MAKASSAR, SULSELEKSPRES.COM – Demontrasi yang berangkat dari peringatan Hari Kemerdekaan Papua Barat ke- 57, pada 1 Desember 2018 ini, terpaksa berujung rusuh.
Sekira pukul 14.40 Wita, sejumlah orang yang diduga berasal dari organisasi masyarakat (ormas), mendatangi titik konsentrasi demontrasi Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) yang berlangsung damai dari pukul 13.30 Wita, di Kolong Jembatan Fly Over Makassar.
Kelompok ormas itu terlihat menunjuk dan berusaha memecah konsentrasi massa aksi FRI-WP, yang memperingati deklarasi kemerdekaan Papua Barat pada 1 Desember 1961, dengan mendengungkan “Papua itu Indonesia.”
“Bubar ko semua, Indonesia satu tidak ada yang beda,” kata salah seorang yang mendekati massa dan berusaha menarik alat spanduk yang ditenteng sejumlah demonstran.
Baca Juga:
Aksi Mahasiswa Papua Di Makassar Dibubarkan Ormas
Peringati 56 Tahun NYA, FRI-WP Minta Warga Papua Diberikan Hak dan Kebebasan Tentukan Nasib
Bukan Hanya Iriana Jokowi, Ani Yudhoyono Juga Pernah Gendong Bocah Papua
Namun, peristiwa ini bukan dari spontanitas ormas semata. Sebelum 1 Desember, mereka pernah mendatangi Asrama Mahasiswa Papua di jalan Lanto Dg. Pasewang, mengimbau mahasiswa Papua tidak menggelar demontrasi memperingati Deklarasi Kemerdekaan Papua.
Pada Selasa (27/11/2018) lalu, sejumlah massa yang mengatasnamakan diri dari Pemuda Pancasila (PP), Front Pembela Islam (FPI), Laskar Pembela Islam (LSI), Laskar Pemburu Aliran Sesat (LPAS), dan Gerak Pemuda (GP) Anshor, mendatangi Asrama Mahasiswa Papua.
Namun, saat dikonfirmasi apakah GP Anshor benar terlibat, Rusdi Idrus selaku Ketua GP Anshor Sulsel menjawab tidak.
“Tidak ada GP Ansor, sampai saat ini tidak pernah ada arahan begitu,” ujarnya kepada Sulselekspres.com via Whatsapp.
Rusdi memastikan, pihak Anshor tidak pernah menggulirkan gerakan seperti demikian, apalagi terlibat di dalamnya.
“Saya tidak pernah dapat laporan,” terangnya.
Baca: Danny: Pemuda Pancasila Telah Banyak Membantu Pemerintah
Di hari dimana sejumlah massa gabungan ormas mendatangi asrama mahasiswa Papua, kedatangan massa gabungan tersebut bermaksud untuk melarang mengadakan aksi pada 1 Desember.
Sebab, 1 Desember bagi mereka, dianggap sebagai hari lahir pendirian Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dinilai telah memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Untuk diketahui, OPM didirikan pada Desember 1965, empat tahun setelah deklarasi. Namun telah beroperasi sejak 1963.
“Mereka juga mengancam jika mahasiswa Papua tetap melakukan aksi maka akan dibubarkan paksa,” ujar Abdul Azis Dumpa, Koordinator Bidang Hak Sipil Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Kamis (29/11/2018).
Tak hanya itu, gabungan ormas tadi kata Azis juga mengimbau kepada Mahasiswa Papua akan mengawasi aktifitas mereka di seluruh Asrama Mahasiswa Papua yang berlokasi di kota Makassar.
“Pengawasan itu sampai dengan tanggal 1 Desember 2018,” katanya.
Tensi massa ketika itu, kata Azis sempat meninggi, saat seorang dari gabungan Ormas diduga menarik baju salah seorang mahasiswa Papua dan merampas sebuah Noken (tas khas Papua) dan 2 buah gelang, dengan dalih terdapat simbol-simbol OPM.
“Seharusnya anggota Gabungan Ormas melihat permasalahan yang disuarakan masyarakat Papua yakni kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua. Mahasiwa harus diberi dukungan untuk menyuarakan ketidakadilan itu dan segala bentuk pelanggaran nilai kemanusiaan,” terang Azis.
Amnesty International: Periode 2010-2018, Terjadi 65 Kasus Pembunuhan Di Papua
Dari laporan Amnesty International Indonesia tentang Pembunuhan dan Impunitas di Papua, disebutkan sebanyak 65 kasus pembunuhan yang diduga melibatkan aparat keamanan terjadi pada awal Januari 2010 hingga Februari 2018.
Dari periode itu, dugaan kasus tersebut telah memakan korban jiwa sebanyak 95 orang. 10 diantaranya merupakan non-etnis Papua.
Sementara dalam penyelesaian kasus tersebut. Amnesty mencatat sebanyak 25 kasus diproses tanpa penyilidikan, 26 penyilidikan tidak terekspos ke publik, dan hanya 2 kasus yang melalui proses penyilidikan.
Selain itu, 6 kasus diselesaikan secara mekanisme disipilin internal kepolisian, 8 kasus diselesaikan secara adat atau rekonsiliasi, dan 6 kasus melalui meja hijau militer.
Baca: Ini Pengakuan Anak yang Selamat Kecelakaan Pesawat di Papua
Sementara, dari dugaan dalang keterlibatan, Amnesty menemukan sebanyak 39 korban meregang nyawanya akibat kekerasan Polisi, 27 akibat militer, 28 dari keduanya, dan seorang dari Satuan Polisi Pamong Praja pada tahun 2016.
Selain Amnesty Internasional, temuan berbeda juga dipaparkan dalam selebaran Panggung Pembebasan Mahasiswa Papua di Makassar, yang berujung penangkapan terhadap 4 Mahasiswa.
Dalam selebaran itu, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menduga oknum Brigadir Mobile (BRIMOB) menewaskan seorang remaja dan melukai 3 remaja akibat hujanan peluru saat pertikaian antar kelompok korban dan penabrak lari di Dekai, Yahukimo pada awal Oktober 2018.
“Hingga detik ini konflik masih memanas,” tulis pada selebaran tersebut.
Sebelum peristiwa itu, pada 2 Oktober 2018, di Oksibil, Pegunungan Bintang, juga terjadi konflik yang diperkarai perebutan kursi Bupati.
Saat itu, seorang dinyatakan meninggal dunia dan 11 orang lain mengalami luka-luka diduga terkena peluru tajam Petugas Keamanan.
Atas kejadian itu, Mahasiswa Papua di Makassar pun menginisiasi sebuah pementasan pada 13 Oktober lalu. Namun, tak mendapat respon baik dari pihak keamanan.
Baca: Hadiri Acara di Asrama Papua Makassar, 4 Aktivis Mahasiswa Diduga Dianiaya Oknum Polisi
Padahal menurut Ketua AMP Nasional, John, reaksi aparat hingga menurunkan personel seperti demikian tidak diperlukan.
“Semalam (hari pementasan), Aparat terlalu berlebihan menghadapi Mahasiswa Papua ini. Acara yang sifatnya mendidik dan bebas ekspresi ini dihadapi oleh aparat dengan kekuatan penuh, mengerahkan pasukannya, dan menciptakan situasi yang tegang,” katanya.