul lokal berbagi peran. Untuk daging adalah jatah Risno dan sirip jadi milik Amir.

“[Ambilnya] kering. Diolah di pulau. Nanti keringnya baru dibeli Pak Rian (perantara). Dikeringkan dulu sama nelayan, baru diambil,” kata dia.

Setelah sirip ditangannya, Amir hanya berkabar ke pengumpul besar di Kota Makassar. Amir mengaku banyak mengenal para pengumpul di kota berjuluk anging mammiri ini.

“Dari Saya [dijual] ke Makassar. Yang mana yang cocok harga, di situ lagi menjual. Ndak ada utang Saya di Makassar. Malahan Bos yang utang di Makassar,” katanya.

Adendum: Kami merahasiakan nama-nama pengusaha di kota Makassar, atas harapan agar pengusaha tersebut tak jadi incaran para pengumpul dan menekan rantai dagang hiu.

Amir menjual sirip berkulit kering ke seorang pengumpul besar, RK, pengusaha asal Cina Selatan. Namun, dia bilang sirip yang dikumpul di gudang RK tak diolah di Makassar, melainkan di Cina.

Pengeringan sirip hiu di Pulau Ambo/Dok Pribadi Amir/IST
Pengeringan sirip hiu di Pulau Ambo/Dok Pribadi Amir/IST

Selain RK, banyak nama pengumpul besar yang disebut Amir. Gudang mereka kebanyakan di Kota Makassar. Hanya beberapa saja yang terletak di Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa, Sulsel.

Di gudang RK yang di Makassar—selain Surabaya dan Jakarta, sirip dari Amir sekadar dikemas. Setelahnya, oleh RK, sirip yang telah sesuai ukuran ekspor (35 centimeter lebih) lalu didepak ke Cina untuk diolah dan kembali diedar secara domestik hingga ke Korea Selatan.

Baca: Ekowisata Bahari, Upaya Pelestarian Terumbu Karang Bagi Penyelam

Di negara konsumen itu, sirip hiu tersebut sulit terlacak lagi, produk itu bisa memencar ke mana saja.

***

Di rumahnya, Risno menadah daging hiu. Gunungan daging itu kemudian ia kirim ke gudang pendingin (cold storage) yang terletak di Kawasan Industri Makassar (KIMA).

“Di Makassar itu penanggung jawab. Bukan pabrik. [Hanya] packing di Makassar, masukkan cold storage, baru di Jakarta diekspor,” kata Risno.

Daging hiu yang dikumpul Risno/Agus Mawan
Daging hiu yang dikumpul Risno/Agus Mawan

Dalam bisnis ini, Risno berurusan dengan sebuah CV, perusahaan perdagangan eceran hasil perikanan, perdagangan eceran daging dan ikan olahan, yang terdaftar di Lembaga Pengelola dan Penyelenggara Online Single Submission (OSS).

Perusahaan itu bertempat di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta Utara.

***

Berdasarkan peta pengiriman milik BPSPL Makassar, di Pulau Sulawesi, terdapat lima pintu keluarnya produk hiu. Ke-lima itu adalah; Gorontalo, Toli-toli, dan Baubau untuk perdagangan domestik. Sementara Makassar dan Manado untuk tujuan ekspor dengan negara tujuan Hongkong dan Arab Saudi. Sementara, Manokwari, Bitung, Banyuwangi, Denpasar, Surabaya, dan Jakarta jadi tujuan pasar domestik.

Hiu yang dikeluarkan itu berasal dari Jayapura, Papua, Dobo, Kepulauan Aru, Sorong, Ambon, Maluku, Pulau Bacan, Kupang, Talaud, Sangihe, Minahasa Tenggara, Bolaang Mongondow, Tomini, Bone, Kolaka, Buton Selatan, Perairan Sulteng, Pulau Ambo, Majene, Pangkep, dan Pulau Tanakeke.

Pasar Picu Kepunahan Hiu

“Yang tidak makan ikan, saya tenggelamkan!” sahut Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam videoSays No To Illegal Wildlife Trade’.

