MAKASSAR, SULSELEKSORES.COM – Ali Amin, 51, seorang perawat tanaman disitus peninggalan bersejarah, Benteng Rotterdam hanya bisa pasrah setelah diminta untuk mengosongkan lahan yang ditempatinya selama 24 tahun oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulsel Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Saya 24 tahun disini merawat taman dengan biaya sendiri dan tanpa digaji. Saya merawat tanam karena saya ingin taman ini bermanfaat bagi masyarakat,” kata Ali Amin, saat ditemui di rumahnya, di Jalan Penghibur, Kota Makassar, Kamis (28/2/2019).
Loyalitas dan dedikasi Ali Amin seolah tak berharga dengan adanya perintah pengosongan tersebut secara mendadak diterima Amin setelah 24 tahun menjadi tenaga sukarela, merawat taman disekitar cagar budaya tersebut. Tanpa gaji dan tunjangan selama ini.
BACA:Â Tolak Direloksi ke Kanrerong, PK5 Es Kelapa Sambangi DPRD Makassar
Permintaan pengosongan itu melalui surat bernomor 0303/E22.1/TU/2019 yang berisi pihak BPCB meminta agar Aliamin dan keluarganya, segera mengosongkan lahan yang di tempati. Permintaan pengosongan paling lambat harus dilaksanakan Aliamin, 14 hari setelah surat diterima.
Dia bercerita bahwa lahan yang berlokasi di bagian ujung kiri Benteng Rotterdam tersebut ditempatinya bersama keluarga kecilnya, dengan lima orang anak. Dia merawat taman dan menggantungkan hidupnya ditempat tersebut.
Taman seluas 60 x 29 meter persegi ini dengan hasil jerih payah sendiri tanpa menggunakan sepeserpun uang dari negara dirawatnya seolah bagian dari keluarganya. Kelima anaknya, juga lahir dan dibesarkan di tempat ini. Amin berkisah, ia mulai menempati lokasi ini sejak tahun 1995.
BACA:Â Warga Bara-baraya Gelar Aksi di PN Makassar
“Sejak 1995, hanya dua tahun saya mendapat tunjangan itupun dari Gapensi. Jadi terhitung sejak 1997 saya rawat taman ini dengan biaya sendiri atau selama 24 tahun,” jelasnya.
Dia menempati lahan tersebut dengan surat perintah dari Gapensi yang dulu mengelola taman tersebut. Setelah 1997 Gapensi tidak mampu lagi membayar karena saat itu terjadi krisis dan memberika keleluasaan kepada Al Amin untuk tingg dan membuka usaha mandiri dengan catatan tetap merawat taman.
Pada awal bekerja sebagai perawat taman, Amin mendapat upah sekitar Rp 70.000 hingga Rp 100.000 perbulan dari Gapensi. Namun setelah surat Gapensi turun Amin dengan segala keterbatasan kemudian membuka sebuah warung kopi tanpa bercita-cita ingin memiliki lahan itu.
BACA:Â Dianggap Pusat Pertemuan Budaya, Makassar Dipilih jadi Tuan Rumah Diplofest 2019
Keuntungan dari warung kopi yang didirikannya sebagian disisihkan untuk membeli bibit bunga, menanam, hingga merawat bunga dan tumbuhan yang ada di taman tersebut. Agar, taman yang berada disekitar situs budaya tersebut tidak rusak, apalagi selama ini dijadikan salah satu spot foto bagi masyarakat Makassar.
Amin hanya berharap kepada pihak cagar budaya untuk setidaknya bisa bicara dengan baik dengan dirinya terkait pengosongan tersebut. Apalagi, kata Amin 24 tahun bukanlah waktu yang singkat. Dan untuk langsung meninggalkan butuh waktu.
Sementara, Kepala BPCB Sulsel Laode M Aksa menyatakan bahwa permintaan pengososngan tersebut sebagi upaya merevitalisasi kawasan situs budaya. Untuk kepentingan masyarakat umum yang rencananya akan dbuatkan parkir bagi pengunjung situs budaya.
Dia berdalih bahwa untuk keberadaan pondok kecil Ali Amin di taman patung kuda Sultan Hasanuddin tersebut tidak elok dipandang dan berpotensi merusak cagar budaya peninggalan Kolonial Belanda tersebut.
“Kami sudah bicara dan sudah menyurati untuk mengosongkan lahan tersebut. Kami meminta pak Amin untuk mengosongkan sehingga bisa segera direvitalisasi,” jelasnya.
Dia juga memberikan kewenangan kepada pihak Ali Amin jika keberatan jika harus mengosongkan hal tersebut melalui jalur hukum. Karena, menurutnya tidak ada kepentingan pribadi dalam revitalisasi tersebut dan Ali Amin tidak memiliki legalitas yang kuat untuk itu.
“Kalau mau menggungat silahkan ke pengadilan. Dia tidak punya legalitas untuk menempati lokasi itu. Itu lokasi cagar budaya,” tegasnya.