MAKASSAR, SULSELEKSPRES.COM – Sikap serta cara bertutur kata Capres Prabowo Subianto dinilai mengandung ras dan membahayakan bagi masyarakat Indonesia.
Ketua Umum DPP PPP, Romahurmuzy alias Romy menjelaskan, pak Prabowo itu lebih banyak menghabiskan waktunya di luar negeri. Sehingga, apa yang disampaikannya itu adalah bagian dari ekspresi dimana dia dibesarkan. Masyarakat itu berkelas-kelas. Bagi pak Prabowo, Boyolali itu low class. Sehingga itulah yang secara spontan muncul sebagai guyon atau candaan.
Menurut Romy, jika itu dikatakan sebagai candaan. Maka candaan itu adalah rasialis. Ketika dia menyampaikan permintaan maaf, beliau justeru menegaskan. “Saya kan biasanya menyebut tampang Brebes, tampang Boyolali,” kata Romy saat ditemui di Jalan Topaz Makassar, Kamis (8/11/2018) kemarin.
Artinya memang, candaannya bersifat sara, menjadi bagian dari keyakinan yang selama ini ada di back mind-nya beliau. Maka, ketika bercanda pun, spontan rasialis.
Baca juga:
Romy Sebut Prabowo-Sandi Adopsi Cara Berpolitik Presiden Donald Trump
Prabowo Dicaci Maki, DPP Gerindra: Bupati Boyolali Jangan Emosi
“Di Indonesia, dimana kesukuan itu begitu beragam, candaan yang rasialis membahayakan. Karena, kalau seorang pemimpin di kepalanya masyarakat terkotak-kotakkan, dalam aneka kelas, terutama dalam kelas ekonomi, kelas kota, kelas desa, kemudian, ada kabupaten tertentu yang dianggap miskin, kelas rendah, itu ketika dia memerintah akan membahayakan pemihakan kedepannya. Maka tentu, dia akan lebih banyak berpihak, pada kelas berada,” jelas Romy.
Apalagi, Romy mengaku, pernah punya pengalaman, tahun 2014 ketika PPP masih berada di kubu pak Prabowo. Saat itu, PPP melakukan survei, dua Minggu sekali sebagai. Dirinya dipercayakan sebagai wakil divisi strategi kampanye Prabowo – Hatta saat Pilpres 2014 silam.
“Saya, mencermati survei itu, semua aspek kepemimpinan yang kita uji, ada 12 aspek kepemimpinan, mulai dari pengalaman, kepandaian, intelektualitas, kewibawaan, itu semuanya pak Prabowo unggul (dari Jokowi),” tambahnya lagi.
Namun, ada satu yang saat itu Prabowo-Hatta dikalah oleh Jokowi, yakni aspek kedekatan dengan rakyat. Ternyata, aspek dekat dengan rakyat ini, bobotnya paling tinggi.
“Jadi, saya waktu itu mengingatkan pada pak Prabowo, tolong situasi-situasi seperti sekarang ini sebaiknya kita tampil lebih dekat dengan rakyat. Ternyata, pandangan seperti itu tidak terakomodir. Akhirnya, kita tahu persis dengan label merakyat atau dekat dengan rakyat, yang itulah membuat Jokowi memikat,” ujarnya.
Oleh karena itu, peta politik sekarang tidak jauh berbeda (dari Pilpres 2014). Karena tidak ada perubahan yang mendasar dari karakter Jokowi dan Prabowo. “Kita melihat, pendukung oak Prabowo hari ini lebih banyak dari kalangan intelektual, kampus, kemudian kota, orang berada, lebih cendrung mendukung pak Prabowo,” urainya.
Sedangkan, rakyat miskin, pendidikan rendah, desa, kelas buruh dan pedagang pasar itu lebih mendukung pak Jokowi. Artinya apa? Yang dilakukan pak Jokowi setelah beliau terpilih tidak berbeda jauh dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat pengusung, keberpihakan Jokowi sebagai kepala negara, kepada lapisan terbawah menjadi yang utama.
Ini yang akan kita (Pertahankan) karena pada sisi yang lain, Prabowo jika terpilih akan mengikuti, orang-orang yang menjadi pendukungnya kalangan intelektualitas, dan berada. Padahal, kita tahu persis, kalangan tidak berada jauh lebih banyak.
“49 persen pemilih kita, pendidikannya SD kebawah, mereka itulah yang membutuhkan uluran tangan dari pada orang kaya,” pungkasnya.