“Namun, kalau yang dimakan ikan hiu dan pari manta, pasti juga saya tenggelamkan!” begitulah seruan seorang Susi, yang dulunya gemar menyantap sup hisit.

Pasar hiu tidak pernah sepi dari permintaan. Itulah mengapa pemburuan hiu terus berlanjut ditengah lemahnya perlindungan terhadap hiu.

“Memang pasarnya ada, konsumennya ada, sehingga masyarakat mencari karena harganya ada,” kata Pakar Sumber Daya Hayati (SDH) Laut Universitas Hasanuddin (Unhas), Ahmad Bahar. “kan tidak bisa juga dilarang, sementara nelayan butuh juga uang.”

Baca: Bisakah Pemerintah Tanggulangi Sampah Plastik Objek Wisata Alam di Sulsel?

Pasar itu makin menua, tak terhitung lagi berapa hiu mati terbantai demi peningkat libido. Meski begitu, Ahmad merasa dilematis bila perdagangan ini ditutup, sebab nasib nelayan kecil jadi taruhan.

Karenanya, lanjut Ahmad, demi perikanan berkelanjutan, pemerintah sebagai pengendali kebijakan mestinya menyusun regulasi, disamping mengupayakan konservasi.

“Misalnya kuota tangkap. Jadi, untuk daerah-daerah tertentu boleh lah kalau misalkan [potensinya] banyak. Jadi keseimbangan ekosistem harus dijaga, dan keseimbangan ekonomi juga harus dijaga,” ungkapnya.

Produksi hiu di Indonesia kian pesat sejak tahun 1975. Peneliti LIPI, Farmadi dan Dharmadi pernah ngomongin soal itu. Menurut ke-duanya, tangkapan hiu sejak kala itu hingga 2011 terus menunjukkan tren kenaikan secara fluktuatif dan puncak over-fishing terjadi di tahun 2000.

Tahun 1987, produksi perikanan hiu di Indonesia sebesar 36.884 ton, kemudian pada tahun 2000, meningkat nyaris dua kali lipat; sebesar 68.366 ton. Aktivitas itu kemudian berimbas pada penurunan populasi hiu.

“Salah satu faktor yang mengindikasikan terjadinya penurunan populasi hiu dapat diketahui dari hasil tangkapan per upaya  (CPUE) yang dapat menggambarkan kondisi eksploitasi sumberdaya perikanan yang sesungguhnya,” demikian yang disebut keduanya dalam “Tinjauan Status Perikanan Hiu dan Upaya Konservasinya di Indonesia” (2013).

Dalam daftar merah IUCN, 27 jenis hiu dinyatakan berisiko terancam punah, 26 jenis lainnya rawan punah, sembilan jenis dianggap langka, dan satu jenis dinyatakan terancam punah.

Tahun 2018, Organisasi Pangan dan Pertanian Persatuan Bangsa-Bangsa (FAO) mencatat, Indonesia memproduksi lebih 110.000 ton beberapa tahun belakangan.

Di benua Asia, Indonesia tidak sendiri sebagai pemasok produk olahan hiu. Ada 17 negara dan 2 daerah bagian negara Cina, seperti Hongkong SAR dan Provinsi Taiwan juga.

Tak hanya itu, selama 1 dekade (2000-2010) Jaringan Pemantau Perdagangan Margasatwa Liar (TRAFFIC) menyebut, Indonesia menjadi salah satu ladang genosida hiu terbesar di dunia. Sedang sebagai pengimpor produk hiu, Taiwan dicatat FAO berada di urutan puncak.

Baca: Dirjen Tangkap Harap Kontribusi Kampus Dalam Kumpulkan Data Perikanan

Di Wilayah Indonesia Timur, produk hiu sebanyak 189.102 Kg dilalulintaskan dari tahun 2015 hingga 2018. BPSPL Makassar merinci; 72.047 Kg sirip hiu, produk olahan (minyak) 37,365 Kg, daging beku 79,690 Kg, dan 1.041 ekor hiu dan pari hidup dari berbagai jenis non-apendiks.

“Dari tahun 2015-2018, BPSPL Makassar sudah mengeluarkan sebanyak 375 surat rekomendasi hiu dan pari untuk dilalulintaskan oleh 49 perusahaan maupun perseorangan,” kata Kepala BPSPL Makassar Andry Indraysworo Sukmoputro.

