JAKARTA – Komite Pemantau Legislatif (Kopel) menjadikan partai politik sebagai sasaran kritik dibalik kasus korupsi berjamaah yang terjadi di DPRD Kota Malang.
Menurut Kopel, banyaknya anggota dewan terseret kasus korupsi menandakan bahwa lembaga terhormat itu sekarang ini sudah gagal menjaga marwah sebagai lembaga penjaga nilai. DPR dan DPRD yang sejatinya dibentuk sebagai lembaga cek and balance, menjaga otoritarian eksekutif sekarang ini wibawanya benar-benar runtuh.
“Perlu dipahami bahwa orang yang sejatinya menjadi anggota DPR dan DPRD sebagaimana diamanatkan dalam UU Pemilu dan UU Parpol adalah mereka yang selama ini telah melalui fase pengkaderan di partai politik. Partai politiknya yang diberi amanah menjadi laboratorium satu-satunya yang bisa mencetak kader-kader politisi handal berkarakter dan tentu bermoral,” kata Direktur KOPEL Indonesia, Syamsuddin Alimsyah, Selasa (4/9/2018).
Baca: 5 Anggota DPRD Malang Tidak Menjadi Tersangka, 2 Orang Kader PDIP
Negara disebutnya setiap tahun menggelontorkan dana bantuan partai politik melalui APBN dan APBD yang jumlahnya sungguh fantastis setiap partai. “Tujuannya apa? Agar partai politik secara rutin melakukan pengkaderan, membina kadernya agar berkualitas dalam memperjuangkan aspirasi rakyat,” jelas Syamsuddin.
Sayangnya cita ideal negara ini disebut justru diabaikan. Dimana partai dianggap rajin terima dana negara tapi malas melakukan kaderisasi. Faktanya, setiap pemilu, partai kesulitan mencari caleg. Ada yang saling bajak kader. Bahkan sampai harus menabrak aturan dengan memaksakan maju caleg meski mantan koruptor. “Ini bukti sederhana partai sekarang miskin kader,” tambahnya.
Baca: Soni Sumarsono Ngotot Tanah Rakyat 7 Hektare Dihibahkan Kepada Yayasan Pimpinan Wapres JK
Pengkaderan yang lemah sehingga lemah pula dalam menjalankan fungsi pengawas. Sebaliknya juga banyak menjadi pelaku korupsi.
Dia mengatakan, harapan parpol mengajukan caleg bermoral tinggi sebenarnya sudah ada. Terbitnya PKPU 20 tahun 2018 yang oleh KPU secara tegas melarang parpol mengajukan caleg mantan napi koruptor adalah sebuah upaya maksimal oleh KPU yang jauh ke depan.
Soal Hibah Tanah Rakyat di Al Markaz, Kopel Ungkit Tanah Hotel Sedona dan Latanete Plaza
“Ini bukan sekadar memproteksi warga pemilih agar tidak dibawa ke ranah memilih koruptor. Namun juga ada pesan jauh ke depan untuk membangun marwah DPR dan DPRD. Termasuk pesan bagi pejabat amanah dan tidak korup. Sekali mereka korupsi maka tamat riwayatnya,” kata Syam.
Selain itu, untuk menjaga marwah DPR dan DPRD, butuh pengawalan dan pengawasan. Salah satunya dengan memaksimalkan lembaga mahkamah DPR dan atau badan kehormatan. “Lembaga ini harus benar-benar berfungsi sebagai pengawas internal,” jelasnya.
Cara lain untuk meminimalisir kasus di DPR dan DPRD, dengan memperkuat pengawasan publik terhadap lembaga ini. “Publik perlu diberi penyadaran menggunakan hak kedaulatannya untuk tagih janji bagi wakilnya,” imbuhnya.
DPRD Kota Malang Sisa 5 Orang
Sekretariat DPRD Kota Malang sisa menyisahkan 5 orang legislatornya. Ini setelah 40 orang wakil rakyatnya ditetapkan sebagai tersangka suap dan gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari 5 orang yang tersisa, 2 diantaranya diketahui sebagai kader PDIP.
Dua kader PDIP ini yakni, Priyatmoko Oetomo dan Tutuk Tutuk Hariyani. Adapun tiga lainnya yakni, Abdul Rachman (PKB), Subur Triono (PAN), dan Nirma Cris (Hanura).
“Sekarang tinggal lima orang, saya, Pak Subur, Pak Priyatmoko, Bu Tutuk, Bu Nirma,” ungkap Plt Ketua DPRD Kota Malang Abdul Rachman kepada wartawan di kantornya Jalan Tugu, Selasa (4/9/2018) dilansir dari Detik. com.
Diketahui, DPRD Kota Malang memiliki 45 kursi dari hasil Pemilu 2014 lalu. PDIP memiliki kursi terbanyak yakni 11 kursi. PKB dengan 6 kursi menduduki peringkat kedua, disusul Partai Golkar dan Demokrat masing-masing 5 kursi, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Gerindra yang memiliki masing-masing empat kursi, PKS, PPP, dan Hanura masing-masing tiga kursi, serta Partai NasDem satu kursi.
40 wakil rakyat yang tersandung kasus korupsi ini merupakan akumulasi dari dua kali penetapan tersangka yang dilakukan KPK. Maret 2018 lalu, KPK menetapkan 18 anggota DPRD Kota Malang, termasuk sang Ketua M. Arief Wicaksono. Kemudian Senin (3/9/2018), KPK menetapkan 22 anggota DPRD lainnya.
KPK juga telah menetapkan Wali Kota Malang nonaktif Moch Anton dan eks Kadis PU dan Pengawasan Bangunan Kota Malang tahun 2015, Jarot Edy Sulistiyono sebagai tersangka. KPK menyebut kasus ini sebagai korupsi massal. (*)