MAKASSAR, SULSELEKSPRES.COM – Belum tengah hari masa pencoblosan, tak ada yang nampak berbeda dari rumah Muhammad Lutfi (29), dengan suasana rumah para pemilih lainnya.
Seperti biasa mereka bercengkrama, sarapan. Yang beda hanya soal memantapkan diri untuk ke tempat pemungutan suara (TPS).
“Kayak lebaran ku rasa,” peluh Lutfi saat Sulselekspres.com tiba di rumahnya, di jalan Borong Indah, Makassar. Rabu (17/4/2019).
Lutfi adalah salah seorang difabel visual (tuna netra) diantara 1.876 lainnya di kota Makassar, berdasarkan data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Dinas Sosial Sulawesi Selatan (Sulsel) tahun 2019.
Dalam cakupan pemilih difabel di Sulsel, setidaknya tercatat 20.288 orang sebagai pemilih tetap di Daftar Pemilih Tetap Hasil Perbaikan Kedua (DPTHP-2) Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulsel.
Puluhan ribu itu, terdiri dari difabel daksa 5.087 pemilih, difabel visual 4.409 pemilih, difabel rungu/wicara 4.420 pemilih, dan difabel grahita sebanyak 2.477 pemilih, serta penyandang disabilitas lainnya sebanyak 3.895 pemilih.
Meski pada masa kampanye isu difabel kurang pamor dibanding isu lainnya. Keteguhan Lutfi untuk tidak menyia-nyiakan hak suaranya tak tergoyahkan. Ia yakin, pemerintahan terpilih punya program konkrit untuk difabel.
Pukul 09.30 Wita, ia sekeluarga bersama Ibu, adik sepupu, dan dua tantenya bergegas menuju ke TPS nomor 13, kelurahan Banta-bantaeng, kecamatan Rappocini, Makassar.
Menempuh jarak kurang lebih 3,3 kilometer, kami akhirnya tiba di TPS 10 menit kemudian. Terlihat, sudah banyak pemilih yang mengambil antrian, di bawah tenda, dan menduduki kursi plastik yang diatur berbaris oleh panitia.
“Jadi dulu saya pernah tinggal di sekitaran sini,” kata Lutfi, “dulu itu waktu hari pencoblosan, saya datang jam 7 [red: pukul 07.00 Wita] biar tidak antri lama.”
Belum beranjak terlalu jauh. Lutfi yang mulai memasang The White Cane sebutan tongkat bantu, sudah siap menembus bilik suara. Dengan memegang lengan salah seorang reporter Sulselekspres.com, Lutfi perlahan menyusuri jalan menuju TPS.
“Ayo,” sahut dia.
Selama ini kami di-bimtek untuk yang normal saja
Saat kami duduk, di depan sudah terlihat tangga. Yang tentu bagi Lutfi, jadi salah satu penghambat aksesibilitasnya ke bilik suara. Sejak kami duduk, dimulai dari tahap pendaftaran, hingga usai mencoblos Lutfi ditemani seorang tantenya.
Tak ingin menunggu lama, Lutfi bersama Tantenya lalu menuju ke meja pendaftaran, tentu dengan menapaki tiga anak tangga tadi.
Lutfi menyodorkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) nya kepada petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
“Pelayanannya bagus, cepat, walaupun tidak mengerti,” ulas Lutfi, yang juga selaku koordinator Relawan Demokrasi.
Tidak mengerti kata Lutfi, sebab saat pendaftaran ia mestinya menerima formulir C3 dari petugas. Formulir C3 nantinya, sebagai pegangan pendamping pemilih difabel.
“Tadi itu tidak diminta tanda tanganku untuk C3, kalau bawa pendamping. Tapi katanya dia [petugas] tidak apa-apa, karena ada Bawaslu,” terang Lutfi.
Setelahnya, Lutfi lekas diarahkan ke bilik suara oleh salah seorang petugas Bawaslu kota Makassar. Dari balik tumpukan surat suara, petugas KPPS nampak mulai bingung, sebab surat suara yang mereka anggap untuk difabel hanya berjumlah dua, dan terbuat dari karton pula.