“Untuk Sulawesi Selatan ada 20 perusahaan maupun perseorangan yang sudah teregistrasi dalam losarihapi.id [situs e-rekomendasi milik BPSPL Makassar],” tambah dia.

***

Belakangan di Pulau Ambo, para nelayan menurut Hamdana mulai kerap mendapati hiu ukuran kecil. Bila hidup, nelayan akan melepasnya, tetapi tidak jika sudah mati.

“Kalau mereka dapat langsung dilepas,” kata Hamdana.

Apa yang diungkapkan Hamdana, bukan semata fenomena di mata Ahmad. Dia bilang, itu pertanda bila kondisi populasi hiu di perairan tersebut sudah menipis.

“Saya sudah tandai kalau sudah mengalami over-fishing. Tandanya itu, kita kalau menangkapnya sudah yang kecil-kecil, bukan lagi ukuran besar. Jadi tanda-tanda mengarah ke itu, sudah ada. Sudah sangat mengkhawatirkan,” ujar Ahmad.

Karena itu, Ahmad menilai, pemburuan hiu mesti dikendalikan dengan cermat, seperti pembatasan ukuran hiu yang ditangkap.

Ah! ukuran tangkap, jangan yang kecil-kecil. Itu tidak bisa ditangkap. Kalau sampai yang kecil-kecil diambil, disamping merugikan ekosistem dan tidak recovery, maka tidak ada harapan kedepan,” peluh dia.

Namun, Ahmad merasa, upaya konservasi tanpa data valid soal populasi hiu akan berjalan pincang. Validasi data ini diperlukan untuk melihat seberapa jauh penangkapan terhadap hiu dan pengaruhnya terhadap populasi.

“Cuma data kita tidak ada. Data ekologi kita belum lengkap,” kata Ahmad.

“Jadi kembali ke assessment dengan pendekatan secara aspek biologis, kehidupannya bagaimana, telurnya bagaimana, survival rate-nya berapa, kalau itu ketahuan semuanya. Maka ketemu semua berapa kuotanya yang ada di sini,” tambah dia.

Poster hiu dan pari yang dilindungi terpampang di Rumah Linus/Agus Mawan
Poster hiu dan pari yang dilindungi terpampang di Rumah Linus/Agus Mawan

Di sela pemburuan besar terhadap hiu, saat ini KKP hanya melindungi satu spesies hiu secara penuh, yakni Hiu Paus (Rhincodon Typus) lewat Keputusan Menteri KKP RI nomor 18/Kepmen-Kp/2013.

Selain hiu paus, lewat surat Edaran Direktur KKHL No. 2078/PRL.5/X/2017 pemerintah juga berupaya melindungi hiu koboi, martil dan tikus. Di surat itu menitahkan pelarangan ekspor, dan tak boleh lagi ditangkap.

Kalau pun tiga spesies tadi tertangkap, nelayan diminta untuk melepasnya dan dilaporkan jika ditemukan mati, sesuai Permen KP nomor 30/2012 jo Permen KP No. 26 tahun 2013 tentang Usaha Perikanan Tangkap di WPP NRI.

Sementara itu, hiu lanjaman hingga sekarang belum dilindungi secara nasional. Beberapa waktu lalu, LIPI menyodorkan dokumen Non-Detrimental Findings (NDF) sebagai acuan mitigasi pengelolaan terhadap hiu lanjaman.

“Perlindungan khusus tentunya kami follow data dari Scientific Authority, yaitu LIPI,” kata Direktur Dirjen Pengelolaan Ruang Laut Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), Brahmantya Satyamurti Poerwadi.

Hiu Lanjaman di TPI Paotere Makassar/Agus Mawan
Hiu Lanjaman di TPI Paotere Makassar/Agus Mawan

Dalam dokumen itu, tingkat kematian hiu lanjaman akibat penangkapan masuk dalam kategori tinggi. Sementara nilai jualnya yang mahal di pasaran mendulang ancaman dari sisi perdagangan.

