Dugaan Korupsi Proyek Alkes Pangkep Lenyap?

Kadir Wokanubun.

MAKASSAR, SULSELEKSPRES.COM – Penyidikan dugaan korupsi proyek Alat Kesehatan (Alkes) di Kabupaten Pangkep, Sulsel kabarnya lenyap, pascasalah seorang tersangka diam-diam mengembalikan kerugian negara senilai Rp 6 miliar.

“Inilah Kejati Sulsel ada beberapa kasus korupsi yang ditangani menurut data kami tak ada kabar lagi. Bahkan diam diam bisa dikatakan menghilang padahal sudah ada tersangka. Nah salah satunya dugaan korupsi Alkes Pangkep yang menggunakan anggaran sebesar Rp 22,8 miliar itu,” kata Wakil Direktur Badan Pekerja Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi, Kadir Wokanubun di kantornya, Jumat (17/11/2017).

Menurutnya, penyidikan dugaan korupsi yang disinyalir melibatkan adik Bupati Pangkep tersebut, sempat heboh. Karena upaya penahanan terhadap tiga orang tersangka dalam kasus itu tiba tiba ditangguhkan karena ada seorang diantara tersangka melalui istrinya menyerahkan cek senilai Rp 6 miliar ke penyidik Kejati Sulselbar tepatnya di Bulan Juli 2017.

“Disitulah terakhir kejadiannya. Kemudian selanjutnya hingga saat ini tak ada lagi kabar perkembangan kasus Alkes ini. Meski kami tahu pengembalian kerugian tidak menghapus pidana yang melekat pada tersangka,” terang Kadir yang juga mantan salah satu tim pendamping hukum Eks Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad saat menghadapi dugaan kasus pemalsuan dokumen.

Ia berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera melakukan supervisi terhadap dugaan korupsi proyek Alkes Pangkep yang dikabarkan menghilang ditangani Kejati Sulselbar tersebut.

Sebelumnya, dari hasil penyidikan kasus ini telah menetapkan tiga orang tersangka masing-masing inisial SC selaku rekanan, S pemilik korporasi dan AS selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

Proyek alkes diketahui menyedot dana alokasi khusus(DAK) senilai Rp 22,998 M. Dalam pelaksanaannya diduga terjadi penyimpangan utamanya dalam pembelian alat mesin. Dimana penentuan harga perkiraan sementara (HPS) dilakukan tanpa survei. Melainkan mengacu hanya berdasarkan informasi dan rekomendasi rekanan proyek.

“Di HPS harga dimasukkan senilai Rp 500 juta/unit, sementara harga dipasaran, hasil temuan penyidik alat tersebut hanya seharga sekitar Rp200 juta,” terang Salahuddin.

Tak hanya itu, dari hasil penyidikan juga ditemukan bahwa mesin alat kesehatan yang diperuntukkan bagi beberapa puskesmas tersebut belum memiliki izin edar di Indonesia. Kemudian dalam proses lelang juga dinilai ada rekayasa. Dimana tiga perusahaan yang ikut dalam proses lelang, dua perusahaan diantaranya sengaja tidak dimenangkan dalam proses lelang proyek.

“Dugaan kita, pemenang lelang dalam proyek diduga sudah diatur sedimikian rupa untuk memenangkan perusahan yang dimaksud sebab dua perusahan melakukan penawaran melebihi pagu anggaran ,”tandas Salahuddin.