MAKASSAR, SULSELEKSPRES.COM – Dengan dalih penanaman karet dan penertiban, PT. Lonsum (London Sumatra) secara sengaja melakukan mobilisasi karyawannya untuk membenturkan dengan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Ammatoa Kajang yang tengah berjuang merebut tanah ulayat, pada Sabtu, 2 Maret 2019 lalu.
“Peristiwa ini adalah bentuk pelanggaran atas kesepakatan dalam proses mediasi selama ini hingga berujung pada intimidasi, kekerasan dan penggusuran paksa terhadap ratusan MHA Ammatoa Kajang,” demikian yang disampaikan Koordinator Bidang Hak atas Lingkungan Hidup LBH Makassar, Edy Kurniawan, Selasa (5/3/2019).
Peristiwa ini menurut Edi, bisa terjadi karena Pemerintah Daerah dan Kapolres Bulukumba melakukan pembiaran.
BACA: KontraS Sulawesi: Hentikan Perampasan Hak dalam Konflik Lonsum dan Masyarakat Adat Kajang
Ia menyangka, Pemda dan Kepolisian setempat tidak menggunakan kewenangan yang melekat dalam jabatannya untuk melakukan pencegahan dan penegakan hukum terhadap pelaku intimidasi dan kekerasan.
Sebelumnya, sejak November 2018, Polres Bulukumba melakukan kriminalisasi terhadap 15 MHA Ammatoa Kajang. Mereka ditetapkan sebagai tersangka penyerobotan lahan HGU PT. Lonsum yang saat ini masih tahap penyidikan.
Serangkaian peristiwa ini, kata Edi merupakan buntut dari sengketa tanah milik dan tanah ulayat MHA Ammatoa Kajang yang diserobot oleh HGU PT. Lonsum.
“Berdasarkan Perda Bulukumba No. 9/2015 tentang Pengukuhan, Penguatan, dan Perlidungan MHA Ammatoa Kajang, HGU PT. Lonsum menyerobot tanah ulayat Ammatoa Kajang atau yang disebut rembang luara seluas 2.555,30 ha,” ujar Edi.
BACA: Masyarakat Adat Kajang Dibongkar di Tanah Sendiri
Demikian pula dengan sebagian tanah masyarakat adat yang memiliki Sertifikat Hak Milik kata Edi, juga diserobot oleh HGU PT. Lonsum.
Atas dasar itu lah, kata Edi, MHA Ammatoa Kajang berjuang mempertahankan tanah milik & tanah ulayat (rembang luara) yang dirampas oleh PT. Lonsum.
Selain itu, PT. Lonsum yang melakukan usaha budidaya dan pengolahan hasil tanaman karet pada empat HGU, masing–masing terletak di Kec. Ujungloe, Bulukumpa, Kajang, dan Herlang.
Berdasarkan Pasal 47 Ayat 1 UU No. 39/2014 tentang Perkebunan, menyatakan bahwa “setiap orang/perusahaan yang melakukan usaha budidaya & pengolahan tanaman perkebunan wajib mengantongi Izin Usaha Perkebunan (IUP)”.
“Namun faktanya, PT. Lonsum hanya memiliki IUP di Kecamatan Kajang, sedangkan di tiga kecamatan lainnya tidak memiliki IUP,” sela Edi.
Selanjutnya, sambung Edi dalam Pasal 105 dalam UU Perkebunan, pada pokoknya menyatakan bahwa “Setiap perusahaan perkebunan yang melakukan usaha budi daya tanaman perkebunan & usaha pengolahan hasil perkebunan yang tidak memiliki IUP, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00”.
“Dengan demikian, PT. Londsum secara jelas dan nyata telah melakukan tindak pidana Perkebunan,” tambah dia.
Sementara itu, Direktur Walhi Sulsel, Al Amin menduga, PT. Lonsum hanya memiliki Izin Lingkungan di Pabrik Ujungloe, sedangkan kegiatan budidaya di tiga kecamatan lainnya tidak memiliki Izin Lingkungan dan beberapa Izin Prinsip lainnya.
“Aktivitas Lonsum pada area perbukitan telah menimbulkan kerusakan lingkungan hidup, menyebabkan gangguan pada 30 titik air yang merupakan sumber air kegiatan Pamsimas,” kata Amin.
Berdasarkan Pasal 109 UU 32/2009 tentang Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup, kata Amin pada pokoknya menyatakan “Setiap orang yang melakukan usaha atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 dan paling banyak Rp3.000.000.000,00”.
“Dengan demikian, PT. Lonsum telah melakukan kejahatan lingkungan hidup,” tuding Amin.
Sementara itu, Plt Direktur KontraS Sulawesi Asyari Mukrim, menganggap serangkaian masalah HGU PT. Lonsum, telah berdampak pada pelanggaran HAM.
“Yaitu berupa pengabaian dan tiadanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak milik dan hak ulayat MHA Ammatoa Kajang, hak atas kehidupan yang layak termasuk pangan dan papan, hak atas pekerjaan termasuk mencari nafkah, hak untuk mengembangkan diri dan keluarga, dan hak atas lingkungan hidup yang sehat termasuk akses terhadap air bersih, sebagaimana diatur alam Pasal 28 UUD 1945 Jo. UU No. 39/1999 tentang HAM Jo. UU No. 11/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,” jelasnya.
Situasi krisis agraria dan perampasan hak terhadap petani dan masyarakat Ammatoa Kajang dinilai Asyari terjadi karena pemerintah selama ini lalai melakukan pengawasan terhadap penggunaan HGU PT. Lonsum yang secara nyata melanggar ketentuan hukum dan melanggar HAM.
“Demikian pula dengan sikap Aparat Penegak Hukum (APH) yang tidak peka terhadap masalah yang dihadapi oleh MHA Ammatoa Kajang,” ujarnya.
APH kata dia, masih saja melakukan pendekatan represif tanpa meneliti latar belakang permasalahan yang muncul, yaitu ketimpangan dalam hal pemilikan, penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam.
Menyikapi konflik agraria ini, sejumlah Non Govermental Organisation (NGO); AGRA Sulsel, AGRA Bulukumba, AMAN Sulsel, LBH Makassar, KontraS Sulawesi, PPMAN Sulsel, FMN Makassar, Pembaru Sulsel, KPA Sulsel, WALHI Sulsel, mendesak Presiden RI untuk menyelesaikan ini.
“Komnas HAM R.I. untuk segera melakukan penyelidikan dan mengeluarkan surat rekomendasi terkait dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan secara bersama–sama oleh PT. Lonsum, Pemda Bulukumba, dan Kapolres Bulukumba,” tulis mereka dalam keterangan berkata.
Selain itu, mereka juga mendesak Kapolda Sulsel untuk menindak tegas PT. Lonsum dan para pekerja PT. Lonsum yang tergabung dalam Pengurus PUK-SPSI Palangisang karena telah melakukan intimidasi, kekerasan serta penrusakan
“Kapolri melalui Kapolda Sulsel agar mencopot Kapolres Bulukumba dari jabatannya,” tegasnya.
Selain itu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang R.I. diminta oleh mereka untuk membatalkan HGU PT. Lonsum.
“Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sulsel untuk melakukan penyelidikan terkait dugaan kejahatan lingkungan hidup yang dilakukan PT. Lonsum,” harap mereka.