Sebagai rekomendasi. Data perikanan melalui pendataan hasil tangkapan hingga ke tingkat spesies juga masuk dalam dokumen NDF.

Koordinator Kebijakan Kelautan Masyarakat Konservasi Satwa Liar (WCS) Ita Sualia, juga senada dengan Ahmad soal pentingnya validasi data demi perlindungan hiu.

Dia bilang, data itu berguna untuk menentukan spesies mana saja yang sebenarnya terancam punah, ukuran ikan yang didaratkan, dan menentukan alat tangkap nelayan.

“Penting banget. Sehingga dari data-data ini dapat diketahui trend produksi dari tahun ke tahun untuk menduga populasi [hiu] di laut,” terang Ita.

Ita menilai, lewat data itu pula pemerintah dapat menentukan lokasi potensial untuk penangkapan dan memudahkan monitoring kuota tangkap.

Sementara terkait tangkapan Linus yang mulai didominasi ukuran kecil, dapat ditaktisi dengan menyetel ulang pada alat tangkap.

“Ukuran hiu yang tertangkap apakah semakin mengecil sehingga perlu pengaturan alat tangkap, misalnya ukuran mata pancing long line, dan pada kedalaman berapa, ikan dewasa cenderung pada kolom air yang lebih dalam,” ujar dia.

Baca: Kementan RI Ekspor 200 Ton Rumput Laut Asal Pinrang ke 4 Negara

Selain itu, dalam NDF, selektivitas alat tangkap mesti diatur, untuk mengurangi penangkapan secara bycath. Meski demikian, penyetelan ulang alat tangkap menurut Ahmad bakal sulit, “harus diuji dulu, distudi dulu,” katanya.

“Mungkin kalau kedalamannya bisa. Tapi saya belum bisa pastikan, harus diuji coba dan saya pikir itu sangat berpengaruh dengan kedalaman perairan,” sela dia.

Ketimbang itu, Ahmad lebih memilih menutup aktivitas penangkapan sebentar waktu, sambil membiarkan penyembuhan populasi di daerah tertentu.

“Untuk recovery. Itu boleh ditangkap tapi yang ukuran besar. Tapi itu [modifikasi alat tangkap] bisa dilakukan kalau yang menangkap adalah nelayan by target, tapi kalau nelayan umum kan tidak bisa,” katanya.

***

Brahmantya mengaku, pengendalian pemanfaatan ikan apendiks Cites, hanya tinggal menunggu mandat dari Mahkamah Agung (MA) lewat Permen KP nomor 26 tahun 2018.

Lewat Permen itu, pengaturan kuota tangkap akan dilakukan. Kuota tangkap yang direkomendasikan LIPI khusus hiu lanjaman adalah 80.000 ekor, sedang, hiu martil jenis Lewini 1.875 ekor dan Mokarran 195 ekor.

“Tentunya kami juga akan berhati-hati dalam mengelola kuota tersebut. Mohon dukungan semua pihak,” kata dia.

Nantinya, ia berharap, pelaporan realisasi kuota dan data penangkapan dapat membaik, dengan menempatkan enumerator di sejumlah lokasi pendaratan hiu.

“Kuota tanpa monitoring yang baik tidak akan menjamin sumber daya yang lestari,” kata dia.

Namun, sejauh ini WCS kata Ita, menemukan kendala sehubungan dengan monitoring perdagangan dan realisasi kuota hiu, seperti nihilnya dokumen asal-usul (traceabilty product).

“Padahal dokumen traceabilty ini dapat membantu untuk mengontrol realisasi kuota. Misalnya Provinsi Maluku sudah berapa ekor yang ditangkap dari alam,” kata dia.

Meski demikian, Ita menganggap, upaya perlindungan pemerintah saat ini sudah progresif, terutama terhadap hiu Apendiks.

“[Termasuk] KKP sedang mengembangkan petunjuk teknis traceabilty,” ujarnya.

Nantinya, Brahmantya berharap, bila kuota tangkap hiu lanjaman sudah berlaku, komitmen semua pihak dalam rantai dagang diperlukan untuk mentaati kuota. “Kita harus pastikan hiu di laut tetap lestari. Karena itu karunia Tuhan untuk bangsa ini,” ujarnya.

