24 C
Makassar
Monday, December 23, 2024
HomeHeadlinePemprov Sulsel Dinilai Sudah terlalu Jauh Campuri Urusan Adat dan Kesyirikan

Pemprov Sulsel Dinilai Sudah terlalu Jauh Campuri Urusan Adat dan Kesyirikan

- Advertisement -

MAKASSAR, SULSELEKSPRES.COM – Setelah beberapa bencana terjadi, terbitlah asumsi bahwa persoalan ini diakibatkan karena perilaku musyrik dari masyarakat tertentu. Yang menjadi sasaran, tentu adalah komunitas lokal dan adat yang acap kali melakukan kegiatan kebudayaan.

Demikian ungkapan Syamsurijal Ad’han, salah seorang peneliti Litbang Agama Makassar Kementerian Agama RI. Sabtu (13/10/2018).

“Kegiatan itu(budaya dan adat) dituduh oleh beberapa kelompok sebagai perbuatan syirik,” ujarnya.

Belum lama berselang, beredar surat yang ditandatangani Wakil Gubernur (Wagub) Sulsel. Isi surat edaran itu salah satunya ikut turut menguatkan asumsi demikian, bahwa bencana yang terjadi diakibatkan perilaku syirik masyarakat.

Mengenai itu, Ijhal berpendapat terdapat beberapa hal yang problematik dari surat edaran wagub ini. Pertama, bagaimana mengukur satu kegiatan budaya itu syirik atau tidak.

Baca: Anggota DPR RI Luthfi Mutty Sebut Surat Edaran Pemprov Sulsel Ngawur

“Katakanlah (surat) ini khusus untuk umat Islam, maka alasan paling dasar dibuatnya surat edaran ini tidak terpenuhi. Bukankah alasannya untuk mencegah bencana? Jika hanya ditujukan untuk umat Islam, maka yang lainnya tetap akan melaksanakan ritual budaya yang menurut ukuran sebagian umat Islam berbau kesyirikan,” selanya.

Kedua, jika yang dimaksudkan hanya khusus untuk umat Islam, itupun bagi Ijhal juga sulit bagaimana cara mengukur perilaku syirik.

Seperti misalnya acara adat Akkalomba, Akkattere dan Andingingi di adat Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Acara ini lanjutnya, tidak lepas dari jeratan asumsi ‘syirik’ oleh kalangan tertentu.

“Dan apakah pesan berantai di medsos yang menyebut jika kamu tidak mengedarkan pesan ini, maka akan ditimpa kesusahan juga masuk kategori syirik?” ujarnya.

Ketiga, yang lebih problematik bagi Ijhal, bila kesyirikan itu ditujukan untuk semua agama. Sebab menurut Ijhal apa yang dianggap ibadah pada agama tertentu bisa jadi dipandang oleh agama berbeda sebagai sebuah kesyirikan karena berbeda secara ritusnya.

Baca Juga:

Diduga Karena Staf Belum Cekatan, Surat Edaran Wagub ‘Salah Alamat’

Surat Edaran Wagub Rawan Dijadikan Alat Kelompok Intoleran

Surat Edaran Pemprov Sulsel, Kaitkan Bencana Alam dengan Perilaku Syirik Masyarakat

Seperti ritus agama Hindu, bernama ‘Melasti’ yang melarung sesajen ke laut atau sungai. “Tentu bagi Hindu jelas ritual itu bukan kesyirikan, tapi sikap menyucikan diri dengan menghanyutkan segala debu jiwani pada diri melalui air. Hal ini dilakukan agar saat ibadah Nyepi, diri betul betul siap menyatu dengan Yang Maha Kuasa,” ujar Ijhal.

Ini kata Ijhal belum lagi bila bicara soal agama-agama lokal yang tentu memiliki ritual tertentu. Padahal saat ini, agama lokal (aminisme) juga mulai mendapat pengakuan dan perlindungan dari negara dengan sebutan ‘Penghayat Kepercayaan’.

Imbasnya, bila surat edaran ini terbit, maka menurut Ijal tentu memicu bangkitnya kelompok tertentu yang menggunakan surat edaran ini untuk melakukan tindakan intoleran.

“Lantas mereka akan menyisir komunitas adat serta melarang kegiatan budayanya, karena dalam ukuran mereka perbuatan-perbuatan tersebut telah mengandung kesyirikan,” ujarnya.

Untuk itu, Ia berharap surat tersebut sebaiknya tidak terbit atas pertimbangan persoalan yang akan timbul setelahnya.

Soal Syirik, Pemerintah Harusnya Serahkan ke Tokoh Agama

Terkait ini, Ijhal menyayangkan bila pemerintah hadir untuk mengatur hal kesyirikan yang merupakan domain tokoh agama.

Namun disisi lain, Ijhal juga tidak rela bila kesyirikan tetap menjamur di umat beragama–“Kesyirikan memang harus dihilangkan dari diri umat beragama.”

“Disitulah peran ulama, dai, pendeta, bikhu, biksu dan tokoh agama lainnya,” harap Ijhal. Tidak perlu negara yang mengambil alih persoalan tersebut,” imbuhnya.

Senada dengan Ijhal, salah seorang Pengamat Pemerintahan Sudirman Muhammadiyah setuju bila negara tidak hadir dalam urusan keagamaan atau teologi warganya.

Sebab menurutnya, domain itu berat untuk mengatur urusan tersebut, kecuali terdapat payung hukum dari DPRD Sulsel. “Ini masalah peka dan harus hati2 krn terkait dengan masalah teologi,” imbuhnya.

Menurutnya posisi negara, seharusnya berada di posisi yang bijak. Tidak mengatur urusan syirik atau bukan, maupun menjadi sponsor di kegiatan yang dinilai kalangan tertentu sebagai syirik.

“Kalau mau bijak serahkan ke tokoh agama, pemerintah sebaiknya hanya himbauan. Negara jangan hadir untuk mengatur hal yang tupoksinya ulama, kan ada mi yang jaga umat,” ringkasnya.

Penulis: Agus Mawan
spot_img
spot_img

Headline

spot_img