MAKASSAR, SULSELEKSPRES.COM – “Ah, biar itu cewe dia suka-suka ji dipegang-pegang, karena tidak melawan.” Ini adalah salah satu respon yang paling umum, ketika mendengar peristiwa pelecehan terjadi di kampus terhadap mahasiswi.
Selain itu, respon lain seperti “Itu perempuan yang salah, karena dia yang memancing” juga menjadi ‘bumbu’ ketika peristiwa kejahatan susila mencuat.
Dalam respon demikian, perempuan dalam hal ini mahasiswi menjadi ‘umpan’ atas hasrat seksual seorang dosen laki-laki. Layaknya “hidangan ikan dimata seekor kucing”.
Namun, benarkah para penyintas ‘menikmati’ seperti gunjingan sebagian orang, karena korban tak melawan saat itu, atau ada hal lain yang secara klinis dapat menjelaskannya?
Pakar Psikologi Universita Negeri Makassar, Eva Meizara kepada Sulselekspres,com menjelaskan terkait dengan pelecehan yang kerap melanda mahasiswi di kampus-kampus.
Berikut kutipan wawancara Eva Meizara matakuliah Dosen Psikologi Pendidikan dan Perkembangan di Fakultas Psikologi Unervesitas Negeri Makassar (UNM).:
Apa yang membuat korban tak mampu ‘melawan’ saat perbuatan pelecehan terjadi?
Normalnya melawan memang. Karena korban merasa tidak nyaman. Kalau tidak melawan justru tidak normal. Ini kan masalah harga diri, kok diam saja.
Tapi, kalau pelakunya adalah dosen?
Nah kalau pelakunya orang yang kadang tidak mungkin rasanya melakukan itu, karena figur yang kita hormati, dosen misalnya. Maka mungkin tidak melawan itu karena shock, “benarkah ini dosenku?
Tapi sebetulnya bisa lebih detail diamati ekspresinya menunjukan apa: shock, melawan tapi tidak kuasa atau justru menikmati.
Benarkah, karena tidak melawan, korban lantas terangsang?
Apakah tidak melawan karena terangsang? Bisa jadi, terutama mungkin yang baru pertamakali atau perempuan (mahasiswi-red) yang memiliki kebutuhan seks tinggi.
Kenapa?
Karena kebutuhannya terpenuhi, bahkan mungkin juga menjadi tidak takut, justru menikmati.
Soal itu, kan bagi yang memiliki kebutuhan seks tinggi, namun bagi mereka yang tidak?
Tentu tertekan, marah dan malu karena sesuatu yang tidak dikehendaki.
Apakah gunjingan sebagian orang ada benarnya?
Tergantung.
Apa yang membuat sebagian orang, mengambil kesimpulan demikian?
Kalau masalah komentar, saya kira sudah suatu konsekuensi dari kehidupan sosial ya, bagaimana memandang fenomena itu tergantung apa yang dipikirkan sesuai pengetahuan dan pengalamannya.
Pasti ada positif dan negatif, jadi kitalah yang harus pandai memilah dan memilih.
Perlu kah edukasi kepada masyarakat kampus, agar kasus ini dapat terhenti?
Yang dibekali sebetulnya tidak hanya penyintas, tapi masyarakat luas, bagaimana mencegah atau apa yang harus dilakukan ketika menghadapi pelecehan.
Namun, bagaimana bentuk edukasi di kampus yang efektif untuk itu?
Nah, mahasiswa itu kan pinter-pinter. Bentuknya sebaiknya bukan metode ceramah. Justru mereka yang harus punya kreatifitas dan inspirasi bagaimana mencegah ini.
Bisa include tugas mata kuliah atau lomba yang dikompetisikan.
Perlu dukungan kampus juga berarti?
Iya. Pembantu Dekan (PD) III dan Pembantu Rektor (PR) III yang terutama.