“[Ke depan] tata kelolanya Insyaallah kita perbaiki,” harap dia.

***

Berdasarkan hasil prosiding hiu dan pari kedua tahun 2018, penegakan hukum terhadap isu ini dinilai belum optimal.

Makanya, di tahun 2019, Ditjen Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) berkomitmen akan melakukan pengawasan ketat demi kelestarian hiu maupun pari di perairan Indonesia.

Baca: 2 WNA Tiongkok Ditangkap Dugaan Penjualan Sisik Penyu

Plt Dirjen PSDKP, Agus Suherman bilang, selain pengawasan, pihaknya akan melakukan pencegahan pemanfaatan ilegal dengan menyosialisasikan aturan main ke nelayan.

“Upaya pencegahan dan pembinaan kepada nelayan atau masyakarat kecil akan dikedepankan, agar pemanfaatan ilegal yang dapat berdampak negatif terhadap kelestarian hiu dan pari dapat dihindari,” katanya.

Namun, disisi lain aparat penegak hukum kerap kali berulah. Misal yang dialami Linus. Satu waktu ia pernah diancam oknum polisi Polres Majene, karena menganggap penangkapan hiu adalah ilegal. Padahal, Linus mengaku tahu yang mana hiu dilindungi, dan tidak boleh ditangkap.

Soal itu, Agus mengaku, pihaknya akan terus meningkatkan pengetahuan hiu manakah yang dilindungi atau tidak terhadap unit penegak hukum lainnya, di samping, penguatan koordinasi lapangan.

Sejauh ini, kampanye penegakkan hukum pemanfaatan hiu, ia nilai telah membaik, baik secara teknis identifikasi hiu yang dilindungi, hingga penggunan teknologi mutakhir yang mendeteksi jaringan pelaku pemanfaatan illegal.

“Upaya lain melalui kampanye melalui media sosial dan sosialiasi melalui forum aparat penegak hukum juga akan terus dilaksanakan,” katanya.

Berdasarkan UU Perikanan, ancaman bagi pelanggar pemanfaatan jenis ikan dilindungi adalah denda Rp250 juta, atau kepada pelaku yang memasukan, mengeluarkan, mendistribusikannya diancam pidana kurungan maksimal 6 tahun dan denda Rp1,5 miliar.

Mitos Seputar Hiu: Hama dan Pembawa Rezeki

“Aih ndak [takut] kita kalau dapat hiu, karena keyakinan kita itu rezeki kan. Kalau besar hiunya makin banyak rezeki. Perhitungan ta itu jadi tidak takut ki,” kata Linus kepada saya.

Namun, yang hendak disampaikan Linus adalah petuah, yang selama 2 dekade ia yakini kala memburu hiu kecuali hiu paus.

“Kalau ini [hiu paus], nenek moyang kita memang larang bunuh itu,” lugas dia.

Hiu Paus/Sebastian Pena Lambarri/Unsplash

Linus mengaku, kendati pun pemerintah tidak melindungi hiu paus, dia dan para kerabat nelayannya mengaku tak ingin mengambil risiko, mengingkari petuah ini.

“Mulai dari nenek-nenek kita tidak pernah bunuh hiu begini. Biar tidak dilarang ini, kita tidak bunuh. Memang beginian kita jarang ketemu di laut. Tapi kalau ketemu, pasti ada saja rezeki mu. Kita pastikan memang,” tegasnya bersemangat.

Baca: Nelayan Sinjai Temukan Ikan Paus di Teluk Bone

Namun, sebagian masyarakat lainnya justru meyakini beberapa hiu—selain hiu paus—patut dibunuh, sebab disangka jadi rival manusia di laut.

Hiu, mereka duga bakal menghabisi ikan kecil yang ekonomis bagi masyarakat umum. Padahal, menurut Ahmad, kesangsian demikian belum tentu benar, masih ada pemicu lainnya. Salah satunya; kerusakan ekosistem laut.

“Itulah kalau sudah tidak seimbang ekosistem. Jadi mungkin kan rantai makan yang diterumbu karang itu sudah rapuh sekali,” kata Ahmad.

