SULSELEKSPRES.COM – Koalisi bantuan hukum advokasi kekerasan seksual terhadap anak, mendesak Kapolri untuk membuka kembali penyelidikan perkara dugaan kekerasan seksual terhadap tiga anak di Luwu Timur, serta mengalihkan proses penyelidikannya kepada Mabes Polri.
Hal itu diungkapkan Muhammad Haedir, Direktur LBH Makassar, Rosmiati Sain, Direktur LBH Apik Sulsel melalui rilisnya yang diterima Sulselekspres.com.
Penyelidikan di Mabes Polri juga diminta secara penuh melibatkan Tim Kuasa Hukum, Pelapor sebagai ibu para anak korban, serta pendamping sosial anak; menghadirkan saksi dan ahli, melengkapi berkas perkara dengan laporan sosial serta psikologis, dan petunjuk lain dalam penyelidikan; serta memastikan perlindungan korban dan akses terhadap pemulihan bagi para anak korban dan pelapor.
Tim kuasa hukum juga meminta kepada semua Pihak termasuk Polisi untuk melindungi identitas korban dengan tidak menyebarkan dan mempublikasikannya. Secara khusus terkait beredarnya klarifikasi terkait perkara dari Humas Polres Lutim yang mencantumkan identitas orangtua anak korban.
“Larangan membuka identitas anak korban ditentukan dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Identitas sebagaimana dimaksud meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri Anak. Kami pun mendesak sanksi tegas bagi anggota polisi yang terbukti melakukan tindakan tersebut’” tegas Haedir.
Kapolri juga diminta mengevaluasi kinerja kepolisian dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Kritik publik dan temuan pelanggaran oleh anggota Polri terhadap penanganan kasus ini menunjukkan urgensi Polri untuk segera dan sungguh- sungguh membenahi kinerja institusinya dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Dimana sebagai bagian dari sistem penegakan hukum Polri bertanggung jawab untuk memastikan proses yang berkeadilan bagi korban kekerasan seksual.
Baca juga: Kisah Ibu ‘3 Anak Saya Diperkosa’ Berjuang untuk Keadilan Buah Hati
Sebelumnya, Kasus kekerasan seksual terhadap tiga anak di Luwu Timur kembali menjadi sorotan setelah www.projectmultatuli.com menerbitkan liputan media dengan judul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor Polisi, Polisi Menghentikan Penyelidikan”. Kasus ini diterima dan mulai dilakukan pendampingan oleh Koalisi Bantuan Hukum Advokasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak pada 23 Desember 2019.
“Selaku Tim Kuasa Hukum Korban, Kami sejak awal menilai penghentian penyelidikan yang dilakukan penyidik Polres Luwu Timur adalah prematur serta di dalamnya ditemui sejumlah pelanggaran prosedur,” jelasnya.
Pelanggaran procedural yang dimaksud yakni, proses pengambilan keterangan terhadap para anak korban, pelapor selaku ibu dari para anak dilarang untuk mendampingi, juga untuk membaca berita acara pemeriksaan para anak korban yang Penyidik minta Pelapor untuk tandatangani. Bahwa proses tersebut juga tidak melibatkan pendamping hukum, pekerja sosial, atau pendamping lainnya. Hal ini menyalahi ketentuan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Kemudian, pengambilan keterangan para anak korban yang hanya dilakukan 1 kali dan tidak didampingi dalam pemeriksaan tersebut mengakibatkan keterangan para anak korban tidak tergali dan terjelaskan utuh dalam berita acara interogasi pada berkas perkara.
Dasar penghentian penyelidikan oleh penyidik adalah termasuk dua dokumen yang dikategorikan penyidik sebagai bukti Petunjuk yaitu hasil asesmen P2TP2A Luwu Timur dan asesmen Puspaga Lutim. Kedua petunjuk tersebut pada pokoknya menyatakan para anak korban tidak memperlihatkan tanda-tanda trauma dan tetap berinteraksi dengan Terlapor selaku ayahnya. Sementara keduanya berasal dari proses yang berpihak pada terlapor. Ini salah satunya ditunjukkan dari dipertemukannya para anak korban dengan terlapor ketika pertama kali pelapor meminta perlindungan di P2TP2A Luwu Timur. Petugas yang menerima laporan memiliki konflik kepentingan karena pertemanan dengan terlapor sebagai sesama Aparat Sipil Negara.
