Ahli Hukum Dukung Wacana KPK Jerat Pansus Angket Dengan UU Tipikor

Gedung Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK)/ INT

JAKARTA – Ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menyebut bila ada bukti yang cukup, KPK bisa benar-benar melakukan wacana penerapan Pasal 21 UU 20/ 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (Tipikor) pada Pansus Angket KPK.

Ketua KPK Agus Rahardjo berwacana akan menerapkan hal tersebut.

Untuk diketahui, bunyi Pasal 21 UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang akan dipakai oleh KPK yakni:

Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara Langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000.00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000.00 (enam ratus juta rupiah).

Fickar menjelaskan secara panjang lebar soal argumennya mengapa KPK bisa menjerat pansus dengan UU Tipikor. Pertama dia menjelaskan bagaimana asal muasal terbentuknya Pansus Angket KPK. Menurutnya, adanya Pansus Angket KPK tidak lepas dari persidangan kasus e-KTP.

“Angket DPR terhadap KPK adalah fakta yang dipicu oleh permintaan DPR akan rekaman kesaksian seorang saksi yang merasa ditekan. Sehingga boleh disimpulkan bahwa angket itu berkaitan dengan penyidangan perkara e-KTP,” tuturnya, dilansir dari detik.com.

Lalu, Pansus Angket dijadikan alat, siasat, dan akal-akalan DPR agar KPK bisa menjadi objek angket. Padahal, lanjut Fickar, KPK sebagai penegak hukum tidak mungkin dan tidak bisa diangket.

Selanjutnya, Fickar menilai manuver yang dilakukan oleh Pansus Angket adalah upaya untuk melemahkan KPK. Bukan hanya melemahkan, bahkan membubarkan KPK.

Tak hanya itu, Fickar juga memandang apa yang dilakukan oleh Pansus Angket sedikit banyak mencegah, merintangi dan menggagalkan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan. Baik terhadap tersangka atau terdakwa, ataupun para saksi tindak pidana korupsi perkara e-KTP.

“Terakhir, karena itu bisa dipahami ketika langkah politik yang penuh kepentingan ini ditafsirkan sebagai langkah yang menghalang-halangi penuntutan tindak pidana korupsi,” tutupnya.