32 C
Makassar
Tuesday, April 16, 2024
HomeHeadlineGugat Menteri LHK, 3 Petani Soppeng Minta Ganti Rugi Rp74 Juta

Gugat Menteri LHK, 3 Petani Soppeng Minta Ganti Rugi Rp74 Juta

- Advertisement -

SULSELEKSPRES.COM – Pasca-putusan berkekuatan hukum tetap, 3 Petani Soppeng yang sempat menjadi perhatian publik pada tahun 2018, mengajukan praperadilan dengan meminta ganti kerugian sebesar Rp74,300.000.

“Tadi agenda sidang praperadilan sampai pada pembacaan permohonan, setelah sebelumnya beberapa pihak yang menjadi para pihak tak hadir pada persidangan.Jadi, dalam materi praperadilan ini meminta ganti kerugian yang dialami korban kriminalisasi dengan menggunakan UU P3H,” ujar salah satu pengacara petani, Ady Anugrah Pratama.

Menurut Ady, tiga korban dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana pengerusakan hutan. Kasus ini sudah inkracht (berkekuatan hukum tetap), sementara, tiga orang petani ini ditahan berbulan-bulan, dan mengalami banyak kerugian setelah menjadi proses hukum.

“Kami berharap, hakim mengabulkan permohnan praperadilan yang diajukan. Lebih dari itu, kami berharap, para penegak hukum, tak bertindak semena-mena, asal tangkap begitu saja. Terlebih kebanyakan petani yang selama ini di tangkap dan diproses adalah petani turun temurun yang bertani untuk kebutuhan sehari-hari,” tandas Ady.

Berdasarkan data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, ketiga petani tersebut, yakni Sahidin, Jamadi dan Sukardi, petani yang divonis bebas, ketiganya tinggal dalam klaim kawasan hutan Laposo Niniconang, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Mereka awalnya ditangkap oleh polisi kehutanan pada 22 Oktober 2017 dengan tuduhan merambah hutan dan melanggar UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H).

Ketiganya ditahan di Rutan Makassar kemudian dipindahkan ke Rutan Soppeng selama 150 hari, sampai akhirnya dibebaskan oleh PN. Watansoppeng karena tidak terbukti bersalah.

Pada hari Rabu (21/03/2018) PN. Watansoppeng memberikan keadilan bagi ketiga petani Soppeng dengan menjatuhkan putusan bebas dari segala tuntutan penuntut umum. Majelis Hakim berpendapat bahwa dakwaan jaksa penuntut umum keliru menerapkan UU P3H. Oleh karena subjek hukum yang ditujukan dalam UU P3H adalah setiap orang yang menebang pohon dan berkebun secara terorganisasi untuk kepentingan komersil. Bukan untuk petani yang tinggal dalam klaim kawasan secara turun-temurun dan berkebun hanya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar. Putusan ini telah diperkuat oleh Mahkamah Agung, karenanya telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Proses pidana, khususnya penahanan yang dijalani oleh 3 Petani tersebut tidak semata masalah hukum. Namun, berdampak pada masalah ekonomi, pendidikan dan tekanan psikis hingga kerugian materil akibat penahanan selama 150 hari. Bahkan anak-anak dari 3 Petani ikut merasakan dampaknya, oleh kerena ketiganya merupakan tulang punggung keluarga sehingga kebutuhan biaya pendidikan ikut terhambat.

Demikian pula yang dirasakan oleh istri dan keluarga lainnya. Dampak penahanan membuat mereka tidak dapat menikmati hasil panen yang dipakai untuk menyambung hidup, bahkan mereka membutuhkan biaya tambahan untuk membesuk selama penanahan.

Pada 29 Januari 2021, Petani Soppeng mengajukan permohonan pra peradilan di PN. Watansoppeng terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kepala Kejaksaan Negeri Soppeng dan Menteri Keuangan RI, akibat perbuatannya melakukan penahanan kepada Petani Soppeng yang berdampak pada kerugian materil maupun non materil. Sidang perdana kasus ini dijadwalkan pada 5 Februari 2021, akan tetapi pihak kehutanan dan Menteri Keuangan tidak hadir dalam sidang tersebut. Sidang kembali diagendakan pada Jumat, 19 Februari 2021, sidang kali ini dihadiri lengkap oleh semua pihak pemohon maupun termohon. Mereka berharap bisa mendapatkan kompensasi atau ganti rugi dari negara akibat perbuatan sewenang-wenang berupa penangkapan dan penahanan yang dialaminya. Dan peristiwa ini tidak terulang lagi di Indonesia khususnya di bumi Latemammala, Soppeng.

Upaya pra peradilan ganti rugi ini diajukan berdasarkan ketentuan Pasal 95 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang menyatakan bahwa: Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak untuk menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

spot_img

Headline

Populer

spot_img