- Dalam berkas perkara penyelidikan yang dipaparkan pada gelar perkara khusus di Polda Sulsel terdapat dokumen yang semestinya didalami penyidik tapi diabaikan. Salah satunya Visum et Psychiatricum (VeP) terhadap para anak korban, yang masing-masing menceritakan peristiwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh terlapor. Meski begitu terdapat kejanggalan juga dalam dokumen tersebut sebab memasukkan hasil pemeriksaan P2TP2A Luwu Timur yang menerangkan para anak korban tidak memperlihatkan tanda-tanda trauma dan tetap berinteraksi dengan terlapor selaku ayahnya.
Ada upaya mendelegitimasi kesaksian Pelapor lewat tindakan pemeriksaan kejiwaan terhadap pelapor yang dilakukan penyidik. Pemeriksaan tersebut dilakukan tanpa dasar yang kuat serta tanpa persetujuan dan pemberitahuan kepada pelapor. Kami menilai hal ini justru menunjukkan ketidakberpihakan Penyidik Polres Lutim pada korban.
Terdapat laporan psikologis terhadap para anak korban oleh Psikolog P2TP2A Kota Makassar tertanggal 20 Desember 2019, yang telah diajukan Tim Kuasa Hukum pada gelar perkara di Polda Sulsel tanggal 6 Maret 2020. Dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa para anak korban mengalami kecemasan akibat kekerasan seksual yang dialami yang dilakukan oleh ayah kandung korban beserta dua temannya. Adapun tidak ditemukannya tanda-tanda trauma pada para anak tidak berarti kekerasan seksual tersebut tidak terjadi.
Berbeda dengan dua surat Visum et Repertum (VeR) yang disebut penyidik tidak terdapat tanda kekerasan. Pelapor memilik bukti foto dubur dan vagina para anak korban yang memerah dan nampak janggal, yang diambil pada Oktober 2019. Pada sekitar waktu tersebut para anak korban terus mengeluhkan sakit pada area dubur dan vagina mereka kepada pelapor. Pelapor melakukan pemeriksaaan terhadap para anak korban di Puskesmas Malili dan mendapatkan surat rujukan untuk berobat yang dikeluarkan oleh dokter lain, tertulis hasil diagnosa bahwa para anak korban mengalami kerusakan pada bagian anus dan vagina, serta child abuse.
“Bukti-bukti dan argumentasi hukum tersebut telah kami sampaikan dalam Gelar Perkara Khusus atas permintaan kami Pada 6 Maret 2020 di Polda Sulsel. Namun, hasilnya seluruhnya tidak dipertimbangkan oleh Polda Sulsel,” papar Haedir.
Pada 14 April 2020 Polda Sulsel mengeluarkan Pemberitahuan Perkembangan Hasil Pengawasan Penyidikan (SP2HP2) dengan nomor: B/ 338/ IV/ RES.7.5/ 2020/ Ditreskrimum. Bahwa surat tersebut pada pokoknya memberitahukan bahwa proses penyelidikan terhadap perkara a quo dihentikan penyelidikannya karena tidak ditemukan karena tidak ditemukan 2 alat bukti yang cukup dan memberikan rekomendasi kepada penyidik Sat Reskrim Polres Luwu Timur agar menghentikan proses penyelidikan dan melengkapi administrasinya.
Pihaknya juga telah melakukan upaya dengan mengirim surat Keberatan atas Penghentian Penyelidikan & Permintaan Pengalihan Penanganan Perkara, tertanggal 06 Juli 2020 ke Mabes POLRI—yang tidak direspon hingga saat ini.
“Kami pun mengirim aduan dan permintaan dukungan ke sejumlah lembaga,” pungkasnya.