MAKASSAR, SULSELEKSPRES.COM – Rancangan Kitab Umum Hukum Pidana (RKUHP) yang baru dinilai masih memiliki masalah oleh berbagai kalangan, khusus masyarakat sipil. Sementara itu pada Juli 2019, DPR RI telah mengumumkan bahwa RKUHP sudah hampir rampung, sudah mencapai 99%.
Masyarakat sipil yang tergabung dalam “Koalisi Makassar Tunda RKUHP” menyatakan terdapat pasal-pasal dalam RKUHP yang dianggap dapat mengkriminalisasi warga negara, yang disampaikan melalui konferensi pers yang dilaksanakan di MaxOne Hotel, Makassar, Selasa (10/9/2019).
BACA: Alumni YLBHI-LBH Tolak RUU Revisi UU KPK
Setidaknya terdapat beberapa keganjalan dalam RKUHP khususnya pasal-pasal yang terkait dengan kesehatan reproduksi dan kesetaraan gender, yang masih perlu analisa, serta pembahasan lebih lanjut sebelum RKUHP ini disahkan. Menurut Koalisi ini, terdapat pasal kriminalisasi pada setiap bentuk persetubuhan diluar ikatan suami istri, pasal kriminalisasi terhadap perempuan yang melakukan penguguran kandungan, pasal kriminalisasi edukasi dan promosi alat pencegah kehamilan atau alat kontrasepsi.
Aktivis perempuan, Lusia Palulungan menjelaskan bahwa dalam RKUHP ini terdapat pasal yang mengatur pemidanaan hal-hal yang berkaitan dengan pelangggaran bersifar etika dan moral kesopanan. Sementara itu etika dan moral kesopanan sangatlah relatif sifatnya tergantung sudut pandang dan konteks wilayah masyarakat hidup.
BACA: Hadapi Verifikasi Kabupaten Sehat, Pemkab Bone Perkuat Sinergitas
“Menurut kami bahwa ini akan sangat tergantung, karena etika moral kesopanan itu sangat berbeda-beda dalam setiap sudut-sudut setiap orang yang akan menentukan bahwa ini melanggar etika kesopanan dan moral. Hal itu sangat multitafsir,” papar Lusia
Dia menambahkan jika memang dalam RKUHP ini ingin mengatur tentang pelanggaran terkait kesusilaan, maka sebaiknya fokus pada ada tidaknya tindakan kekerasan atau pun ancaman kekerasan yang dianggap pelanggaran hukum.
“Mengingat rancangan KUHP pidana ini akan memilih menggunakan hukum acara pidana dimana pembuktian yang akan menggunakan asas unus testis nullus testis maka untuk beberapa jenis kekerasan yang dikategorikan sebagai pelanggaran, sebaiknya ini diatur lebih lanjut melalui peraturan-peraturan yang lebih khusus, misalnya terkait dengan perkosaan atau kekerasan seksual. Karena sekarang sudah kita sudah dalam proses pembahasan rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual, maka kekerasan seksual yang diatur di dalam rancangan KUHP sifatnya lebih umum yang nanti akan menjadi payung bagi jenis kekerasan seksual yang sudah direkomendasikan di dalam rancangan undang-undang penghapusan seksual,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua LBH Apik Makassar, Rosmiati Sain menambahkan, jika tidak dilakukan perubahan terhadap RKUHP ini maka sangat rentan terjadinya persekusi pada hubungan laki-laki dan perempuan, terutama bagi mereka yang belum terikat pernikahan .
“baik yang terikat perkawinan maupun yang tidak, baik hubungan laki-laki dan perempuan maupun yang sesama itu semua nantinya akan kena masalah ini. Sehingga ketika pasal-pasal ini tidak ada perubahan, itu nanti akan berujung dengan kriminalisasi bahkan akan ada persekusi di dalamnya, sehingga kita dari Koalisi Makassar Tunda RKUHP, meminta agar tidak terburu-buru disahkan,” tegas Rosmiati
Disisi yang sama, RKUHP ini tidak memikirkan permpuan korban pemerkosaan. Didalam pasalnya terdapat pasal yang memungkinkan korba pemerkosaan dikriminalisasi jika melakukan pengguguran kandungan.
“hal tersebut tidak dijelaskan sehingga potensi bahwa teman-teman korban perkosaan dan perempuan yang melakukan aborsi kedaruratan medis itu berpotensi kriminalisasi. Selain itu beberapa pasal di dalam kuhp ini juga kami tolak karena dianggap bahwa akan mempersempit ruang gerak organisasi masyarakat sipil khususnya bagi mereka yang bekerja dalam program dalam mempromosikan kesehatan seksual dan reproduksi apa namanya pencegahan,” lanjut Sartika Nasmar yang aktif di Komunitas Samsara ini
Selai itu juga terdapat masalah lain dari RKUHP ini, diantaranya Pasal kriminalisasi kepada orang yang bekerja di jalan dan anak terlantar, pasal yang berpotensi meningkatnya Peraturan Daerah dan sikap diskriminatif dalam pasal hukum yang hidup dalam masyarakat (Living Law) dan pasal dengan pidana retributif yang tidak efektif untuk pengguna narkotika.
Penulis: Muh. Ismail