Jika Hiu Punah, Kita Bisa Apa?

Bila di film, hiu cuma tahunya memangsa manusia dan kapal. Di dunia nyata, hiu jadi santapan manusia. Di lautan, hiu tak lebih sebagai predator bagi ikan karnivora pemangsa ikan herbivora pemukim terumbu karang.

Sebagai predator puncak, hiu adalah pengendali ekosistem laut. Bila punah, pasokan pangan laut bagi manusia akan terancam, sebab ikan level kedua tentu tak lagi terkendali populasinya.

“Akan mengganggu kestabilan ekosistem, pemangsaan tidak stabil, karena mereka berkembang besar, jadi ikan kecil ini mungkin habis,” kata Ahmad.

Menipisnya ketersediaan pangan perikanan, diprediksi merupakan efek dari kerusakan ekosistem laut, dalam ukuran besar akibat pengambilan berlebihan, seperti yang tengah dilakukan terhadap hiu.

“Kalau terjadi, misalnya seperti ini, pengambilan besar-besaran, pengendali [hiu] dalam ekosistem itu akan hilang. Bisa menimbulkan ketidakstabilan ekosistem di perairan. Sangat membahayakan sebetulnya,” ujar Ahmad.

Baca: Potret Buram Dampak Penambangan Pasir Laut Takalar

Padahal, kelestarian ekosistem laut telah jadi tujuan bersama negara-negara di PBB yang tercantum dalam tujuan nomor 14 dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) soal ekosistem laut.

Perlahan demi perlahan, efek kerusakan itu diprediksi, akan berimbas pada mahalnya harga ikan yang sebelumnya murah di pasar, akibat kelangkaannya di laut. Pendapatan nelayan pun tentu berkurang.

“Jadi keberadaan hiu di dalam perairan itu mesti dijaga, karena [hiu] menjaga kestabilan ekosistem,” terang Ahmad.

Rakhmad Armus, pakar Kimia Lingkungan melihat, dampak menurunnya populasi hiu bisa memicu perubahan ekosistem laut dan akan mengalami ketidakseimbangan. Bayangan terburuknya, adalah bencana.

“Tentu akibatnya, ikan kecil dan ganggang laut yang berada pada tingkatan di bawahnya akan mengalami ledakan populasi. [Ledakan populasi ganggang laut] yang menyebabkan, naiknya senyawa sulfur dan akan menyebabkan hujan awan atau populasi hujan asam akan semakin meningkat,” kata dia.

Tanpa hiu, ikan level kedua akan menggantikan perannya sebagai predator puncak. Karena tak lagi dimangsa, populasi ikan level kedua pun kian meningkat, dan akan memangsa ikan kecil tanpa kendali.

Populasi ikan terkecil pun kian menipis, akibatnya, ganggang laut yang jadi santapan ikan herbivora akan mengalami ledakan populasi, menutupi permukaan laut dan memicu kerusakan ekosistem.

Tak hanya itu, berlebihnya populasi ganggang laut, menurut Rakhmad akan memicu hujan asam dan mempercepat pembentukan awan di langit.

“Kalau populasi gangga laut meningkat, maka akan terjadi peningkatan senyawa-senyawa kimia yang ada di laut,” kata Rakhmad.

Peningkatan senyawa kimia di laut bukan harapan baik bagi kehidupan manusia. Akibat ini, pemanasan global justru makin menggelegar.

Di dalam laut, pemanasan global juga memicu pemutihan karang, di mana keanekaragaman hayati laut hidup.

“Berarti akan terjadi, ekosistem karang akan rusak,” kata Rakhmad.

Baca: Perubahan Iklim Bikin Anjlok Harga Komoditi Lada

Kerusakan laut dipercaya jadi pemicu terjadinya pemanasan global, yang akan berimbas pada naiknya permukaan laut karena menampung lelehan es dari kutub utara.

Namun, selain itu, Rakhmad bilang, dampak besar pemanasan global, yakni meningkatnya populasi serangga pembawa penyakit di bumi, akibat masa pembuahan telurnya yang makin singkat.