Melihat itu, petugas Bawaslu nampak ikut bingung. Beruntung, letak TPS 13 hanya bersampingan dengan TPS 14, dengan demikian para petugas Bawaslu dan KPPS lebih mudah mencari solusi sesamanya.
“Cuman ini yang kami terima,” kata petugas KPPS ke Lutfi.
Rupanya, apa yang dianggap sebagai surat suara oleh para petugas KPPS dan Bawaslu Makassar adalah template pemandu, yang dilengkapi huruf braille.
“Mana surat suaranya?,” kata Lutfi ke petugas Bawaslu.
Setelah Lutfi memberi penjelasan ke petugas, akhirnya pemungutan suara oleh Lutfi ditunda, menanti hasil koordinasi pihak KPU Makassar dan petugas ujung tombak di TPS, tempat Lutfi memberi suaranya.
“Selama ini kami di-bimtek untuk yang normal saja,” peluh salah seorang petugas KPPS, “tolong sabar ki dulu nah.”
Barulah setelah ribut barang sebentar, Lutfi kembali melanjutkan pencoblosan. Kali ini, Lutfi sudah diberi lima lembar surat suara dan dua template untuk surat suara Pilpres dan Pileg DPD RI.
Mengenai kegagapan para petugas ini. Pihak Bawaslu kota Makassar dan KPU Makassar telah memberi klarifikasi.
Mengenai itu, Humas Bawaslu kota Makassar, Maulana mengaku, gagapnya petugas Bawaslu di TPS tersebut bukan semata-semata kesalahan pihaknya.
“Kayaknya dia [petugas] yang kurang fokus saat Bimtek dilakukan,” kata dia kepada Sulselekspres.com.
Sedang, salah Komisioner KPU kota Makassar, Gunawan Mashar menganggap, kendala yang dialami petugas KPPS dipengaruhi dari kemampuan penyerapan petugas saat Bimbingan Teknis dilakukan.
“Harusnya sudah paham. Tapi kan kemampuan menyerap yang diajarkan, beda-beda tiap orang,” kata dia.
Lalu soal proses Bimtek, Gunawan menuturkan, pihaknya melakukan bimbingan kepada 27 ribu orang hanya dalam kurun waktu 2 pekan. Namun, apakah dengan singkat waktu itu para petugas mudah paham? Gunawan tidak merespons pesan sulselekspres.com.
Harapan Seorang Lutfi untuk Pemilu Selanjutnya
Bagi Lutfi, kendala yang dialaminya tidak terlepas dari pengetahuan yang dimiliki para petugas KPPS maupun Bawaslu.
Kata dia, sebagai ujung tombak pemungutan suara, pengetahuan terhadap isu difabel perlu dipahami serius. Sebab, kebanyakan penyandang difabel tidak bernasib sama dengan Lutfi.
“Bagaimana mi dengan yang tidak punya akses informasi? ,” pungkasnya.
Saat kami belum beranjak dari TPS, Lutfi menerima laporan dari salah seorang pemilih difabel di kelurahan Masale, kecamatan Panakkukang.
Kata Lutfi, jangankan untuk surat suara, template braille bahkan tidak disediakan.
“Jadi saya arahkan untuk melapor ke KPU,” kata Lutfi, “yang kayak begini yang ku maksud.”
Karena itu ia berharap, Pemilu kedepannya tidak hanya soal aksesibilitas bagi pemilih difabel yang diperhatikan. Melainkan pula seberapa paham para petugas terkait difabel.
“Yang penting itu sekarang, harus memahami betul-betul hak-hak difabel dalam memilih. Seperti tadi, dia kasihka template dia kira itumi surat suara yang dicoblos. C3 juga dia tidak paham,” ujar Lutfi.
Selain itu, Lutfi juga menyayangkan huruf braille pada template. Menurut Lutfi, huruf braille yang digunakan relatif kecil dan mudah hilang.
“Jadi kalau banyak pemilih difabel, itu huruf braille nya pasti hilang,” sela dia, “terus huruf braille juga beda dengan huruf awas [latin] yang bisa dikecilkan.”