Bertemu Awan dan Matahari Terbit, Menyelami Filosofi Hidup

salah seorang pecinta alam memegang bendera Merah Putih, sebagai simbol merdeka karena mampu menaklukan jalan mendaki menuju Puncak Gunung Bulusaraung, Sulsel/ SULSELEKSPRES/ RAHMI DJAFAR

Kita sudah pasti sering mendengar tentang filosofi hidup. Bahwa untuk mencapai segala sesuatu yang kita cita- citakan dan menganggap sebuah kebaikan, butuh perjuangan dan tantangan berat yang harus kita hadapi. Kehidupan memang tak muda, tetapi harus dihadapi.

Secara tersirat, melakukan pendakian juga sebenarnya kita tengah menjalani dan mencari makna dari sebuah perjuangan. Bertemu dengan keindahan diptaan Tuhan dari pandangan yang berbeda, luas, indah dan dari ketinggian. Puncak gunung mungkin saja bisa menjadi salah satu simbol tersebut.

Adalah matahari terbit perlahan dari awan dalam suhu yang dingin menjadi sebuah tujuan dari para pendaki. Warna keemasan itu, memiliki sebuah keindahan yang menenangkan jika kita berhasil tiba di puncak. Namun, untuk mencapai kesana, mereka selalu ingin menempuh jalur yang cukup ekstrim sebagai simbol perjuangannya dan bertahan hidup di alam bebas.

Bagi para pecinta wisata ekstrim, salah satu lokasi yang sering dikunjungi adalah pegunungan. Begitu juga dengan Gunung Bulusaraung yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan.

Gunung setinggi 1.353 meter diatas permukaan laut (Mdpl) itu, menjadi salah satu gunung yang ada di Kabupaten Pangkep, Sulsel.

Gunung ini sendiri masuk dalam taman nasional yang begitu tersohor di Indonesia yaitu Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terkenal sebagai Kingdom of Butterflies, sera kawasan kars yang membentang sepanjang Kabupaten Maros dan Pangkep.

Dari arah Kota Makassar, menuju Kabupaten Pangkep dengan menempuh jalan yang merupakan jalur masuk ke Pabrik PT Semen Tonasa, menuju ke titik pendakian dimulai dari Desa Tompobulu, Kecamatan Balocci, Kabupaten Pangkep. Disarankan untuk menuju ke titik star menggunakan kendaraan roda dua, mengingat jalan yang cukup terjal dan sempit, sera banyaknya tikungan akan dilewati saat mendekati Desa Tompobulu.

Menempuh jarak kendaraan sekitar dua jam dari Kota Makassar ke titik start awal pendakian, yang dibaluti pesona kawasan kars serupa pagar pembatas langit di samping kiri dan kanan.

“Saya penasaran saja, dan sekaligus berolahraga, lumayan bisa mengeluarkan keringat untuk mendaki, dan sekaligus untuk diet,” ujar Ainun, salah sorang mahasiwa yang baru pertama kali mendaki.

Meskipun letaknya tidak terlalu tinggi, namun trekkingnya cukup memacu adrenalin, dengan kemiringan 35 derajat nyaris hingga ke puncak tak memiliki jalur rata. bahkan beberapa orang harus dibantu untuk ditarik teman lainnya atau berpegangan di akar pohon, seperti tengah memanjat tebing. Namun dengan pemandangan sejuk dan alami, menjadi obat bagi rasa lelah.

Biasanya, untuk para pendaki pemula, gunung ini menjadi salah satu uji ketangguhan sebelum menuju ke gunung yang lebih tinggi di seperti Gunung Bawakaraeng dan Lompo Battang.

Untuk itu, sangat disarankan agar sebelum berangkat, persiapan utama yang harus dilakukan adalah menyiapkan fisik, dengan rajin berolahraga atau jogging bagi yang sudah lama tidak olah raga, untuk menghindari kram otot atau cedera karena otot kaki yang kaget saat pendakian. Sebelum menuju ketinggian juga disarankan untuk aklimatisasi, atau menyamakan suhu tubuh dengan ketinggian dengan beristirahat beberapa menit di pos- pos penghentian awal.

“Iya di sini memiliki 10 pos, dan jaraknya cukup dekat namun tetap membutuhkan fisik yang prima,” ujar salah seorang pendaki, Putri.

Bagi dia, lokasi ini cukup ramai pada akhir pekan, karena letaknya lebih mudah dijangku dibanding gunung- gunung lain yang ada di Sulsel. Alasan bertemu dengan awan menjadi salah satu alasan yang menarik orang- orang ke lokasi ini. Dan tentunya, ada tantangan dan perjuangan untuk melihat keindaha, seperti menjadi sebuah filosofi hidup.

Untuk mencapai hingga ke titik kamping, dibutuhkan waktu rata- rata sekitar 1 setengah jam hingga dua jam saja. Pemilihan lokasi kamping sendiri selalu berdekatan dengan mata air, sebagai sumber kehidupan selama berada di alam bebas. Mereka membangun tenda, dan membawa perbekalan makanan yang bisa digunakan pada malam hari, serta perisapan untuk mendaki puncak yang ditempuh sekitar 30 menit dengan memanjat beberapa bebatuan.

Alam menjadi pendukung kehidupan, untuk itu mewariskan keindahan ini tentunya dengan kesadaran masing- masing kita, mulai dari hal- hal terkecil, yakni tidak mencemari dan mengotori dengan sampah- sampah yang dapat merusak.