Selain Tere Liye, Ini Pendapat Dee Lestari Soal Pajak Penulis

Penulis sekaligus Artis Dewi Lestari/ INT

SULSELEKSPRES – Dewi Lestari atau yang akrab disapa Dee Lestari, penulis sekaligus artis ini juga angkat bicara soal royalti penuli pascapenarikan 28 judul buku Tere Liye, sebagai protes pajak penulis yang mencekik.

Dee menulis panjang lebar di akun media sosialnya soal polemik yang dimulai dari protes Tere Liye. Dia beri judul statusnya itu Royalti dan Keadilan.

Di situ, Dewi antara lain memunculkan ilustrasi pendapatan penulis dari setiap eksemplar buku yang terjual dan hitungan potongan pajak yang dikenakan.

“Genggamlah sebuah buku dan bayangkan bahwa 90% dari harga banderol yang Anda bayar adalah untuk aspek fisiknya saja. Hanya 10% untuk idenya (bisa 12,5 – 15% kalau punya bargaining power ekstra). Lalu, penulis berhadapan dengan negara. Potongan kue kami yang mungil itu dipotong lagi lima belas persen, tak peduli kami hidup seperti burung hantu, wara-wiri untuk riset, merogoh kocek untuk 365 cangkir kopi per tahun, atau apa pun juga. It’s done deal. Kami tidak akan pernah mengecap seratus persen penerimaan royalti karena pemotongan itu bersifat langsung. Lalu, sisanya kami masukkan ke dalam pendapatan tahunan. Bulat utuh menjadi pendapatan kena pajak dan masih harus menghadapi hitungan pajak berjenjang,” tulis dee via akun Facebooknya.

Dee menyebut butuh 6 bulan hingga setahun untuk merampungkan satu buku. Waktu, sebut dia, adalah investasi terbesar dari setiap penulis. Sudah begitu, rata-rata pembayaran royalti dilakukan per enam bulan. Itu juga kalau laris bukunya untuk bisa dapat angka yang “bisa dilihat”.

“Akhirnya, menulis sering jadi kerja sambilan. Kalau penulis mau total dan berdedikasi, buku yang bisa menghidupi itu jadi penting,” kata penulis Novel seri Supernova ini, dilansir dari kompas.com, Sabtu (9/9).

Sudah jadi rahasia umum, sesama penulis kerap saling membesarkan hati dengan kilah, “Menulis adalah pengabdian.” Namun, menurut Dewi setiap pekerjaan pada dasarnya juga adalah pengabdian.

“(Tantangannya), masa sih kita tak bisa makan dari pekerjaan yang kita cintai itu?” tanya Dewi.

Perempuan yang antara lain melejit lewat kumpulan cerpen Filosofi Kopi ini pun menengarai, banyak penulis tak bertindak seperti Tere Liye kemungkinan karena saking kecilnya royalti yang mereka dapatkan selama ini.

Di statusnya itu, Dee pun mendapati bahwa pendapatan bagi penulis kerap dianggap dan diperlakukan sebagai penghasilan pasif. Menurut dia, poin inilah yang jadi pangkal persoalan soal pajak bagi penulis.