“Sehingga, mengakibatkan tingginya tingkat penyakit terhadap masyarakat. Contohnya Malaria, akan meningkat,” tukasnya.

Memang, bayangan ini bagi sebagian kalangan hanya ungkapan racau. Namun, ini akan terjadi bila pengendalian pemanfaatan sumber hayati laut tidak baik.

Karenanya, beberapa upaya kampanye perlindungan terhadap hiu bermunculan, macam tagar #stopsharkfinsoup, #stopfinning, #SOsharks dan ragam lainnya di Instagram dan Twitter. Lewat tagar ini, partisipasi publik jadi luas dan tidak hanya jadi gawean pemerintah.

Di tagar itu, publik akan melihat penderitaan yang dialami hiu dan kisah inspiratif hubungan harmonis manusia dan hiu. Kampanye macam ini tentu jadi kabar baik untuk menekan pembantaian hiu.

Sejalan dengan itu, Brahmantya menilai, upaya perlindungan hiu juga tak mesti dari pemerintah dengan setumpuk regulasinya. Masyarakat konsumen juga bisa berpartisipasi untuk itu; “When you stop eating, you will stop catching,” katanya.

Organisasi Konservasi Lingkungan Global (WWF) Indonesia, adalah salah satu penggagas kampanye #SOSharks, singkatan dari Save Our Sharks.

Dwi Ariyoga Gautama, Koordinator Bycatch dan Konservasi Hiu WWF Indonesia, menganggap upaya tersebut merupakan cara bagaimana membawa isu perlindungan hiu ke tengah masyarakat via digital.

Dia bilang, sejak #SOSharks diluncurkan pada tahun 2013, isu tersebut jadi topik utama di media massa, yang sebelumnya justru mempublikasikan perdagangan hiu secara ekonominya saja.

“Sekarang [media] menyoroti kalau ada yang jual,” kata dia.

Ariyoga berharap, lewat tagar ini konsumsi hiu dan permintaan domestik berkurang, “Sehingga, tekanan terhadap populasi juga berkurang,” ucapnya.

“Yang diharapkan, jumlah yang jual juga berkurang, dan ada kebijakan daerah yang mengatur perdagangan ini,” katanya.

Menurut dia, kampanye daring ataupun luring yang pihaknya lakukan, sudah dinilai berhasil. Ini ditunjukkan dengan penjualan olahan hiu di restoran maupun hotel yang mengalami penurunan.

“Bahan baku yang di-order dari restoran dari 15 ribu ton sirip kering, menjadi 12.000 ton dalam setahun,” ujar dia.

Tak hanya itu, penyedia jasa maskapai kargo seperti Garuda Indonesia, dan otoritas bandar udara Angkasa Pura juga ikut berpatisipasi tak lagi mengangkut produk hiu.

***

Dalam hasil prosiding hiu dan pari ke dua tahun 2018, WWF Indonesia mendorong terbentuknya kawasan konservasi perairan untuk perlindungan dan pemulihan populasi hiu, hingga mengidentifikasi habitat yang digunakan semasa musim kawin dan asuhannya.

“Nah itu ekspetasinya,” kata Ariyoga.

Lebih lanjut, Ariyoga menuturkan, kawasan tersebut nantinya mengupayakan implementasi pengendalian atas penangkapan hiu, terutama hiu berukuran kecil dan hiu hamil.

Selain itu, pemanfaatan hiu juga bisa dilakukan melalui pariwisata bahari, seperti penyelaman permukaan (snorkeling) dan menyelam. Namun, kata Ariyoga, skema demikian mesti dibarengi kajian daya dukung wisata.

“Sehingga, kenyamanan dalam berwisata tidak hanya bisa didapatkan oleh wisatawan. Namun, terutama kepada biota-biota itu sendiri,” sela dia.

***

Sampai tulisan ini diturunkan, perdagangan hiu terus berlanjut, demi melayani permintaan pasar. Per detik, diperkirakan, ada tiga ekor hiu dibunuh manusia. Dan manusia yang mati karena diserang hiu pertahun, kemungkinan hanya satu.

Penulis: Agus Mawan

spot_img

Headline

Populer

spot_img