Pemerintah Indonesia Menentang Yerusalem Jadi ‘ibu kota Israel’, KWI Sebaliknya

Presiden Donald Trump ketika mengunjungi Yerusalem, 22 Mei 2017: HEIDI LEVINE/AFP/GETTY IMAGES

SULSELEKSPRES.COM – Rencana Presiden Amerika Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel mendapat tentangan dunia. Pemerintah Indonesia juga menilai hal itu akan memperburuk konflik Palestina-Israel.

“Jelas posisi Pemerintah Indonesia sependapat mendukung Palestina agar Amerika Serikat tak memindahkan kantor kedutaannya (dari Tel Aviv) ke Jerusalem,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla di kantornya, Rabu (6/12/2017).

Trump berencana mengumumkan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dalam pidatonya. Ia diperkirakan akan memerintahkan Kementerian Luar Negeri untuk bersiap memindahkan kedutaan ke Yerusalem.

Menurut Kalla, rencana Trump itu akan memperumit konstelasi konflik di Timur Tengah. “Karena sumber banyak keruwetan itu konflik Palestina-Israel. Akan lebih memperburuk,” kata Kalla.

Sebelumnya Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan hal yang sama. “Rencana tersebut akan mengancam proses perdamaian Israel-Palestina,” kata Retno.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak menilai sikap Trump mempertegas posisi Amerika dalam konflik Israel dan Palestina.

“Ini menjelaskan kepada dunia bahwa Amerika tidak dalam posisi bisa menyelesaikan konflik Israel Palestina karena dia adalah bagian dari konflik itu sendiri,” kata Dahnil.

Menurut Dahnil, umat Islam dapat mengambil pelajaran berharga dari sikap Amerika tersebut. “Mereka justru produsen dari konflik, sikap Trump mempertegas itu,” ujarnya.

Dahnil mendorong pemerintah Indonesia untuk terus menyuarakan penolakan terhadap rencana Trump tersebut. Apalagi terkait posisi Indonesia dalam organisasi negara-negara Islam OKI.

“Tindakan Amerika itu mencederai prinsip perdamaian dunia … Indonesia harus bersikap tegas di forum-forum internasional, dan menggalang dukungan dari negara-negara lain,” kata Dahnil.

Yerusalem adalah kota suci bagi tiga agama besar: Kristiani, Islam, dan Yahudi. Di kota ini terdapat situs-situs suci bagi ketiga agama tersebut. Antara lain Tembok Ratapan (Yahudi), Gereja Makam Kudus (Kristen), dan Masjid al-Aqsa (Islam).

Yahudi setuju Yerusalem jadi ibu kota Israel

Rencana Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaan AS ke sana dianggap tepat oleh rabbi Yahudi di Indonesia, Benjamin Meijer Verbrugge.

“Karena pusat pemerintahan Kerajaan Daud di situ (Yerusalem). Bukti kerajaannya masih ada. Memang sudah garisnya begitu. Tidak ada urusan mau ada Amerika atau tidak ada,” kata Rabbi Ben, panggilannya.

Menurut Rabbi Ben, ada bukti sejarah keberadaan Kerajaan Daud, berupa reruntuhan dan kuburan Raja Daud di Yerusalem.

“Jadi wajar dari sisi kitab suci, jelas bahwa tanah perjanjian itu adalah milik bani Israel,” kata dia.

Ide untuk memindahkan ibu kota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem, tambah Rabbi Ben, sejatinya sudah sejak lama. Cuma selama ini belum sempat terealisasi.

“Mungkin ada maksud administratif yang lebih memudahkan. Tidak tahu apa kepentingan Israel dan Amerika memindahkannya. Mereka tahu yang lebih baik,” ujar Rabbi Ben.

Sementara itu Monique Rijkers dari Hadassah of Indonesia, organisasi yang bergerak di bidang edukasi isu-isu Yahudi dan Israel, mengatakan sejatinya Yerusalem sebagai ibu kota Israel sudah sesuai dengan sejarah. “Dulu ibu kota kerajaan sekarang (seharusnya) jadi ibu kota negara,” katanya.

Menurut Monique, apa yang dilakukan Trump soal pemindahan kedutaannya hanyalah pengakuan administratif.

“Selama ini kami mengenal Yerusalem ibu kota Israel. Cuma negara-negara lain menempatkan pemerintahannya di Tel Aviv,” kata Monique.

Meski Yerusalem menjadi ibu kota Israel, kata Rabbi Ben, itu tidak akan mengubah wajah Israel yang demokratik. “Semua agama berdoa di situ. Parade gay di Yerusalem juga tidak ada masalah,” ujar Rabbi Ben.
Menurut Rabbi Ben, tidak ada yang dilukai dengan dijadikannya Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

“Kehidupan berjalan biasa. Setiap hari orang Palestina bebas beraktivitas meski harus melewati beberapa check point (pos pemeriksaan),” pungkasnya.

Suara KWI

Ketua Presidium Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Mgr Ignatius Suharyo mengatakan pemindahan ibu kota merupakan hal politik. Tidak menyangkut dengan keimanan.

“Bagi umat apa pun, Yerusalem tetap akan jadi kota suci karena sebagai lambang. Iman Katolik tidak akan berubah siapa pun yang menguasai Yerusalem,” kata Suharyo.

Umat Katolik, lanjut Suharyo, akan tetap menjalankan ibadah maupun ziarah ke Yerusalem karena kepercayaannya. Terutama banyak kisah-kisah dalam kitab suci yang terjadi di sana.

“Dalam iman Katolik, Yerusalem adalah lambang damai sejahtera yang bukan sekedar (kepentingan) politik, tapi damai sejahtera sejati yang utuh,” kata Suharyo.

Sumber: BBC Indonesia